05 12
2022Ukuran Kertas A5
Cetak Kertas Book Paper
Jumlah Halaman 88
Buku ini berusaha memaparkan keberadaan ajaran lokal (pengolahan jiwa) Pangestu, dan
kepercayaan (Jawa) tidak hanya persoalan administrasi kependudukan, namun posisi mereka di
hadapan terminologi agama dan keagamaan. Relasi keduanya unik, Pangestu sebagai satu
paguyuban bernuansa “Jawa” tidak berkenan dilibatkan ke dalam istilah kepercayaan atau
semacamnya, hanya menjadi bagian dari pengolahan jiwa semata, pengikutnya disarankan untuk
tetap memeluk agama. Kejawen atau biasa dipanggil Kebatinan adalah sebuah kepercayaan yang
terutama dianut di Pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.
Kejawen pada hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaannya ada sejak orang Jawa itu
ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan
dengan agama yang dianut pada zamannya. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang
dianut karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Didalam buku disajikan tentang problem yang dihadapi kelompok kepercayaan khususnya Kejawen
yang berusaha mencari posisi yang tepat di hadapan negara, masyarakat dan kelompok agama
lainnya. Polemik tentang pengakuan terhadap kepercayaan sendiri sebagai entitas sendiri, sampai
dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi, dan setelahnya bagaimana pemerintah
memberikan layanan. Tidak hanya rekognisi atau pengakuan, namun aspek kelembagaan juga
menjadi masalah tersendiri, bahkan regenerasi di masa mendatang menjadi tantangan atas
kelanjutan ajaran.
Bagi Kementerian Agama, diksi Agama cukup menjadi positioning terhadap
penganut kepercayaan, klaim terhadap ajaran asli Nusantara sepanjang tidak memiliki pengakuan
umum (internasional) sebagai agama, maka Kementerian cukup sulit memasukkannya sebagai
kelompok yang selayaknya diberi pelayanan keagamaan. Rekognisi secara proses dan
kelembagaan mestinya telah dilakukan, dibuktikan dengan pelayanan diberikan oleh negara
melalui Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan demikian, frasa rekognisi tetap perlu dipelajari terus sampai ditemukan posisi yang tepat bagi penganut
Kepercayaan. Pelayanan pendidikan keagamaan penganut kepercayaan di sekolah sebagian
kabupaten telah menyediakan, diperlukan kearifan untuk menerima dan memberi ruang bagi
mereka untuk mengembangkan diri di negeri sendiri