Peneliti : A.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I., Ali Khudrin, Mukhtaruddin, Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., Umi Muzayanah, S.Si., M.Pd., H. Wahab, Hj. Yusriati,
Kategori: Pedoman
Unit Kerja: BLA-Semarang
Indonesia ditakdirkan sebagai sebuah bangsa dengan corak masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya ikatan-ikatan sosial yang berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi satu kesatuan merupakan sebuah konsep kekuatan untuk menyadarkan bahwa kemajemukan yang dimiliki Indonesia memiliki dua potensi sekaligus. Dua potensi tersebut adalah persatuan (integratif) dan perpecahan (disintegratif). Sebuah kenyataan bahwa bentuk negara kita yang berbentuk kepulauan yang terdiri dari berbagai suku etnik, budaya, bahasa, serta agama dan tersebar pada pulau-pulau di Indonesia. Tercatat lebih dari 300 kelompok etnik di negara Indonesia.
Dilihat dari jumlah varian agama, meskipun Pemerintah Indonesia saat ini secara administratif hanya melayani (mengakui) enam agama terbesar di Indonesia (Islam, Kristen, katholik Hindu Buddha, Khong Hu Cu) namun sebenarnya ada banyak varian agama yang tumbuh subur di Indonesia seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Subud, Pangestu dan lain sebagainya.
Indonesia berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa dan terdiri dari bermacam etnik, budaya, serta agama melainkan hidup berbaur dalam komunitas yang majemuk. Kemajemukan ini berdampak positif dan dampak negatif bagi bangsa Indonesia.
Dampak positif kemajemukan masyarakat Indonesia meliputi akulturasi budaya dan persatuan dan kesatuan Indonesia. Dari sisi akulturasi budaya kemajemukan suku, budaya, dan agama justru menyebabkan integrasi bangsa Indonesia berjalan secara harmonis. Kemajemukan bangsa Indonesia berdampak pada bertahannya negara ini dari gempuran bangsa asing selama lebih dari satu abad atau setelah didirikannya organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908.
Dampak negatif kemajemukan bangsa Indonesai jika dilihat dari suku, budaya, serta agama primodialisme, stereotype etnik menjadi potensi konflik yang besar jika tidak dikelola dengan baik adalah sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan yang kemudian lazim disebut etnosentris saat ini sering menimbulkan konflik. Hal ini dikarenakan setiap anggota masyarakat mayoritas akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
Sikap etonosentris dalam masyarakat majemuk sering diikuti oleh stereotip etnik yaitu pandangan umum suatu kelompok etnis yang menganggap kelompoknya lebih baik daripada etnis lain (Horton & Hunt: 1984:65). Beberapa contoh bentuk disintegratif akibat primodialisme, stereotype etnik sebagai akibat etnosentrisme antara lain konflik Dayak dan Madura di Kalimantan (Republika February 2001), Konflik Jawa dan Aceh tahun 1975-2005 (Kompasiana 2014), konflik Papua, serta konflik Lampung yang melibatkan suku Bali dan Suku Lampung (Kompas Oktober 2012) dan lain sebagainya.
Salah satu penyebab konflik-konflik yang terjadi di Indonesia disebabkan kurang terbinanya pendidikan multikultural di Indonesia. Pendidikan multikultural di Indonesia saat ini baru dirasakan sebagai angin surga. Padahal Fungsi pendidikan nasional sebagaimana dalam Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan dalam Bab II pasal 3 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat artinya adalah pendidikan di Indonesia difungsikan sebagai pengembangan kepribadian, pengembangan kewarganegaraan, dan pengembangan kebudayaan.
Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu mata pelajaran pada lembaga pendidikan formal sekolah sebenarnya memiliki peran strategis dalam usaha menanamkan pendidikan multikultural pada peserta didik. Namun menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita apakah prinsip-prinsip pendidikan serta fungsi pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah terimplementasi pada tataran praktis di lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia.
Pendidikan agama berbasis multikultural sejalan dengan konsep pendidikan multikultural yaitu mengembangkan prinsip unity in diversity (Maliki, 2010: 252). Prinsip untiy in diversity yang dimaksud adalah mengembangakan pendidikan dari monokultur menuju multikultur, great transformation, dan membangun konstruk tentang pluralitas budaya (Maliki, 2010: 252-259). Dengan pendidikan agama berbasis multikultural muncul sebuah harapan terciptanya masyarakat yang toleran, humanis serta memandang sesama manusia sebagai bagian dari msyarakatnya.
Propinsi Bali memiliki keunikan dan keunggulan kebudayaan yang menarik pendatang untuk menetap dan mencari pekerjaan di propinsi ini. Sebagai konsekuensi daerah tujuan wisata; wisatawan manca negara dan domestik, maka mobilitas penduduk (migrasi) akan selalu terjadi di Bali. Fakta yang ada menunjukan jumlah “kaum pendatang”, khususnya etnis Nusantara cukup besar di Bali.
Kegiatan Seminar Hasil Penelitian “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural pada Siswa SMA DI Propinsi Bali” tanggal 07 Mei 2015. Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Diklat Keagamaan Semarang. Secara umum acara tersebut memberikan informasi mengenai pendidikan agama berbasis multikultural pada SMA yang menjadi objek penelitian di Propinsi Bali, serta faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasinya.
Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan ini adalah pertama, sebagian besar budaya sekolah pada beberap SMA di Propinsi Bali belum turut mendukung implementasi pendidikan agama berbasis multikultural. Kedua, Guru pendidikan agama pada SMA di Propinsi Bali terbagi menjadi dua kategori yaitu kategori guru agama yang belum berwawasan multikultural, dan kategori guru agama yang telah berwawasan multikultural.