PENGEMBANGAN KARYA TULIS ILMIAH DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM

Ketua Penelitian :

Kategori: Isu Aktual

Anggota:

Publisher: PuslitbangPAK

Diunduh: 90x

Views 503x

Editor: adminpusat

Abstrak:

...

EXECUTIVE SUMMARY

PENGEMBANGAN KARYA TULIS ILMIAH DOSEN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI UMUM

TAHUN 2018

 

PENDAHULUAN

Dosen adalah ilmuan pendidik di Perguruan Tinggi. Sebagai ilmuan dosen memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan ilmu pengetauan melalui kegiatan penelitian dan menyebarluaskan hasilnya melalui kegiatan publikasi ilmiah, seminar, dan forum-forum ilmiah lainnya. Selain itu, sebagai pendidik profesional dosen juga memiliki kewajiban moral untuk menggunakan hasil-hasil penelitian sebagai bahan ajar, mengembangkan hasil penelitian menjadi buku ajar, dan menerbitkan buku ajar berbasis penelitian, sehingga kegiatan pembelajaran di ruang kelas menjadi kontekstual dengan perkembangan/ kemajuan ilmu pengetahuan serta memiliki relevansi dengan dinamika peradaban umat manusia. 

Fungsi, peran, dan kedudukan dosen yang sangat strategis dalam pembangunan nasional di bidang pendidikan tinggi dinyatakan dalam Undangundang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012  tentang Pendidikan Tinggi. Dosen sebagai ilmuan dan pendidik profesional memiliki tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai ilmuan pendidik, dosen berfungsi sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat  dalam rangka peningkatan mutu pendidikan nasional. Dosen sebagai tenaga profesional wajiab melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi meliuputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Ketentuan tentang kedudukan dosen sebagai ilmuan diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012  tentang Pendidikan Tinggi pasal 12, bahwa dosen memiliki tugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. Peningkatan mutu dan jumlah penelitian dosen sebagai bagian penting dalam penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi mendapat perhatian khusus dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen Dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Dalam permenrsitekdikti tersebut dinyatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja dosen, perlu dilakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi yang dilakukan oleh dosen, khususnya di bidang penelitian dalam rangka meningkatkan jumlah dan mutu penelitian dosen.

Urgensi penelitian juga disampaikan oleh Direktur Karier dan Kompetensi, Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tingi, Bunyamin Maftuh dan Rektor Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Edy Suandi Hamid. Menurut Bunyamin,  beban kerja dosen perlu diatur oleh setiap perguruan tinggi agar memenuhi tuntutan tridharma pendidikan tinggi. Mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku, dosen tidak pantas hanya fokus mengajar tanpa melakukan perannya sebagai ilmuwan dengan melakukan riset dan pengabdian masyarakat. Sementara Hamid berpendapat bahwa menjadi dosen itu bukan seperti guru yang fokusnya mengajar dan mendidik. Ada tugas lain yang harus dikerjakan, yakni meneliti, yang sering diabaikan, karena faktor individu dan juga kondisi Perguruan Tinggi.[1]

Karya tulis ilmiah sejatinya merupakan menu utama dalam keseharian dosen sebagai ilmuan pendidik. Mulai memeriksa proposal proyek mini, makalah, skripisi, tesisi, dan disertasi mahasiswa atau mendesain, melaksanakan, dan menyajikan hasil penelitian ilmiah dalam bidang ilmu yang diampu secara sistematis dengan anlisis data sesuai prosedur ilmiah sebagai bagian dari tugas pengembangan program studi. Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini masih banyak dosen yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban membuat karya tulis ilmiah tersebut, termasuk dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU). Ada banyak alasan yang menyebabkan kondisi demikian. Salah satunya sebagaimana yang disampaikan Susanto Imam Rahayu, Kimiawan dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia,[2] bahwa kegiatan penelitian di Indonesia tidak mendapatkan prioritas tinggi, tercermin pada pengalokasian dana penelitian dalam APBN yang hanya 0,1 % dari produk domestik bruto (PDB). Sementara Malaysia 1,25%, China 2 %, Singapura 2,2%, Jepang 3,6%, Korsel 4 %. Kecilnya dana penelitian yang dianggarkan, disampaikan oleh Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemristekdikti sebagai penyebab sulitnya meningkatkan mutu dan hasil penelitian di perguruan tinggi. Padahal  penelitian merupakan salah satu soko guru bagi keberadaan universitas,  sehingga kecilnya dana penelitian  akan menyulitkan dunia perguruan tinggi menjalankan berbagai perannya dengan baik.[3]

Problema kewajiban melakukan penelitian bagi dosen Pendidikan Agama Islam sebagai bagian dari Matkulaih Wajib Umum (MKWU) bersama dengan Matakuliah Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia lebih terasa dibandingkan dosen mata kuliah lainnya. Selain minimnya anggaran penelitian bagi dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, waktu dosen  Pendidikan Agama Islam habis untuk mengajar mengingat rasio dosen dan mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum yang belum ideal dan tidak jarang masih menggunakan kelas paralel di auditorium. Kultur dan tema penelitian di PTU belum sepenuhnya mengakomodir model penelitian analisis teks yang bersifat normatif seperti kajian naskah Al-Qur’an, hadits, atau pemikiran ulama dari kitab-kitab klasik. Akibat lainnya adalah kultur menulis karya ilmiah yang masih rendah.

Di samping itu, hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2015 memperlihatkan sejumlah problema yang dimungkinkan dapat mengurangi atau menghambat kualitas dosen Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum. Dosen berasal dari beraneka latar belakang pendidikan tinggi, baik yang berasal dari perguruan tinggi keagamaan Islam maupun dari perguruan tinggi umum, kurangnya sarana dan prasarana perkuliahan  Pendidikan Agama Islam, kurangnya wahana peningkatan kualitas dosen Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum, “popularitas” dosen PAI yang kalah dengan dosen mata kuliah lainnya atau pemberi materi kuliah PAI berasal dari nondosen PAI, dan lain sebagainya.

Untuk menjamin agar peran dan fungsi dosen PAI sebagai pendidik profesional sebagaimana yang diharapkan, perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu  dosen PAI secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pemberdayaan profesi dosen PAI diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Terutama dalam bidang penelitian. Atas dasar itu, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan menilai penting dan strategis untuk menyelenggarakan kegiatan “Pengembangan Penulisan Karya Tulis Ilmiah Bagi Dosen Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum,” sebagai bagian upaya peningkatan kualitas dan kuantitas dosen Pendididikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,  dalam kegiatan penelitian.

Kegiatan ini bertujuan untuk:

  1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas karya tulis ilmiah dari hasil penelitian  dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum;
  2. Memperoleh 15 (lima belas) hasil penelitian  karya tulis ilmiah  dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dari hasil seleksi Proposal Penelitian.

Kegiatan dilaksanakan dalam bentuk lomba menyusun proposal penelitian bagi dosen Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Setelah itu, dosen terpilih  diberikan biaya perjlanan untuk melakukan penelitian sesuai proposal yang telah diperbaiki. Selama melakukan penelitian, dilakukan pendampingan sekaligus monitoring terhadap dosen yang bersangkutan. Bagian akhir kegiatan ini adalah seminar hasil penelitian.

Tema karya tulis ilmiah yang diajukan dalam bentuk Proposal Penelitian  adalah  “Moderasi Islam dan Wawasan Kebangsaan dalam  Perspektif Pendidikan Agama dan Keagamaan”.

Topic tersebut dipilih karena melihat peranan dan komitmen masyarakat muslim Indonesia, termasuk generasi mudanya untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika sangat besar dan menentukan. Sejarah telah membuktikan akan peranan dan komitmen tersebut. Namun akhir-akhir ini, terdapat sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya generasi mudanya, yang ditengarai memiliki pandangan dan perilaku intoleran, tidk setuju Negara Kesatuan Republik Indonseia (NKRI).

Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sebagian umat Islam Indonesia, telah terpapar gejala inoleransi, radikalisme, bahkan terorisme. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), di wilayah Jabodetabek disebutkan, bahwa pelajar SMP dan SMU 48,9 persen menyatakan setuju tindakan kekerasan atau aksi radikal demi agama. Bahkan 14,2 persen pelajar menyatakan setuju dengan aksi terorisme yang dilakukan oleh para bomber seperti Imam Samudra, Amrozi, dan Noordin M Top. Meskipun data di atas tidak bisa digeneralisir untuk kondisi pelajar di seluruhTanah Air, tetapi merupakan bukti serius adanya ancaman terhadap kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil survei LIPI dipaparkan, sebanyak 25 persen siswa mengatakan, Pancasila tidak lagi relevan sebagai dasar negara Indonesia. Terdapat 84 persen siswa bahkan setuju penerapan syariat  Islam, 52,3 persen malah setuju kekerasan beragama, dan 14,2 persen siswa mendukung aksi pengeboman. Anehnya lagi, pembinaan keagamaan atau pelajaran agama Islam yang radikal dan intoleran justru tumbuh subur di lembaga pendidikan sekolah dan Perguruan Tinggi yang notabene milik negara.

Hal yang sama dapat dilihat temuan riset terkini dari Mata Air Fondation dan Alvara Research Center yang secara khusus mengukur sikap dan pandangan keagamaan kalangan pelajar SMA dan mahasiswa Indonesia. Survei ini dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi unggulan di Indonesia dan 2.400 pelajar SMAN unggulan di Pulau Jawa serta kota-kota besar di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa ada 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA telah terpapar paham radikal. Mereka ini setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Demikian juga tentang ideologi Pancasila, terdapat 18,6 persen pelajar lebih memilih ideologi Islam sebagai ideologi bernegara dibandingkan Pancasila. Sementara, di kalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen memilih ideologi Islam ketimbang Pancasila sebagai ideologi bernegara. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah fenomena turunnya ketahanan nasional di negara ini karena adanya penurunan di masalah ideologi. Sebanyak 19,4 persen PNS tidak setuju ideologi Pancasila. Masih banyak lagi hasil penelitian yang mengindikasikan demikian.

Oleh karena itu, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI melakukan penelitian tentang moderasi Islam dan wawasan kebangsaan terhadap sejumlah mahasiswa, pelajar, santri, dan masyarakat peserta majlis taklim di berbagai daerah. Penelitian tersebut dilakukan oleh sejumlah dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Umum (PTU) berdasarkan hasil seleksi lomba karya tulis ilmiah. Penelitian dengan demikian sangat penting dalam rangka memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai moderasi dan wawasan kebangsaan umat Islam dan upaya memperkuatkannya berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan sebagian masyarakat muslim.

 

HASIL DAN  KESIMPULAN

Sesuai dengan tujuan kegiatan ini, maka telah diperoleh sebanyak 15 tulisan hasil penelitian dari dosen Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum. Kelimabelas ringkasan hasil penelitian tersebut diuraikan berikut ini.

  1. Penguatan Wawasan Kebangsaan Dan Moderasi Islam Untuk Generasi Millenial (Studi Kasus di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta).

Program-program wawasan kebangsaan dan moderasi Islam di UPN Veteran Yogyakarta diimplementasikan dalam beberapa mata kuliah, diantaranya, bela negara dan widya mwat yasa, pendidikan kewarganegaraan, pancasila, agama Islam, dan olah raga. Implementasi wawasan kebangsaan dan moderasi Islam di UPN Veteran Yogyakarta, diantaranya mahasiswa memiliki rasa tasāmu (toleran), tawasu (moderat), tawāzun (seimbang), amar ma’ruf nahi munkar, seluruh mahasiswa wajib mengikuti upacara bendera, persiapan kelas dan outbond bela negara.

Faktor pendukung berasal dari faktor intern, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern berasal dari luar diri mahasiswa, seperti sesuai dengan visi dan misi kampus. Sedangkan faktor penghambat dalam implementasi ini adalah latar belakang mahasiswa yang berbeda, faktor lingkungan serta perbedaan kebudayaan di dalam kampus dan di luar kampus.

Terdapat tiga model penguatan wawasan kebangsaan dan moderasi Islam di masa depan; Pertama, Mandiri-otonomi : Bela negara menjadi program terpisah dan mandiri tanpa ada kaitan dengan mata kuliah, Kedua, Embedded-partial: Bela negara menjadi bagian dari beberapa program, misalnya hanya terintegrasi ke dalam Mata Kuliah Dasar Umum, begitu juga dalam level kemahasiswaan yang bisa memandatkan kepada salah satu UKM ataupun BEM. Ketiga, integrasi: Bela negara terintegrasi ke dalam seluruh elemen kampus, mulai dari kurikulum, non kurikulum, pengajaran, kemahasiswaan, dan semua kegiatan-kegiatan penunjang lainnya.

 

  1. Internalisasi Nilai- Nilai Moderasi Islam Melalui Matakuliah Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum  (Studi Kasus di Universitas Pendidikan Indonesia).

Pola internalisasi nilai-nilai moderasi PAI UPI dilaksanakan melalui : a. melalui keberadaan matakuliah PAI, dimana secara konten berkorelasi langsung dengan pembentukan karakter mahasiswa moderat. b. Melalui keteladanan yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan dan kebijakan di UPI khususnya Dosen PAI yang selalu mengedepankan sikap moderat.

Materi – materi yang disampaikan dala internalisasi nilai-nilai moderasi PAI UPI dilakukan : a.  terkait dengan input dari mahasiswa yang menjadi peserta kuliah PAI di UPI. b. Berkaitan dengan dosen pengampu Mata Kuliah PAI di UPI, baik terkait kemampuan mengajar, atau kompetensi-kompetensi dosen PAI UPI.  c. Berkaitan dengan  materi dari Mata Kuliah PAI itu sendiri. d. Berkaitan dengan dukungan dari lingkungan kampus UPI.

Kurikulum Pelaksanaan Internalisasi nilai-nilai moderasi PAI UPI dilaksanakan berdasar konten matakuliah PAI sendiri yang berkorelasi dengan pembentukan karakter moderat mahasiswa, adapun  konten kurikulum sesuai RPS matakuliah PAI UPI 2018, diantaranya :  (M1) metodologi memahami Islam, (M4) ijtihad sebagai proses pengembangan hukum Islam dan ragam persoalan khilafiyah dalam Islam, (M10) konsep akhlak dan pengaplikasiannya dalam berperilaku, (M11) konsep dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam, (M12) konsep jihad dalam Islam dan perwujudannya.

Metode internalisasi nilai-nilai moderasi PAI UPI, dilakukan: a. melalui mata kuliah PAI, b. melalui penguatan kegiatan integrasi Tutorial, melalui pembinaan unit kegiatan mahasiswa, dan d. melalui kegiatan lain yang menunjang tercapainya nilai-nilai moderasi bagi mahasiswa, seperti ; launching gerakan bahaya radikalisme di UPI, diadakan seminar tentang bahaya radikalisme, dan kegiatan lain yang menunjang.

Evaluasi internalisasi nilai-nilai moderasi PAI UPI, dilaksanakan melalui : a. screening wawasan matakuliah PAI dengan metode computer base test. b. laporan yang dilaksanakan para tutor pada pelaksanaan Tutorial. c. Laporan para dosen dan pihak lain.

 

  1. Pemahaman Dan Implementasi Gerakan Mahasiswa Islam Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Terhadap Konsep Moderasi Islam Dan Wawasan Kebangsaan.  

Pemahaman gerakan mahasiswa Islam UGM dalam hal ini IMM dan KAMMI secara organisasi mengenai moderasi Islam dan wawasan kebangsaan sudah baik. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa pemahaman KAMMI UGM sedikit lebih baik dibandingkan IMM UGM. Ada catatan serius mengenai hal ini yaitu masih ada aktivis yang menganggap bahwa moderasi Islam adalah isu untuk menyerang kelompok yang berseberangan, pemahaman yang tidak toleran, dan cenderung merupakan usaha menebar kebencian kepada pandangan yang berbeda. Kedekatan KAMMI dengan PKS yang menjadikan Ikhwanul Muslimin, Mesir sebagai patron juga bisa menjadi batu sandungan. Karena berpotensi dianggap gerakan yang tidak cinta Indonesia meskipun secara pemahaman keislaman tidak ada yang salah dengan organisasi yang oleh media Barat disebut dengan nama Moslem Brotherhood tersebut.

Pemahaman yang baik dalam moderasi Islam ternyata tidak berbanding lurus dengan pengetahuan mereka mengenai wawasan kebangsaan. Secara logika seharusnya sebanding. Karena dalam konsep moderasi Islam juga mencakup wawasan kebangsaan. Begitu juga pemahaman yang baik faktanya tidak sebagus implementasinya terhadap dua isu tersebut.Pemahaman tentang moderasi Islam adalah tentang paham tengahan agama rahmatan lil ‘alamin tersebut.

Implementasi moderasi Islam dan wawasan kebangsaan KAMMI UGM lebih baik daripada IMM UGM. Angka perbandingannya adalah 66%: 58%, sangat tipis. Jika menggunakan indikator sebagaimana tertulis dalam metode penelitian maka IMM UGM dan KAMMI UGM masuk kategori cukup moderat. Beberapa contoh implementasinya adalah shalat berjama’ah di masjid, mengadakan kajian wasathiyah, mengikuti upacara bendera, ataupun aksi demonstrasi tidak rusuh. KAMMI UGM memang selalu lebih bagus daripada IMM UGM tapi banyak catatan terhadap organisasi yang kini berumur 20 tahun tersebut. Mereka adalah organisasi eksklusif. Terbukti dengan tidak memberikan informasi yang terbuka dan lengkap dalam hal pola rekrutmen, sistem pendanaan, koleksi pustaka, serta keterkaitan dengan PKS.

 

  1. Toleransi Dan Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Pemahaman Gerakan Mahasiswa Islam Di Jakarta.

Indeks Toleransi mahasiswa Islam di Jakarta sebesar 3,82 termasuk dalam kategori “Tinggi”, yang mengindikasikan bahwa interaksi sosial antarumat beragama di Jakarta telah berlangsung secara baik dan berada dalam batas-batas jarak sosial yang wajar. Mayoritas responden memiliki persepsi positif terhadap pernyataan- pernyataan yang diajukan terkait dengan toleransi antarumat beragama, sebagaimana tercermin juga dalam sikap antarumat beragama yang bersedia menerima secara terbuka keberadaan pemeluk agama yang  berbeda  dalam ranah pergaulan sosial maupun profesi, meskipun sebatas pada dimensi publik atau formal dari pergaulan sosial.

Hal ini ditunjukkan dengan sikap terbuka dalam konteks hubungan sosial. Bahkan, untuk responden yang berasal dari kelompok agama minoritas menampakkan keterbukaan dalam hal keagamaan. Sedangkan untuk kelompok mayoritas mengalami hambatan psikologis untuk mengartikulasi  pergaulan yang terbuka dalam konteks keagamaan, hambatan ini tidak  lantas  berarti buruk bagi pola kerukunan. Keengganan untuk  berdialog  dalam  konteks agama adalah bagian dari strategi peace building. 

Faktor pengalaman interaksi tampaknya mempengaruhi kualitas kerukunan antar umat beragama, kelompok agama mayoritas mengalami hambatan dalam hal merayakan pergaulan dalam  konteks keagamaan meski secara sosial tidak bermasalah. Kelompok responden yang  matang dengan pengalaman interaksi, semakin toleran. Semakin tinggi interaksinya maka peluang  semakin  rukun lebih besar.

Kemungkinan konflik umumnya dipicu oleh perizinan pembangunan rumah ibadat yang  berada  dalam  ranah  kewenangan pemerintah, sehingga hal ini penting untuk dibenahi dalam rangka  meningkatkan capaian Indeks Toleransi di Jakarta. Isu agama masih menjadi faktor kuat untuk memicu sentimen berbasis identitas in-group dan out-group, sehingga rentan memicu konflik.

Pemerintah Kota Jakarta justru perlu meningkatkan perannya dalam meminimalkan resiko konflik yang dipicu oleh sentimen keagamaan tersebut, mayoritas responden berharap pemerintah berperan lebih banyak dan lebih substantif dalam hal regulasi kehidupan umat beragama, memenuhi  jaminan hak beragama, serta dalam hal penciptaan situasi toleransi  yang  kondusif seperti melalui penguatan pendidikan keagamaan berbasis multikultural. Pemerintah juga diharapkan lebih tegas, konsisten, dan adil terhadap semua pemeluk agama dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang terkait dengan perizinan pembangunan rumah ibadat dan penerapan peraturan-peraturan tersebut.

 

  1. Implementasi Hukum Pidana Islam Dalam Perspektif Pluralisme Hukum Dan Wawasan Kebangsaan Indonesia Di Perguruan Tinggi.

Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakberhasilan Mengimplementasikan Hukum Pidana Islam Dalam Perspektif Pluralisme Hukum Dan Wawasan Kebangsaan Indonesia Di Perguruan Tinggi Islam yaitu sebagai berikut :

  1. Kebiasaan atau adat istiadat ini disebut hukum adat, hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (the living law).
  2. Dari segi agama terdapat nilai-nilai agama yang diyakini bersama dijadikan sebagai sistem kehidupan yang dianggap sebagai hukum yang bersumber pada agama yang diyakini sebagian besar masyarakat.
  3. Sebagian negara yang pernah dijajah selama 350 tahun, maka kolonial Belanda jelas membawa sistem hukum Belanda ke Indonesia dan bahkan memaksakan hukumnya kepada masyarakat jajahannya.

Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

 

  1. Implementasi Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural: Studi terhadap SMA PIRI 1 Yogyakarta.

Pertama, Pembelajaran PAI di SMA PIRI 1 Yogyakarta dapat dikatakan telah memenuhi kriteria sebagai PAI berwawasan multikultural sebab SMA PIRI 1 Yogyakarta memiliki: (1) keragaman civitas akademika; (2) guru PAI yang multikulturalis; (3) Pembelajaran PAI yang menyenangkan, inklusif, dan inspiratif.

Kedua, Pembelajaran PAI berwawasan multikultural yang diajarkan di SMA PIRI 1 Yogyakarta nyata mampu mengubah peserta didik. Perubahan ini menyangkut perubahan pola pikir dan pemahaman siswa serta prilaku siswa terhadap kelompok Islam yang berbeda dan pemeluk agama lain. Dalam pembelajaran PAI di kelas, para siswa mengaku bahwa materi PAI yang diajarkan oleh Ibu Anis Farikhatin sangat sarat dengan pesan-pesan toleransi dan perdamaian. Pasca belajar PAI berwawasan multikultural, mereka merasa semakin mampu menghargai berbagai perbedaan dan keragaman, baik perbedaan agama, budaya, etnisitas, dan bahasa. Kondisi ini jauh berbeda saat mereka belum belajar PAI berwawasan multikultural yang masih kerap diliputi prasangka buruk terhadap pemeluk agama lain.

 

  1. Implementasi Wawasan Kebangsaan Melalu Pendidikan Agama Islam Di SMAN 2 Kota Tangerang Selatan.

Nilai-nilai wawasan kebangsaan yang ditanamkan pada peserta didik diantaranya adalalah sikap religious, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, gemar membaca, peduli lingkungan dan peduli sosial.

Proses penanaman wawasan kebangsaan dimulai dari integrasi kurikulum melalui beberapa mata pelajaran diantaranya, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan karakter dan pendidikan agama Islam budi pekerti. Selain itu proses penanaman wawasan kebangsaan  dapat dilakukan melalui upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap hari sebelum kegiatan belajar dilakukan dan menghormati bendera merah putih. Proses penanaman wawasan kebangsaan dilakukan dengan mengucapkan janji siswa untuk mencintai tanah air dan bangsa yang menjadi bagian dari isi buku pedoman tata tertib.

Implementasi penanaman wawasan kebangsaan pada mata pelajaran pendidikan agama Islam terdapat di dalam Q.S Annisa: 59 dan Q.S Yunus:40-41 yang berkaitan dengan sikap saling menghormati, menghargai kepada sesame manusia sehingga tercipta kerukunan dan menjadi orang yang bertaqwa dngan taat kepada aturan. Selain itu implementasi dapat dilakukan melalui kedisiplinan agar dapat menjadi pribadi yang memberikan keamanan dan kenyamanan untuk orang sekitar.

Output dari penanaman wawasan kebangsaan adalah siswa memiliki sikap taat kepada aturan, baik aturan Allah swt, Rasul dan pemerintah. Siswa memiliki sikap saling menghargai sesama, siswa memiliki sikap dan jiwa bela negara yang tinggi, memilika toleransi yang tinggi terhadap perbedaan keyakinan untuk menjaga kerukunan dan kedamaian.

 

  1. Wawasan Kebangsaan Moderasi Islam Dan Pendidikan Agama Study Expost Facto Di SMAN 2 Kota Depok. 

Semakin tinggi sikap moderasinya, semakin tinggi wawasan kebangsaannya. Sikap moderasi yang demikian akan memberikan dorongan untuk berkehidupan bangsa yang baik. Siswa yang memiliki sikap moderasi tinggi akan lebih matang dalam menyikapi persamalahan kebangsaan.         Hasil penelitian secara empirik memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan wawasan kebangsaan siswa yang memiliki pengetahuan agama Islam tinggi dan pengetahuan agama Islam rendah. Dengan demikian bahwa pengetahuan agama Islam berpengaruh terhadap wawasan kebangsaan. Semakin tinggi pengetahuan agama Islam nya, semakin tinggi wawasan kebangsaannya. 

Temuan penelitian yang diperoleh agaknya memiliki koherensi dengan temuan-temuan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pengetahuan agama Islam berpengaruh terhadap wawasan kebangsaan. Dengan demikian penguatan nilai-nilai kebangsaan, tidak bisa meniscayakan pengetahuan agama Islam. Ketika kita berusaha untuk meningkatkan wawasan kebangsaan, seyogyanyalah menggunakan variabel pengetahuan agama Islam sebagai sebuah pendekatan yang efektif untuk mempengaruhi pengembangan dan peningkatan wawasan kebangsaan.

 

  1. Internalisasi Nilai Nilai Islam Wasathiyah Dan Wawasan Kebangsaan Di Kalangan Pelajar Jenjang Menengah Atas Di Lasem. 

Pertama, bahwa pembentukan jati diri pelajar santri yang berkarakter religiusnasionalis di kalangan pelajar tingkat menengah atas di kota Lasem dinyatakan berhasil melalui ruang-ruang sosial yang melingkupi seluruh alur proses dan dinamika sosialkeagamaan dalam kinerja institusi pendidikan yakni yang meliputi 3 (tiga) milieu belajar, yaitu: (a) madrasah, (b) pesantren, dan (c) masyarakat.  Ketiga milieu tersebut pada dasarnya berperan penting dalam membentuk serta mempengaruhi perilaku pelajar santri pada tataran praksis sosial, yang pada gilirannya akan terkonstruksi dalam wujud jati diri dan karakter yang banyak berkontribusi dalam mempengaruhi nalar, persepsi, image dan penilaian serta tindakan individu-individu (para pelajar santri) dalam serangkaian proses maupun pergaulan hidup mereka sehari-hari.

Kedua, bahwa masa depan negara Indonesia membutuhkan keseriusan dan tekad yang kuat dalam mewujudkan generasi penerus pembangunan nasional yang memiliki karakter dan jati diri anak bangsa yang tangguh, mandiri, religius, nasionalis dan toleran. Metode habituasi dalam mana karakter dan jati diri pelajar santri dibentuk, yaitu; (1) Lingkungan pendidikan; (2) Filterisasi informasi dari luar; dan menjadikan (3) Kiai sebagai role model. Terakhir, berdasarkan data yang ada dapat dikatakan, tingkat pemahaman peserta didik di MA Al-Hidayat, yakni dalam konteks relasi Islam dan negara terbukti sangat baik. Baik dalam arti, para pelajar santri sudah tidak mempersoalkan Pancasila sebagai falsafah negara, bentuk dan konstitusi negara Indonesia.

Mengamalkan Pancasila berarti mengamalkan ajaran agama Islam. Bahkan menurut penilaian mereka Pancasila dan Negara Kesantuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final dan tidak perlu diganti dengan sistem yang lain. Selanjutnya, terkait isu toleransi dan pluralisme, sudah jelas tidak ditemukan masalah berarti mengenai tingkat pemahaman keislaman dan keindonesian di kalangan pelajar santri terkait isu relasi Islam dan negara, maupun isu toleransi dan pluralisme. Keterangan data tersebut juga membuktikan berfungsinya ruang-ruang sosial dalam proses internalisasi nilai-nilai Islam wasathiyah dan wawasan kebangsaan di kalangan pelajar tingkat menengah atas di kota Lasem.

  1.  Transformasi Moderasi Islam Dan Wawasan Kebangsaan Pada Santri Pondok Pesantren Salafi Jami’atul Ikhwan Kabupaten Serang.

Penanaman nilai-nilai kebangsaan pada santri dilakukan melalui pembelajaran kitab kuning, budaya pondok, kegiatan rutin pondok dan ekstrakuler. Nilai bhineka tunggal ika, Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Kesetiaan pada undang-undang dasar disampaikan melalui pembelajaran kitab tauhid, kitab fikih dan kitab akhlak. Nilai bhineka tunggal ika dan pancasila ditanamkan melalui budaya pondok, dimana santri yang berasal dari satu daerah berinteraksi dengan santri dari daerah lain dalam lingkungan pondok, makan bersama, dan mencapai tujuan bersama, dan melalui kegiatan rutinitas pondok seperti shala berjama’ah. Juga melalui ekstrakurikuler seperti muhadlarah, tawassul, marhaban, barjanji dan yalil.

Penanaman nilai-nilai moderasi Islam pada santri dilakukan melalui pembelajaran kitab kuning, budaya pondok, kegiatan rutin pondok dan ekstrakuler. Pemikiran moderasi Islam dikembangkan melalui tiga jalur keilmuan, yaitu jalur ilmu Tauhid (ilmu Kalam), jalur Iilmu Fikih dan jalur Ilmu Akhlak. Pola pengembangan dilakukan kebanyakan melalui pembelajaran kitab kuning dan sedikit melalui marhabanan, Tahlil, tawassul dan pembacaan Barjanji.

 Aktualisasi moderasi Islam dilakukan dengan mekanisme mengamalkan pelajaran dari kitab yang sudah mereka kaji, baik tauhid, fikih maupun akhlak. Pengamalan tauhid terlihat dari “keyakinan terhadap Allah” menjadi alat yang mendorong dan menggerakan santri untuk mengerjakan aktifitas kesehariannya di pesantren, seperti belajar, shalat, puasa sunnah dan sebagainya. Pengamalan fikih Syafi’I yang mereka pelajari dari kitab-kitab fikih sebagaimana dijelaskan di muka, terlihat dari tata cara mereka membersihkan najis, berwudlu, dan shalat. Pengamalan akhlak dilakukan dengan mengamalkan tuntunan akhlak yang mereka pelajari dari kitab-kitab akhlak sebagaimana di atas dan mengikuti figur kyai. Hal tersebut nampak dari sopan santun mereka ketika bertemu kyai, ustad, mamang santri dan orang lebih tua yang bertamu ke pesantren. Adapun Nilai-nilai kebangsaan meliputi menghormati dan menghargai segala perbedaan, menjaga persatuan, cinta tanah air, membela tanah air dan sebagainya teraktualisasi dalam mindset dan  sikap santri dalam kehidupan keseharian mereka di pesantren. Adapun Nilai-nilai kebangsaan meliputi menghormati dan menghargai segala perbedaan, menjaga persatuan, cinta tanah air, membela tanah air dan sebagainya teraktualisasi dalam mindset dan  sikap santri dalam kehidupan keseharian mereka di pesantren.

 

  1. Moderasi Islam Dan Wawasan Kebangsaan Dalam Perspektif Pendidikan Agama Dan Keagamaan”. (Persepsi Santri Terhadap Konsep KeIslaman dan Kebangsaan di Pesantren Puteri Tahfidzul Qur’an Ar Rahmah Pandeglang Banten).

Persepsi santri pada Pesantren Puteri Tahfidhul Qur’an Ar-Rahmah mengenai wawasan keislaman dan kebangsaan cukup baik, bahkan korelasinya cukup signifikan antara wawasan keislaman dengan wawasan kebangsaan. Hal ini terjadi dikarenakan adanya kesadaran dan keteladan dari Pengasuh Pondok mengenai Islam Moderat / Islam Wasathiyah.

Keunikan Pondok Pesantren Puteri Tahfidhul Qur’an Ar-Rahmah dalam memelihara wawasan kebangsaannya adalah dengan cara mengadakan upacara bendara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Hal ini cukup unik karena Pondok Pesantren Puteri Tahfidhul Qur’an Ar-Rahmah termasuk dalam kategori pesantren tradisional (salafi) yang letaknya di pedesaan. Adanya upaya dari Pengasuh Pondok untuk mengubah stigma bahwa pesantren adalah sarang teroris dengan membangun dan mengajarkan kepada santrinya tentang paradigma Islam Wasathiyah / Islam Moderat.

  1.  Aplikasi Islamic Agropreneur School Dalam Rangka Pengembangan Kompetensi Lulusan Berwawasan Kebangsaan Di Pondok Pesantren Darunnajah.

Wawasan kebangsaan di pondok pasantren Darunnajah telah diterapkan sejak santri masuk di asrama dengan cara penempatan kamar tidur tidak boleh bersama dengan teman sedaerahnya. Pengenalan agropeneurship kepada santri perlu dilakukan sebagai bekal santri ketika menjadi alumni menjadi penyedia lapangan kerja bukan pencari lapangan kerja. Penerapan agropreneurship di pasantren secara tidak langsung mengajarkan santri untuk cinta produk dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja berbasis ekonomi kreatif. Keterlibatan guru dan santri dalam agropreneurship sangat penting sebagai ilmu aplikatif. Sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan swasta (non pemerintah) untuk menerapkan agropreurship untuk menopang keuangan lembaganya secara berkesinambungan.

 

  1.  Peran Majelis Taklim dalam Membentuk Perilaku Adaptasi Minoritas Muslim dengan Budaya Lokal di Wilayah Suku Tengger Pasuruan.

Peran majelis taklim dalam membentuk perilaku adaptasi  masyarakat muslim suku Tengger dengan budaya lokal melalui peningkatan pengetahuan keagamaan jamaahnya (minoritas Muslim) meliputi tiga hal, yaitu pembinaan tentang aqidah, pembinaan tentang fiqih ibadah, dan akhlaq Islam. Pertama, dalam hal pembinaan aqidah, majelis taklim memiliki peranan penting dalam meningkatkan pengetahuan dan penguatan aqidah bagi masyarakat muslim di wilayah Tengger yang dalam kehidupan sehari-harinya banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya lokal.

Kedua, melalui kegiatan majelis taklim dapat meningkatkan pengalaman pembelajaran praktek fiqih ibadah bagi masyarakat muslim Tengger (jama’ah). Seperti halnya tata cara bersuci, sholat, puasa, zakat dan haji. Bahkan pada hal-hal yang sangat mendasar seperti pembelajaran baca tulis al-Qur’an sangat dibutuhkan bagi jama’ah. Dalam kasus tertentu, bahkan ada sebagian jama’ah yang sering kali lupa jumlah raka’at sholat lima waktu, karena sebagian diantara mereka ada yang masih sering meninggalkan ibadah sholat lima waktu, terutama sholat dzuhur dan ashar karena sibuk dengan bercocok tanam.

Ketiga, berkaitan pembinaan akhlaq (prilaku) sebenarnya masyarakat Tengger secara umum memiliki perilaku yang terpuji dibanding dengan masyarakat pada umumnya. Seperti halnya sopan dalam bertutur kata, jujur, semangat kebersamaan, saling menghormati dan menghargai antar sesama. Hal ini terjadi tak lepas dari konstruksi budaya mereka yang menyimpan nilai-nilai kearifan lokal. Namun demikian, majelis taklim dengan program-program sosial yang dimiliki juga berperan dalam menguatkan dan mengembangkan akhlaq lebih baik antar sesama.

Ada beberapa daya dukung majelis taklim dalam menjalankan perannya di wilayah minoritas muslim suku Tengger. Diantaranya; secara kuantitas jumlah Majelis Taklim cukup banyak dibanding perada (tempat kegiatan keagamaan pemeluk Hindu), keberadaan majelis taklim di tengah-tengah masyarakat, majelis taklim lebih mengetahui keadaan kaum dhuafa, majelis Taklim Mudah Menarik Simpati Masyarakat, kerja sama majelis taklim dengan Remaja Masjid.

Adaptasi minoritas muslim Tengger (jama’ah majelis taklim) dengan budaya lokal telah ditemukan lima bentuk adaptasi, yaitu konformitas dengan budaya karo. Inovasi dengan budaya barikan. Ritualisme dengan budaya kasodo dan walagara. Retreatisme (pengasingan diri) dengan budaya liliwet dan santi. Dan rebellion (memberontak) dengan berbagai budaya yang berkembang di wilayah Tengger yang dianggap sebagai perilaku bid’ah bahkan mengarah pada perbuatan syirik oleh sebagian masyarakat Muslim Tengger.

 

  1. Studi Moderasi Islam Pada Majelis Taklim Kaum Ibu Masjid Jami’ Baiturrahman Komplek Departemen Agama Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor.

Metode yang digunakan majelis taklim dalam pembinaan nilai-nilai moderasi Islam adalah metode ceramah, tanya jawab, kisah, mauidzah, keteladan dan pembiasaan. Metode ceramah digunakan untuk menerangkan materi baca dan tulis al-Quran. Pada kesempatan yang sama, ustadzah juga memberikan kesempatan bagi santri untuk bertanya terhadap materi yang diajarkan. 

Lembaga majelis taklim memiliki hubungan kuat dalam peningkatan kecerdasan spritual utamanya generasi muda didalam kehidupan sehari-hari dan juga dikehidupan bermasyarakat, dimana kegiatan-kegiatan dalam majelis taklim maupun materi/isi dakwah yang diberikan dapat meningkatkan kecerdasan spritual atau kecerdasan ruhaniah dan selanjutnya implementasi konsep nilai-nilai moderasi Islam Tawassut (Moderat), Tasamuh (Toleransi), Tawazun (Balance) Wathoniyah Wa Muwathonah (Materi Kebangsaan), karena kelurahan Pabuaran juga terdapat non Muslim, maka perlu ditanamkan pendidikan toleransi dan Tawassut, yang diharapkan memiliki kekuatan yang hebat untuk mendorong supaya seseorang berbuat dan beramal saleh baik semasa muslim dan sesama manusia serta merasa bertangung jawab terhadap Khaliknya.

Peran pendidikan moderasi Islam pada Majelis taklim di Masjid Baiturrahman dapat digunakan sebagai sarana pendukung untuk menginternalisasikan nilai-nilai moderasi kepada para remaja di Kelurahan Pabuaran. Namun ada juga faktor penghambat dalam proses Pendidikan moderasi Islam yaitu pengaruhi budaya dari luar yang dapat mengancam remaja-remaja Islam yang ada dikelurahan Pabuaran.

 

  1.  Diskursus Demokrasi Dan Khilafah Dalam Perspektif Leader Opinion Aktivis Gerakan Islam Di Jakarta. Ringkasan isinya adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.

Faktor-faktor faktor pemicu konfrontasi gagasan demokrasi dan khilafah dalam perspektif Leader Opinion Aktivis Gerakan Islam di  Jakarta  terletak pada dua hal. Pertama, perbedaan menafsirkan nash tentang nilai dan pandangan hidup (way of life) yang bersifat diametral antara Islam dan Barat. Kedua, perbedaan memahami sejarah dalam menetapkan strategi penerapan syariat Islam di Indonesia.

Implikasi konflik wacana demokrasi dan khilafah dari dalam perspektif Leader Opinion Aktivis Gerakan Islam di Jakarta telah menyeret konfrontasi yang berimplikasinya pada pola hubungan agama dan Negara ditandai dengan penerimaan PKS terhadap demokrasi dan keiukutsertaan MMI dan FPI dalam pemilu. Sebaliknya, HTI menolak demokrasi dan „mengharamkan“ Pemilu dan berujung pada pembekuan badan hukum HTI oleh Pemerintah.

 

REKOMENDASI

Untuk memperkuat moderasi Islam dan wawasan kebangsaan bagi umat Islam Indonesia perlu dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif dalam sebuah kurikulum yang disiapkan secara baik oleh para ahli di berbagai bidang. Kurikulum tersebut dirancang dan diterapkan sesuai dengan tingkat usia, pendidikan, dan jenis lembaga yang diikutinya, baik kurikulum untuk pelajaran yang sedang belajar di sekolah, santri di pondok pesantren, mahasiswa di perguruan tinggi, atau masyarakat lainnya melalui lembaga pendidikan keagamaan nonformal.

Tidak  kalah pentingnya adalah adanya keteladanan dari para pimpinan, baik dari lembaga pemerintah maupun swasta. Di samping itu, kondisi dan situasi lingkungan baik lingkungan sekolah/perguruan tinggi, keluarga dan masyarakat juga harus diperhitungkan dalam menyusun dan mengimplementasikannya. Sebagus apapun kurikulum yang dicanangkan, tanpa adanya keteladanan dari para tokoh dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung, maka kondisi yang diharapkan akan sulit terwujud.



[1] “Tridharma: Beban Kerja Dosen Diatur Setiap Perguruan Tinggi” dalam Kompas 24 Januari 2018, halaman 12.

[2] “Penelitian dan Keberadaan Universitas” oleh: Susanto Imam Rahayu, Kimiawan, anggota akademi ilmu pengetahuan indonesia. Kompas ssenin 15 januari 2018. Hal 7.

[3] Ibid.

 

...

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia