Penelitian Toleransi Beragama di Daerah-daerah Rawan Konflik

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: PuslitbangKK

Diunduh: 42x

Views 357x

Editor: puslitbangkk

Abstrak:

...

Lampiran Tidak Tersedia

Sekalipun suatu daerah diindikasikan rawan konflik, namun   bukan   berarti   di   daerah   tersebut   tidak terdapat toleransi   beragama,   betapapun   kecilnya bentuk toleransi yang terjadi. Bentuk-bentuk toleransi yang terjadi   di   daerah rawan   konflik   –terutama   toleransi beragama- tersebut selanjutnya dapat ditingkatkan untuk penguatan kerukunan hidup beragama di kalangan masyarakat, sehingga relasi sosial umat beragama menjadi lebih kokoh. Dalam rangka itulah Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada  Tahun  2015  mengadakan  penelitian  Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik.

Permasalahan  pokok  penelitian  ini:  “Bagaimana toleransi umat beragama di daerah rawan konflik terjadi”. Secara rinci, beberapa permasalahan yang diungkap meliputi:
1)  Kasus-kasus  konflik  apa  saja  yang  pernah  terjadi di kalangan umat beragama dan apa saja faktor penyebabnya? 2) Bagaimana penerimaan umat beragama terhadap keragaman agama yang ada di  daerahnya? 3) Apa  saja bentuk-bentuk toleransi yang terjalin di kalangan umat beragama selama ini? 4) Faktor apa saja yang menjadi penyebab terbangunnya toleransi tersebut? 5) Upaya apa saja yang   perlu dilakukan untuk meningkatkan toleransi di kalangan umat beragama?

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,   sedangkan bentuk penelitiannya studi kasus dengan jenis penelitian eksploratif. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara, studi pustaka dan dokumentasi, serta pengamatan.

Wilayah-wilayah yang menjadi objek penelitian ini sebagian besar adalah wilayah yang dipandang pernah mengalami konflik kaitannya dengan isu keagamaan, yaitu Poso, Mataram, Temanggung, Kupang, Bogor, dan Bekasi. Dari keenam wilayah itu, ada yang konflik intra agama, yaitu Mataram (Ahmadiyah dan umat Islam lain), ada pula yang antar agama (Islam dan Kristen), misalnya Bekasi, Bogor, Temanggung, Kupang, dan Poso.

Sementara dua wilayah yang lain, yaitu Padang dan Klender Jakarta  Selatan adalah dua wilayah yang masih masuk kategori potensi atau rawan konflik. Sebab sudah muncul riak-riak ketegangan yang terjadi antarumat beragama, dan jika tidak diwaspadai berpotensi membesar. Migrasi penduduk berpengaruh terhadap komposisi etnis dan agama, sehingga berpengaruh pula pada gesekan antar penduduk. Bekasi, Bogor, dan Klender Jakarta Selatan memiliki migrasi yang tinggi sehingga mudah dibenturkan, sekaligus mengikis budaya-budaya baik yang sudah ada. Sementara Poso, Mataram, Temanggung, Kupang, dan Padang sangat tergantung  pada  pemerintah  sebagai  pihak  yang netral.

Dari temuan lapangan ini, diperoleh data sebagai berikut:

 

  • Makna Toleransi
  1. Toleransi     adalah     dengan     saling    menghormati
    pelaksanaan ibadah masing-masing dan memberi ruang berinteraksi di dalam kehidupan sosial. Bekasi dan Padang termasuk di dalam kategori ini.
  2. Bogor dan Klender Jakarta Selatan, agak di atas sedikit di mana umat dari agama lain turut menjaga dan membantu (dalam kategori minimal) perayaan keagamaan.
  3. Bagi warga Poso, toleransi adalah kesediaan untuk menerima agama lain, memberi mereka keleluasaan beribadah, dan membuka hubungan sosial yang harmonis, dengan saling kunjung mengunjungi, saling dukung mendukung terhadap ritual keagamaan yang dilaksanakan masing-masing.
  4. Bagi Kupang dan Temanggung toleransi lebih dari itu, di mana keikutsertaan dalam perayaan keagamaan telah menjadi arena interaksi yang erat satu dengan yang lain, bahkan di Temanggung umat agama lain aktif  dan  terlibat  langsung  dalam  perayaan keagamaan.
  • Penyebab Intoleransi
  1. Penyiaran agama, terutama terkait isu kristenisasi dan islamisasi selalu muncul dan dicurigai menjadi sumbu penyulut konflik. Padang, Bekasi, Bogor, dan Klender Jakarta adalah wilayah-wilayah yang cukup akrab dengan isu ini dan memang ditemukan oleh peneliti.
  2. Radikalisasi  menjadi  sumbu  konflik  lain.  Di  Poso, Bogor, dan Klender Jakarta Selatan, terbukti sangat kuat radikalisasi merubah warna toleransi yang ada.
  3. Perebutan ruang, adalah wilayah kontestasi lain di antara umat beragama. Pertama, pendirian rumah ibadah, di mana problem tafsir yang berbeda terhadap peraturan yang ada, selain manipulasi persyaratan pendirian bangunan yang kerap memantik konflik. Kedua, pengaturan lahan pemakaman. Jika tidak mengakomodir dan dijaga dengan baik bisa menjadi sebab konflik yang mudah disulut.   Ketiga, adanya fasilitas-fasilitas umum yang mempertemukan semua kelompok agama juga, seperti gelanggang olahraga, pentas seni, dll. Di sini Mataram dan Klender Jakarta cukup memperlihatkan betapa toleransi antar umat beragama mengalami pergeseran tatkala ruang-ruang pertemuan publik itu berkurang bahkan ditiadakan.
  4. Peran Media. Dari berbagai konflik yang terjadi, peran media sebagai sebab konflik maupun pendamai sangat kentara. Poso, Kupang, Temanggung, Bekasi, dan Bogor adalah contoh di sini, media memainkan peran vital. Kadang media berlebihan dalam memberitakan hingga menimbulkan keresahan.
  5. Pihak luar. Pihak luar yang dimaksud di sini adalah orang luar atau pendatang yang menyebar pengaruh intoleransi kepada warga setempat. Pada kasus yang terjadi  di  Temanggung  jelas  dikatakan  bahwa beberapa konflik itu disulut oleh pihak luar yang “sengaja” membuat kisruh dan memancing emosi warga.  Lagi-lagi  di  Poso,  juga  menyebutkan  akan peran pihak luar yang memperparah konflik yang ada. Majelis Mujahidin yang hadir di sana dianggap menebar intoleransi antarumat beragama.
  • Elemen-elemen Pendukung dan Penjaga Toleransi
  1. Tokoh agama dan nilai-nilai keagamaan. Tokoh agama sangat berperan di dalam menjaga kerukunan. Peran mereka adalah dengan menebarkan nilai - nilai toleransi  antar  agama  kepada  masing-masing umatnya, menghindari materi penyiaran agama yang menyinggung agama lain, dan memperkokoh silaturahmi.
  2. Institusi Keagamaan dan Institusi Pendidikan.
    Keduanya menjadi sarana tokoh agama dan masyarakat secara lebih massif dan tersruktur di dalam menjaga kerukunan, baik itu FKUB, NU, Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lain. Namun ada kecenderungan peran tokoh agama ini menurun, di antaranya di Klender Jakarta Selatan.
  3. Selain  institusi  keagamaan  ini,  lembaga  pendidikan juga memberi peran yang signifikan. Lembaga- lembaga pendidikan seperti Universitas Kristen di Tentena Poso yang mengajarkan toleransi kepada mahasiswanya, Al-Wathoniyah, Az-Ziyadah, dan Al- Falah di Klender Jakarta Selatan memiliki andil menebarkan toleransi sesuai ajaran ulama atau ustadznya.
  4. Pemerintah. Safari Ramadhan dan Safari Natal di Poso, Natal Bersama di Kupang adalah contoh dari upaya konkret pemerintah daerah menjaga toleransi dan kerukunan.  Pemandangan  sedikit  berbeda ditampilkan Pemerintah Daerah di Padang yang mendapat sorotan dengan mengeluarkan intruksi Wajib Jilbab bagi pelajar, di mana umat agama lain pun “diwajibkan” pula. Pemihakan terhadap umat beragama tertentu seringkali menimbulkan protes bahkan perlawanan dari warga dan menciderai kerukunan antar umat beragama.
  5. Nilai-nilai  lokal.  “Sing  Penting  Brayan”  yang didengungkan Temanggung, “Misale” di Poso, “Oko Mama” di Kupang, dan “Asah Asih Asuh” di Bogor sekedar contoh betapa efektifnya kearifan lokal mampu mempertemukan yang berbeda.
  6. Aktifis kemanusiaan. Dari delapan wilayah penelitian, hanya  Bogor  yang  mengurai  peran  aktifis kemanusiaan di dalam menjaga toleransi.

Berdasarkan hasil temuan kami sampaikan beberapa simpulan:

  1. Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari faktor internal dan eksternal umat beragama. Internal adalah tokoh agama, materi penyiaran agama, dan lembaga keagamaan. Ketika ketiga komponen ini sepakat untuk bersama-sama membangun toleransi, maka ia menjadi motor bagi toleransi.
  2. Toleransi dan intoleransi tidak lepas dari faktor internal dan eksternal warga masyarakat. Ketika warga setempat mendukung toleransi, tetapi ada pihak luar yang masuk dan mempengaruhi agar bertindak intoleran dan diafirmasi oleh warga, maka toleransi bisa berganti intoleransi.
  3. Toleransi   dan   intoleransi   tidak   lepas   dari   peran pemerintah. Posisi pemerintah sebagai penjaga dan pelayan masyarakat menjadi penggerak dari kerukunan. Posisinya yang sesungguhnya harus netral di antara berbagai kelompok keagamaan merupakan penentu arah interaksi masyarakat. Pemerintah yang tampak nyata memihak pada kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan  kelompok  lain  cenderung  ditolak oleh warga.
...

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia