Membicarakan tradisi Bali dapat dijadikan model untuk melihat penyikapan tradisi yang ada di Nusantara. Sejarah tradisi lisan di Bali tidak dapat dilepaskan dari tradisi lisan masyarakat Hindu dan masyarakat Islam yang melahirkan ruh konsep menyamebraya (konsep persaudaraan) baik pada tingkat kerajaan di masa lalu maupun pada masyarakat Bali saat ini. Menyama braya mencerminkan keikhlasan masyarakat Bali untuk menerima, menghomati, dan mengakui keberadaan orang lain tanpa memandang suku, ras, dan agama tertentu. Pada masa lalu, refleksi menyame braya Hindu-Muslim tercermin melalui hubungan antara raja-raja Hindu dengan pasukan perang kerajaan sekaligus benteng kerajaan yang berasal dari umat Islam. Refleksi relasi Hindu-Muslim pada masa selanjutnya melahirkan banyak tradisi yang sarat nilai pendidikan karakter seperti tradisi Rodat dan Burdah Burak yang saat ini telah diakui sebagai bagian keunikan tradisi Bali. Tradisi Rodat, salah satunya seperti yang berada di Kampung Kepaon Denpasar Selatan berupa gerak/tarian seperti gerak seni bela diri yang diiringi syair dan lagu bernuansa
Islam, disertai musik klasik berupa jidur/gamelan, dan kedencong/ rebana. Sedangkan kesenian Burdah Burak adalah kesenian yang syairnya bersumber dari teks Syair Qasidah Burdah (Syaikh al-Busairi) yang dinyanyikan dengan Kidung Bali. Tradisi lisan Hindu-Muslim pada tingkat desa dapat dicontohkan misalnya dari harmoni sejarah Desa Budakeling Bebandem Karangasem Bali. Sejarah desa ini memperkuat persaudaraan umat Islam dan Hindu khususnya di desa tersebut yang diikat dengan hubungan nasab tokoh pembesar pembuka desa. Masyarakat Bali juga memiliki tradisi masatua (dongeng) yang salah satunya dikembangkan oleh Made Taro sejak tahun 1973. Tradisi masatua Bali banyak memuat nilai-nilai kearifan khas masyarakat Hindu Bali yang merujuk pada konsep Tri Hita Karana dan Karmaphala.
Membicarakan tradisi Bali dapat dijadikan model untuk melihat penyikapan tradisi yang ada di Nusantara. Sejarah tradisi lisan di Bali tidak dapat dilepaskan dari tradisi lisan masyarakat Hindu dan masyarakat Islam yang melahirkan ruh konsep menyamebraya (konsep persaudaraan) baik pada tingkat kerajaan di masa lalu maupun pada masyarakat Bali saat ini. Menyama braya mencerminkan keikhlasan masyarakat Bali untuk menerima, menghomati, dan mengakui keberadaan orang lain tanpa memandang suku, ras, dan agama tertentu. Pada masa lalu, refleksi menyame braya Hindu-Muslim tercermin melalui hubungan antara raja-raja Hindu dengan pasukan perang kerajaan sekaligus benteng kerajaan yang berasal dari umat Islam. Refleksi relasi Hindu-Muslim pada masa selanjutnya melahirkan banyak tradisi yang sarat nilai pendidikan karakter seperti tradisi Rodat dan Burdah Burak yang saat ini telah diakui sebagai bagian keunikan tradisi Bali. Tradisi Rodat, salah satunya seperti yang berada di Kampung Kepaon Denpasar Selatan berupa gerak/tarian seperti gerak seni bela diri yang diiringi syair dan lagu bernuansa
Islam, disertai musik klasik berupa jidur/gamelan, dan kedencong/ rebana. Sedangkan kesenian Burdah Burak adalah kesenian yang syairnya bersumber dari teks Syair Qasidah Burdah (Syaikh al-Busairi) yang dinyanyikan dengan Kidung Bali. Tradisi lisan Hindu-Muslim pada tingkat desa dapat dicontohkan misalnya dari harmoni sejarah Desa Budakeling Bebandem Karangasem Bali. Sejarah desa ini memperkuat persaudaraan umat Islam dan Hindu khususnya di desa tersebut yang diikat dengan hubungan nasab tokoh pembesar pembuka desa. Masyarakat Bali juga memiliki tradisi masatua (dongeng) yang salah satunya dikembangkan oleh Made Taro sejak tahun 1973. Tradisi masatua Bali banyak memuat nilai-nilai kearifan khas masyarakat Hindu Bali yang merujuk pada konsep Tri Hita Karana dan Karmaphala.