Peneliti : Arnis Rachmadhani, H. Dahlan AR, H. Joko Tri Haryanto, Lilam Kadarin Nuriyanto, Hj. Marmiati Mawardi, Mustolehudin, H. Romzan Fauzi,
Kategori: Draft Regulasi
Unit Kerja: BLA-Semarang
Salah satu isu penting terkait kehidupan sosial keagamaan pada tahun 2015 adalah pelayanan negara terhadap umat beragama, khususnya pelayanan dalam bidang administasi kependudukan. Dokumen kependudukan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) telah menjadi polemik mengenai pencantuman agama dalam kolom di KTP. Sebagian masyarakat setuju dan mendukung agar kolom agama dalam KTP tetap diadakan, sementara sebagian masyarakat yang lain menolak dan menginginkan agar kolom agama tersebut dihapuskan. Demikian pula belum ada keseragaman dari lembaga yag berwenang terhadap keberadaan aliran kepercayaan. Ada daerah yang mencantumkannya sebagai aliran kepercayaan, ada yang mengosongkan, ada yang “dipaksa” mencantumkan salah agama dari 6 agama mayoritas.
Demikian pula dengan pendidikan agama di sekolah, di mana sesuai amanat UU tentang Sisdiknas, lembaga pendidikan wajib memberikan agama sesuai agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama. Namun pada praktiknya, agama-agama yang minoritas dan penganut aliran kepercayaan tidak mendapatkan haknya untuk mempelajari agamanya.
Dalam realitasnya tidak hanya enam agama mayoritas yang disebutkan dalam PNPS Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Masyarakat di Indonesia ada pula yang memeluk aliran kepercayaan, agama lokal, dan agama minoritas lainnya, seperti Kepercayaan atau Agama Sunda Wiwiitan, Agama Kaharingan, Agama Baha’i, dan sebagainya. Demikian pula dalam agama-agama mayoritas pun terdapat aliran-aliran yang dianggap menyimpang dari arus utama agama tersebut, seperti Aliran Syiah dan Ahmadiyah dalam Islam, gereja Mormon dan gereja Ortodoks dalam agama Kristen. Berbagai agama dan kepercayaan tersebut juga dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 sebagai bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi.
Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah negara kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang ada di Indonesia. Namun secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama melalui pelayanan terhadap agama dan umat beragama yang ada di Indonesia. Untuk itu, negara perlu memiliki kriteria yang jelas mengenai agama yang dapat dilayani oleh Negara, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Berdasarkan latar belakang di atas maka Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang menyelenggarakan kegiatan workshop bertema "Kriteria Agama yang Dapat Dilayani oleh Negara".
Kegiatan Workshop Kriteria Agama yang Dapat Dilayani Oleh Negara di Jawa Timur pada 22-25 Agustus 2015 telah terlaksana dengan baik. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1) Masih terjadi diskriminasi terhadap kelompok keagamaan minoritas, baik aliran keagamaan, ataupun kepercayaan, dalam hal pelayanan publik/ administrasi kependudukan.
2) Terdapat hierarkhi dalam agama-agama di Indonesia, meliputi agama, alirah keagamaan, dan kepercayaan.
3) Kriteria agama yang dapat dilayani oleh negara adalah agama yang secara de facto dan de jure telah ada dan berkembang dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku di NKRI; kurun waktu sejarah keberadaannya di indonesia telah cukup lama; jumlah persebaran telah cukup representatif; jumlah pengikut telah mencapai jumlah yang cukup signifikan; Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; mendapatkan pengakuan rekomendasi yuridis dari pemerintah.
4) Pelayanan negara terhadap umat beragama meliputi: pendirian rumah ibadat, administrasi kependudukan, pendidikan, pemakaman.