Biografi ulama perempuan di kawasan timur Indonesia

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 40x

Views 457x

Editor: blamakassar

Abstrak:

Kedudukan dan posisi ulama secara umum diartikan sebagai tempat belajar agama, dalam beberapa tradisi  lokal disebut dengan istilah anregurutta, arongguru, annangguru, tuan guru. Posisi ulama untuk sekarang ini dominan disandangkan pada “laki-laki” padahal pengertian ulama tidak membedakan jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan tergatung kapasitas yang dimilikinya. Dalam sejarah Islam misalnya beberapa perempuan memiliki kualifikasi keulamaan dan diakui dalam sejarah peradaban Islam, seperti: Aisyah binti Abubakar, Syaidah Nafisa, dll.

Ulama sebagai tempat belajar tentu melekat padanya bebarapa kualifikasi, yakni kapasitas keilmuan, pengamalan dan akhlak. Prasyarat lain yang harus dimiliki oleh sosok seorang ulama adalah mendapat pengakuan atau legitimasi dari masyarakat.  keilmuan tanpa membedakan jenis kelamin. Kasus kitab Perukunan Jamaluddin di Banjarmasin yang diungkap oleh martin Van Bruinessen menjadi menarik. Keunikan kitab yang membahas tentang fiqih perempuan dan ditulis oleh seorang perempuan. Anehnya masyarakat sekitarnya menafikan identitas penulisnya, karena ketidak laziman akan kemampuan seorang perempuan. Kurangnya legitimasi terhadap kemampuan keulamaan perempuan terus berlangsung hingga hari ini, beberapa publikasi ilmiah tentang ulama perempuan sangat minim. 

Hal inilah yang menjadi acuan pentingnya penelitian ini dilakukan dan juga merupakan realisasi kegiatan pengembangan BLA Makassar “Pemberdayaan Ulama Perempuan” yang telah di lakukan pada tanggal 24-26 Juli 2010 yang meromendasikan perlunya penelitian mengenai ulama perempuan di KTI. Bertujuan sebagai sumber awal dalam penelusuran jaringan ulama perempuan di KTI, pada tahap ini dilakukan di empat provinsi yaitu: Sulawesi Tengah (Palu), Kalimantan Timur (Samarinda), Sulawesi Selatan (Wajo-Palopo), dan Sulawesi Barat (Polman-Majene). Dengan KRITERIA menguasai ilmu agama (kitab kuning), bisa mentransmisikan ilmunya kepada orang lain, berahlak mulia, dan diakui oleh masyarakat.

Lampiran Tidak Tersedia

EXECUTIVE SUMMARY

Penelitian Tentang:

BIOGRAFI ULAMA “PEREMPUAN” DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

PENDAHULUAN

Kedudukan dan posisi ulama secara umum diartikan sebagai tempat belajar agama, dalam beberapa tradisi  lokal disebut dengan istilah anregurutta, arongguru, annangguru, tuan guru. Posisi ulama untuk sekarang ini dominan disandangkan pada “laki-laki” padahal pengertian ulama tidak membedakan jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan tergatung kapasitas yang dimilikinya. Dalam sejarah Islam misalnya beberapa perempuan memiliki kualifikasi keulamaan dan diakui dalam sejarah peradaban Islam, seperti: Aisyah binti Abubakar, Syaidah Nafisa, dll.

Ulama sebagai tempat belajar tentu melekat padanya bebarapa kualifikasi, yakni kapasitas keilmuan, pengamalan dan akhlak. Prasyarat lain yang harus dimiliki oleh sosok seorang ulama adalah mendapat pengakuan atau legitimasi dari masyarakat.  keilmuan tanpa membedakan jenis kelamin. Kasus kitab Perukunan Jamaluddin di Banjarmasin yang diungkap oleh martin Van Bruinessen menjadi menarik. Keunikan kitab yang membahas tentang fiqih perempuan dan ditulis oleh seorang perempuan. Anehnya masyarakat sekitarnya menafikan identitas penulisnya, karena ketidak laziman akan kemampuan seorang perempuan. Kurangnya legitimasi terhadap kemampuan keulamaan perempuan terus berlangsung hingga hari ini, beberapa publikasi ilmiah tentang ulama perempuan sangat minim. 

Hal inilah yang menjadi acuan pentingnya penelitian ini dilakukan dan juga merupakan realisasi kegiatan pengembangan BLA Makassar “Pemberdayaan Ulama Perempuan” yang telah di lakukan pada tanggal 24-26 Juli 2010 yang meromendasikan perlunya penelitian mengenai ulama perempuan di KTI. Bertujuan sebagai sumber awal dalam penelusuran jaringan ulama perempuan di KTI, pada tahap ini dilakukan di empat provinsi yaitu: Sulawesi Tengah (Palu), Kalimantan Timur (Samarinda), Sulawesi Selatan (Wajo-Palopo), dan Sulawesi Barat (Polman-Majene). Dengan KRITERIA menguasai ilmu agama (kitab kuning), bisa mentransmisikan ilmunya kepada orang lain, berahlak mulia, dan diakui oleh masyarakat.

TEMUAN

Kehadiran ulama perempuan di tengah kaum hawa sangat dibutuhkan terkait dengan persoalan-persoalan agama yang menyangkut dengan perempuan itu sendiri (fikhi nisa) yang tidak bisa dibahas oleh kiai atau uztad.

Kiprah Ulama-ulama “perempuan” seperti Annangguru Hudaedah, Annagguru Aisyah Thahir, Dra. Hj. St. Sulaeha Imran, Prof. ST.Muri’ah, Hj. St. Rohani Asykari, Dra. Hj. ST. Aminah Adnan, Dra. Hj. St. Ziarah Makkajareng Sa’diah binti Syeh Bahmid, dan Hj. Syarifah Sa’diyah merupakan sosok ulama perempuan yang telah memainkan peran yang cukup besar bagi umat Islam di KTI, yang telah mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan, pejuang umat dan dakwah Islam. Sosok ulama-ulama ini pula yang banyak mencerahkan umat Islam khususnya perempuan dan merupakan motivator perempuan pada zamannya.

Hasil penelitian dan inventarisasi ulama perempuan yang dilakukan menemukan fakta bahwa regenerasi ulama yang mengharuskan menguasai kitab kuning mengalami “krisis” untuk sekarang ini. Selain itu masih minimnya upaya penguatan terhadap Alimat (Ulama Perempuan)melalui pendidikan kader ulama.

REKOMENDASI

1.  Hendaknya Majelis Ulama Indonesia, Pemerintah Daerah, dan Kementerian Agama melakukan sinkronisasi pola pengkaderan ulama secara terpadu, berjenjang dan intensif dengan memberikan kuota yang lebih besar untuk perempuan (utusan pesertanya berasal dari Majelis Taklim, Pesantren Putri, Lembaga-Lembaga Keagamaan/Ormas Perempuan dan lain-lain).

2.  Perlu menggalakkan pengajian dan pengkajian kitab kuning melalui lembaga pendidikan formal dan non-formal.

3.  Diharapkan kepada Balitbang Agama Makassar melakukan penelitian lanjutan mengenai ulama perempuan dan membuat maping ulama “perempuan” di kawasan Timur Indonesia.

Memberikan identitas khusus bagi ulama perempuan seperti “Alimat”?

 

Kedudukan dan posisi ulama secara umum diartikan sebagai tempat belajar agama, dalam beberapa tradisi  lokal disebut dengan istilah anregurutta, arongguru, annangguru, tuan guru. Posisi ulama untuk sekarang ini dominan disandangkan pada “laki-laki” padahal pengertian ulama tidak membedakan jenis kelamin baik laki-laki atau perempuan tergatung kapasitas yang dimilikinya. Dalam sejarah Islam misalnya beberapa perempuan memiliki kualifikasi keulamaan dan diakui dalam sejarah peradaban Islam, seperti: Aisyah binti Abubakar, Syaidah Nafisa, dll.

Ulama sebagai tempat belajar tentu melekat padanya bebarapa kualifikasi, yakni kapasitas keilmuan, pengamalan dan akhlak. Prasyarat lain yang harus dimiliki oleh sosok seorang ulama adalah mendapat pengakuan atau legitimasi dari masyarakat.  keilmuan tanpa membedakan jenis kelamin. Kasus kitab Perukunan Jamaluddin di Banjarmasin yang diungkap oleh martin Van Bruinessen menjadi menarik. Keunikan kitab yang membahas tentang fiqih perempuan dan ditulis oleh seorang perempuan. Anehnya masyarakat sekitarnya menafikan identitas penulisnya, karena ketidak laziman akan kemampuan seorang perempuan. Kurangnya legitimasi terhadap kemampuan keulamaan perempuan terus berlangsung hingga hari ini, beberapa publikasi ilmiah tentang ulama perempuan sangat minim. 

Hal inilah yang menjadi acuan pentingnya penelitian ini dilakukan dan juga merupakan realisasi kegiatan pengembangan BLA Makassar “Pemberdayaan Ulama Perempuan” yang telah di lakukan pada tanggal 24-26 Juli 2010 yang meromendasikan perlunya penelitian mengenai ulama perempuan di KTI. Bertujuan sebagai sumber awal dalam penelusuran jaringan ulama perempuan di KTI, pada tahap ini dilakukan di empat provinsi yaitu: Sulawesi Tengah (Palu), Kalimantan Timur (Samarinda), Sulawesi Selatan (Wajo-Palopo), dan Sulawesi Barat (Polman-Majene). Dengan KRITERIA menguasai ilmu agama (kitab kuning), bisa mentransmisikan ilmunya kepada orang lain, berahlak mulia, dan diakui oleh masyarakat.

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia