Indeks Kerukunan Umat Beragama di Prov. Sulawesi Tenggara

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 37x

Views 1043x

Editor: blamakassar

Abstrak:

Kerukunan bagi orang Indonesia adalah keniscayaan. Masyarakat Indonesia telah memiliki pengalaman panjang tentang merawat kerukunan.  Kita memiliki mekanisme kultural untuk mendamaikan keragaman dan perbedaan etnik atau agama yang sakral sekalipun. Ia lazim disebut kearifan lokal, local wisdom, sebuah kebijaksanaan yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di Sulawesi Tenggara bisa ditemukan beberapa kearifan lokal yang bisa mendukung kerukunan seperti mosehe, malulo, haroa, parabela, kalo sara.  Selain itu, kelompok yang menginginkan perdamaian dan kerukunan juga muncul dimana-mana. Baik dalam bentuk organisasi sosial maupun individu. Artinya, kalau pun ada konflik atau kekerasan yang terjadi bersamaan dengan itu muncul pula inisiasi perdamaian baik dalam konteks perseorangan maupun kelompok.

Regulasi tentang kerukunan umat beragama ini dapat dilihat mulai dari UUD 1945 sebagai salah satu sumber hukum tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada pasal 29, khususnya ayat 2 . Pada pasal  29 ayat 2 itu dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan serta meyakini agama dn kepercayaan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kebesan beragama di indonesia sesuai dengan nurani tiap orang. Namun yang terpenting dari kebebsan itu, adalah tanggung jawab dan kemauan untuk saling menjaga dan memberi ruang bagi kebebsan yang lain. Inilah yang menjadi dasar dari kerukunan tersebut.

Selanjutnya beberapa regulasi yang dianggap terkait dengan kerukunan beragama adalah UU No 1/PNPS/1965 tentang larangan penidaan dan penyalah gunaan agama.  Keputusan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri No 1 /Ber/Mdn/1965 tentang pelaksanaan oleh pemerintah daerah tentang jaminan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya. SK menteri agama dan menteri dalam negeri no.1/1979 tentang tata cara penyiaran agama dan aturan bantuan luar negeri terhadap lembaga swasta untuk kegiatan keagamaan. Surat edaran menteri agama RI tentang penyelenggaraan hari raya No.MA/432.1981. Paling baru adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara meneteri dalam negeri dan menteri agama Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006.

Penelitian ini  dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 10 kab/kota sebagai sampel lokasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket. Responden terpilih sebanyak 1.100 orang. Pesebaran angket ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota.

Lampiran Tidak Tersedia

Executive Summary

Penelitian Tentang:

INDEKS KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Pendahuluan

Kerukunan bagi orang Indonesia adalah keniscayaan. Masyarakat Indonesia telah memiliki pengalaman panjang tentang merawat kerukunan.  Kita memiliki mekanisme kultural untuk mendamaikan keragaman dan perbedaan etnik atau agama yang sakral sekalipun. Ia lazim disebut kearifan lokal, local wisdom, sebuah kebijaksanaan yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di Sulawesi Tenggara bisa ditemukan beberapa kearifan lokal yang bisa mendukung kerukunan seperti mosehe, malulo, haroa, parabela, kalo sara.  Selain itu, kelompok yang menginginkan perdamaian dan kerukunan juga muncul dimana-mana. Baik dalam bentuk organisasi sosial maupun individu. Artinya, kalau pun ada konflik atau kekerasan yang terjadi bersamaan dengan itu muncul pula inisiasi perdamaian baik dalam konteks perseorangan maupun kelompok.

Regulasi tentang kerukunan umat beragama ini dapat dilihat mulai dari UUD 1945 sebagai salah satu sumber hukum tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada pasal 29, khususnya ayat 2 . Pada pasal  29 ayat 2 itu dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan serta meyakini agama dn kepercayaan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kebesan beragama di indonesia sesuai dengan nurani tiap orang. Namun yang terpenting dari kebebsan itu, adalah tanggung jawab dan kemauan untuk saling menjaga dan memberi ruang bagi kebebsan yang lain. Inilah yang menjadi dasar dari kerukunan tersebut.

Selanjutnya beberapa regulasi yang dianggap terkait dengan kerukunan beragama adalah UU No 1/PNPS/1965 tentang larangan penidaan dan penyalah gunaan agama.  Keputusan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri No 1 /Ber/Mdn/1965 tentang pelaksanaan oleh pemerintah daerah tentang jaminan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya. SK menteri agama dan menteri dalam negeri no.1/1979 tentang tata cara penyiaran agama dan aturan bantuan luar negeri terhadap lembaga swasta untuk kegiatan keagamaan. Surat edaran menteri agama RI tentang penyelenggaraan hari raya No.MA/432.1981. Paling baru adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara meneteri dalam negeri dan menteri agama Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006.

Penelitian ini  dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 10 kab/kota sebagai sampel lokasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket. Responden terpilih sebanyak 1.100 orang. Pesebaran angket ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota.

Temuan

Temuan penelitian menunjukkan bahwa kerukunan antar umat beragama di Provinsi Sulawesi Tenggara berada pada kategori tinggi, dengan nilai indeks 2,94. Ini berarti kerukunan antar umat sedang berada dalam kondisi yang baik. Nilai indeks dari empat variabel dapat dilihat pada tabel berikut:

No

Variabel

Indeks

Kategori

1

Hubungan Sosial

2,99

Tinggi

2

Hubungan keagamaan

2,41

Rendah

3

Nilai dan Lokus Sosial

3,21

Tinggi

4

Peran Pemerintah

3,17

Tinggi

 

Indeks Keseluruhan

2,94

Tinggi

Hasil ini menunjukkan bahwa penerimaan dan penghargaan terhadap sesama warga relatif tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap terbuka dalam konteks hubungan sosial. Mereka bersedia untuk saling berhubungan baik secara ekonomi, sosial, dan pertetanggaan sebagai bagian dari komunitas sosial. Namun, dalam konteks keagamaan sebagian besar responden menunjukkan kecenderungan yang tertutup, terutama responden yang berasal dari kelompok agama mayoritas. Mereka mengalami hambatan psikologis untuk merayakan pergaulan terbuka dalam hal keagamaan. Hal ini bisa bermakna dua: 1). Cara ini adalah cara aman untuk tidak terjebak dalam “kemungkinan” terjadinya perdebatan teologis. 2). Cara ini berpotensi memunculkan disparitas sosial karena enggan untuk saling mempelajari. Responden belum siap untuk masuk kepada sistem toleransi aktif atau pluralisme yang mengandaikan pentingnya sikap aktif terhadap kepelbagaian termasuk dalam konteks keagamaan.

Peran pemerintah dan peran nilai lokal tampaknya kuat memengaruhi pola kerukunan antar umat beragama. Seluruh responden percaya dengan peran pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tradisi lokal seperti malulo (menari bersama di acara pengantin) menjadi elemen penting dalam membentuk kerukunan antar umat beragama.

Faktor agama, usia, dan pengalaman interaksi tampaknya mempengaruhi kualitas kerukunan antar umat beragama.  Kelompok agama mayoritas mengalami hambatan psikologis dalam hal merayakan pergaulan dalam konteks keagamaan. Kelompok responden yang berusia matang menunjukkan sikap yang lebih terbuka. Begitu pula dengan pengalaman interaksi responden, semakin tinggi interaksinya maka peluang semakin rukun lebih besar.

Faktor adat, nilai lokal dan karakter penduduk lokal (Buton, Muna, dan Tolaki) yang terbuka menjadi salah satu katup pengaman yang penting dalam konteks pembangunan kerukunan. Hukum adat sejauh ini menjadi elemen penting yang dapat menyelesaikan konflik antar individu. 

 

Rekomendasi

Berdasarkan pada hasil penelitian diatas, peneliti merekomendasikan beberapa hal:

1.       Kegiatan pelatihan dan workshop peace building di kalangan remaja lintas agama.

2.       Penguatan fungsi lembaga adat, tokoh adat, serta revitalisasi kearifan lokal.

3.       Penguatan fungsi lembaga keagamaan dalam membangun kerukunan.

4.       Penguatan peran FKUB dalam melakukan sosialisasi tentang perundang-undangan mengenai kerukunan.

5.       Gerakan saling belajar budaya dan saling mengunjungi.

6.       Pelibatan masyarakat dalam kegiatan aksi sosial sebagai implementasi kerukunan  seperti kemah bersama.

 

Kerukunan bagi orang Indonesia adalah keniscayaan. Masyarakat Indonesia telah memiliki pengalaman panjang tentang merawat kerukunan.  Kita memiliki mekanisme kultural untuk mendamaikan keragaman dan perbedaan etnik atau agama yang sakral sekalipun. Ia lazim disebut kearifan lokal, local wisdom, sebuah kebijaksanaan yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di Sulawesi Tenggara bisa ditemukan beberapa kearifan lokal yang bisa mendukung kerukunan seperti mosehe, malulo, haroa, parabela, kalo sara.  Selain itu, kelompok yang menginginkan perdamaian dan kerukunan juga muncul dimana-mana. Baik dalam bentuk organisasi sosial maupun individu. Artinya, kalau pun ada konflik atau kekerasan yang terjadi bersamaan dengan itu muncul pula inisiasi perdamaian baik dalam konteks perseorangan maupun kelompok.

Regulasi tentang kerukunan umat beragama ini dapat dilihat mulai dari UUD 1945 sebagai salah satu sumber hukum tertinggi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada pasal 29, khususnya ayat 2 . Pada pasal  29 ayat 2 itu dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan serta meyakini agama dn kepercayaan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kebesan beragama di indonesia sesuai dengan nurani tiap orang. Namun yang terpenting dari kebebsan itu, adalah tanggung jawab dan kemauan untuk saling menjaga dan memberi ruang bagi kebebsan yang lain. Inilah yang menjadi dasar dari kerukunan tersebut.

Selanjutnya beberapa regulasi yang dianggap terkait dengan kerukunan beragama adalah UU No 1/PNPS/1965 tentang larangan penidaan dan penyalah gunaan agama.  Keputusan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri No 1 /Ber/Mdn/1965 tentang pelaksanaan oleh pemerintah daerah tentang jaminan pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya. SK menteri agama dan menteri dalam negeri no.1/1979 tentang tata cara penyiaran agama dan aturan bantuan luar negeri terhadap lembaga swasta untuk kegiatan keagamaan. Surat edaran menteri agama RI tentang penyelenggaraan hari raya No.MA/432.1981. Paling baru adalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara meneteri dalam negeri dan menteri agama Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006.

Penelitian ini  dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan 10 kab/kota sebagai sampel lokasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket. Responden terpilih sebanyak 1.100 orang. Pesebaran angket ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota.

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia