Pengembangan Detail

Seminar Hasil Penelitian Pembentukan Nilai-Nilai Kebangsaan Melalui Pendidikan Agama Pada Lembaga Pendidikan Formal di Wilayah Perbatasan Di Kalimantan Barat

Peneliti : A.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I., Ali Khudrin, Mukhtaruddin, Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., Siti Muawanah, S.Pd.I., M.A., Umi Muzayanah, S.Si., M.Pd., H. Wahab,

Kategori: Pedoman

Unit Kerja: BLA-Semarang

Lampiran Tidak Tersedia

Dalam pergaulan internasional, hubungan bilateral antarnegara yang berbatasan langsung baik darat maupun laut tidak selamanya mulus. Banyak permasalahan yang menyebabkan hubungan kedua negara yang berbatasan langsung memanas, seperti klaim kepemilikan wilayah teritorial, penyelundupan manusia, penyelundupan barang-barang kebutuhan, serta masalah perolehan pajak negara. Sebagai contoh adalah saling klaimnya negara Indonesia dan kerajaan Malaysia atas dua pulau yaitu Sipadan-Ligitian yang pada akhirnya oleh pengadilan internasional dimenangkan oleh  kerajaan Malaysia pada 17 Desember 2002 (Warganegara, 2011: 377).

Sipadan dan Ligitan adalah salah satu dari banyak sengketa perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Masih banyak lagi persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menyangkut perbatasan, seperti Kasus Ambalat (Indonesia-Malaysia), Kasus Wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk (Indonesia-Malaysia), Kasus Pulau Simakau (Indonesia-Singapura), Kasus Pulau Batik (Indonesia-Timor Leste), Kasus Pulau Miangas (Indonesia-Filipina), dan Kasus Pulau Nipa (Indonesia-Singapura).

Ketujuh kasus tersebut merupakan kasus yang agak tinggi mencuat sehingga memperoleh perhatian dari banyak masyarakat. Padahal, selain kasus-kasus tersebut, masih banyak kejadian-kejadian kecil di perbatasan yang bukan hanya tidak diketahui khalayak luas tetapi juga tidak memperoleh perhatian serius dari kedua pemerintah. Tidak banyak orang yang tahu bahwa terjadi pergeseran dan pencabutan patok batas yang dilakukan secara sepihak oleh warga Malaysia. Bukan hanya bergeser, bahkan patok-patok tersebut juga bisa hilang dan tidak ditemukan. Selain itu, kasus pencurian sumber daya alam juga rawan terjadi di wilayah perbatasan (Jayanti dkk. tt: 5-6).

Melihat fakta-fakta yang ada di wilayah perbatasan ada beberapa hal yang harus kita fikirkan terkait dengan penguatan-penguatan terhadap komponen-komponen kekuatan yang ada di perbatasan. Komponen-komponen kekuatan yang dimaksudkan berupa komponen pertahanan militer, kekuatan perekonomian di perbatasan, serta komponen berupa pendidikan nasionalisme berupa nilai-nilai kebangsaan pada daerah di perbatasan baik pendidikan formal maupun non formal.

Muhammad Hairul Saleh (2011: 202-221) dalam penelitiannya di Pulau Sebatik (Kalimantan Timur) menemukan tiga penting hal yang layak menjadi perhatian negara. Pertama, secara ekonomi, masyarakat di Pulau Sebatik memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Malaysia daripada terhadap Indonesia. Mereka lebih suka belanja ke Tawau (Malaysia) daripada ke Nunukan (Indonesia). Selain persoalan jarak tempuh, produk-produk (sembako) buatan Malaysia lebih terjangkau bagi mereka daripada produk buatan Indonesia. Kedua, wilayah perbatasan adalah wilayah yang terbelakang dan tertinggal di berbagai sektor bila dibandingkan dengan wilayah yang lain. Ketiga, kesenjangan yang mencolok di perbatasan antara wilayah yang menjadi milik Malaysia dengan yang wilayah milik Indonesia. Wilayah yang menjadi milik Indonesia masih sangat ketinggalan bila dibandingkan dengan wilayah milik Malaysia.

Kesenjangan tersebut tidak hanya terjadi di Pulau Sebatik (Kalimantan Timur), tetapi juga terjadi di wilayah perbatasan di Kalimantan Barat yang juga berbatasan dengan Malaysia. Dengan melihat gambaran tersebut kita dapat mengetahui seberapa rawan wilayah di perbatasan kita. Hal itu diperparah lagi dengan “tergadaikannya” nasionalisme sebagaian penduduk di sana (Saraswati, 2014). Lunturnya rasa nasionalisme tersebut ditunjukkan oleh beberapa fakta, diantaranya realitas bahwa masyarakat perbatasan lebih suka menggunakan mata uang Ringgit daripada Rupiah (Saleh, 2011: 205), lebih menyukai kegiatan jual beli dan barter ke wilayah Malaysia (Dino, 2013: 3, Saleh, 2011, 205), anak-anak lebih kenal lagu kebangsaan Malaysia daripada Indonesia Raya (bahkan di Nunukan, anak-anak menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia terlebih dahulu sebelum menyanyikan Indonesia Raya) (“Ketika Pendidikan Pudar”, 2013: Saraswati, 2014), dan lebih memilih sekolah Malaysia daripada sekolah Indonesia (Republika, 13 Oktober 2013). Puncak dari lunturnya nasionalisme tersebut adalah munculnya gelombang keinginan pindah kewarganegaraan yang dilakukan oleh warga di perbatasan, baik yang berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Merdeka.com., 14 November 2014; jpnn.com., 14 November 2014; Detiknews.com., 13 November 2014) maupun Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (Kompas.com., 21 Oktober 2014; metrotvnews.com., 9 November 2014; Antaranews.com Bangka Belitung, 9 November 2014).

Meskipun kabar pindah kewarganegaraan tersebut belakangan dibantah oleh pejabat Gubernur Kalimantan Utara (Koran Kaltim, 16 November 2014), tetapi bukan tidak mungkin hal tersebut akan benar-benar terjadi. Lebih dari itu, kabar tersebut memberi peringatan kepada kita tentang pentingnya membangun ketahanan bangsa melalui pemupukan rasa nasionalisme pada generasi muda melalui pendidikan di sekolah, terutama mereka yang tinggal di perbatasan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang penanaman nasionalisme pada generasi muda di wilayah perbatasan.

Penelitian ini dilakukan di sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/MA/SMK) di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, tepatnya di tiga kabupaten yang berbatasan dengan Malaysia. Ketiga kabupaten tersebut adalah Sambas, Bengkayang, dan Sanggau. Pemilihan Kalimantan Barat sebagai lokasi didasari atas pertimbangan bahwa kasus yang mengancam keutuhan negara yang terjadi di wilayah Kalimantan relatif lebih banyak daripada kasus serupa di wilayah perbatasan lain (NTT dan Pulau Timor). Sedangkan pengerucutan Kalimantan Barat karena hanya provinsi tersebutlah yang menjadi wilayah kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Wilayah Kalimantan lain yang masuk dalam kategori perbatasan bukan wilayah kerja Balitbang Agama Semarang.

Kegiatan Seminar Hasil Penelitian “Pembentukan Nilai-Nilai Kebangsaan Melalui Pendidikan Agama Pada Lembaga Pendidikan Formal di Wilayah Perbatasan di Kalimantan Barat” tanggal 18 Agustus 2015. Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Diklat Keagamaan Semarang. Secara umum acara tersebut memberikan informasi mengenai penanaman nasionalisme, perilaku nasionalisme melalui pendidikan agama pada peserta didik jenjang pendidikan menengah di daerah perbatasan di Kalimantan Barat, serta faktor pendukung dan faktor penghambat penanaman nasionalisme.   

Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan ini adalah pertama, penanaman nasionalisme melalui pendidikan agama tidak terlihat secara eksplisit tetapi secara implisit. Kedua, faktor pendukung dan penghambat pembentukan nasionalisme bisa datang dari internal (lingkungan sekolah diantaranya; visi dan misi, guru, sarana dan prasarana, kegiatan intra dan ektra sekolah, simbol dan slogan serta kebijakan yang diambil oleh pihak yang berwenang)  maupun dari eksternal (lingkungan keluarga diantaranya; latar belakang pendidikan, ekonomi, motivasi dan pola pengasuhan), lingkungan masyarakat dan media massa.

Infographic