Peneliti : A.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I., Ali Khudrin, Mukhtaruddin, Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., Mustolehudin, Siti Muawanah, S.Pd.I., M.A., Umi Muzayanah, S.Si., M.Pd.,
Kategori: Pedoman
Unit Kerja: BLA-Semarang
Salah satu persoalan yang mesti di hadapi ke depan adalah kehidupan antar umat beragama. Karena keyakinan keagamaan menempati posisi yang lebih tinggi dari idiologi. Oleh karena itu dalam perjalanannya sangat mungkin saling bersinggungan antara satu keyakinan dengan keyakinan yang lain.
Beberapa kasus kerusuhan yang mengatasnamakan agama terjadi di indoneisa akhir-akhir ini. Terakhir adalah peristiwa Tolikara di Papua yang berujung pada pembakaran tempat ibadah dan fasilitas umum yang lain. Peristiwa Tolikara mungkin hanya sebagian kecil persitiwa yang muncul dipermukaan. Jauh dari itu benih- benih perpecahan ada disekitar kita. Hal ini dimungkinkan karena kesadaran akan multicultural belum ditanamkan secara baik dalam dunia pendidikan maupun kehidupan sosial kemasyarakatan.
Agama adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga hampir tidak ada seorangpun yang tidak emosional ketika berbicara masalah agama, apalagi agama yang dianutnya menjadi trending topic dalam berbagai media karena ada sebagian kecil umatnya yang tidak seirama dengan kebanyakan. Agama juga menjadi sangat dibutuhkan ketika manusia berada dalam kehampaan spiritual dan pada saat yang sama mengalami kebuntuan dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Di sinilah agama menjadi sangat penting keberadaannya sehingga tidak akan hilang dari kehidupan manusia yang sebenarnya, meskipun ada sebagian kecil yang menjadikan agama sebagai simbol agar dapat diterima di masyarakat. Agama adalah realitas sosial yang di dalamnya tidak hanya terkandung ajaran yang bersifat normative doctrinal melainkan juga terdapat variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan ideologi yang dibangun dan dibela oleh para pemeluknya.
Salah satu peran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah mendinamisir masyarakat untuk menjaga keutuhan dan kerukunan bangsa, karena tidak ada satu agamapun yang mengajarkan untuk saling memusuhi atau saling berperang. Oleh karena itu, menjaga kehidupan manusia agar menjadi tertib dan teratur menjadi sebuah keniscayaan. Dengan demikian menurut Komarudin Hidayat, bahwa apabila terjadi konflik antaragama maka terdapat berbagai variabel yang terlibat, yang satu memperkuat yang lain, meskipun ada juga aspek ajaran yang menjadi kekuatan pencegah.[1]
Indonesia sebagai negara yang majemuk, baik dari aspek suku, ras, maupun agama membutuhkan kerangka khusus untuk menciptakan keutuhan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, Pemerintah telah menciptakan visi kehidupan beragama yang dikenal dengan tri kerukunan hidup beragama yaitu kerukunan intern umat seagama, antarumat beragama, serta antara umat beragama dengan pemerintah. Visi ini menjadi penting karena dalam ajaran agama pada satu sisi mengedepankan cinta kasih, mengajarkan keramahan, kesejukan, dan kebaikan-kebaikan untuk umat yang tidak seagama, namun disisi lain agama juga dapat mendorong penganutnya bersifat egois, keras, dan tegas kepada penganut agama yang lain. Hal ini dikarenakan beragama berarti harus memegang teguh ajaran agamanya dan membenarkan ajaran agamanya.
Kepala Sekolah Guru agama pada sekolah umum memiliki tanggungjawab terhadap visi pemerintah tersebut di atas terutama dalam membangun karakter peserta didik agar memiliki semangat kerukunan intern dan antar umat beragama. Tanggungjawab ini tidak hanya ketika berada di sekolah, melainkan bagaimana membentuk karakter peserta didik memiliki rasa solidaritas keagamaan yang tinggi ketika hidup di masyarakat. Peserta didik adalah generasi ke depan yang diharapkan memiliki pemikiran dan sikap yang mondial serta tidak terjebak dalam primordialisme yang sempit.
Hasil Penelitian Balai Litbang Agama Semarang terkait pendidikan multicultural pada SMA di Propinsi Bali dan pendidikan agama di bawah yayasan keagamaan di di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan dan Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa temuan bahwa bahwa masih ada persoalan disharmoni pada realitas multicultural di sekolah dan juga masih ada sekolah dibawah yayasan keagamaan yang belum memberikan pelajaran pendidikan agama kepada peserta didik sesuai dengan agama peserta didik dan tidak sedikit sekolah yang telah memberikan pelajaran pendidikan agama kepada peserta didik sesuai dengan agama peserta didik padahal tidak seagama dengan agama yang dijadikan rujukan yayasan.[2]
Pendidikan agama berwawasan multicultural idealnya berusaha menciptakan kondusifitas dan rasa aman peserta didik untuk menerima dan menjalankan agamanya baik dilingkungan sekolah maupun masyarakat. Pendidikan agama berwawasan multicultural idealnya menciptakan rasa damai ditengah kenyataan perbedaan beragama yang ada di sekitarnya. Bagi yayasan pendidikan yang telah memberikan pelajaran agama sesuai dengan agama peserta didik diharapkan dapat meningkatkan toleransi keagamaan peserta didik, sehingga visi pemerintah agar peserta didik memiliki toleransi intern dan antar umat beragama dapat terwujud. Toleransi harus dikondisikan melalui dunia pendidikan formal karena toleransi beragama diharapkan sudah dibangun melalui pendidikan formal. Dengan demikian toleransi menjadi sebuah kultur yang terus dibangun oleh guru agama melalui mata pelajaran agama yang diajarkan di sekolah di bawah yayasan keagamaan.
Namun demikian, bagi sekolah yang berada di bawah yayasan keagamaan dan belum memberikan layanan pendidikan agama sesuai dengan agama peserta didik diharapkan ikut membangun fanatisme keagamaan yang lebih multikulturalis. Hal ini disebabkan agar tidak terjadi homogenitas dengan pemaksaan mata pelajaran tertentu kepada peserta didik tanpa menghiraukan agama peserta didik. Pemaksaan pemberian mata pelajaran pendidikan agama sesuai dengan agama yayasan dapat membentuk karakter peserta didik menjadi intoleran. Lebih jauh model pemaksanaan seperti ini akan menjadikan peserta didik memiliki fanatisme buta dan tidak membuka hubungan antar umat beragama.
Pendidikan Agama berwawasan multicultural di sekolah formal merupakan bagian dari keseluruhan kegiatan di sekolah. Pendidikan agama berwawasan multicultural diharapkan dapat membentuk peserta didik sebagai generasi terpelajar yang memiliki kecerdasan kognitif melalui pengetahuan umum dan pengetahuan keterampilan serta memiliki kecerdasan emosional dan spiritual melalui pendidikan agama. Dengan demikian, diharapkan pendidikan agama mampu mengokohkan keperibadian peserta didik menjadi manusia yang utuh/sempurna.
Praktek pendidikan agama di sekolah juga sudah harus memperhitungkan aspek kehidupan bersama di mana peserta didik dibantu untuk menyadari bahwa ada kebenaran pada agama lain di luar agama yang dianutnya. Langkah ini menjadi penting karena selama ini pendidikan agama di sekolah terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang hanya membenarkan agamanya sendiri dan penganut agama yang lain adalah salah. Di sinilah barangkali membekali guru pendidikan agama untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana beragama dengan baik dan benar kepada peserta didik menjadi penting. Adapun langkah yang diperlukan adalah mengadakan dialog multikultural lintas agama.
Alasan mendasar tentang perlunya workshop pendidikan agama berwawasan multicultural guru pendidikan agama dan kepala sekolah adalah kenyataan masih menunjukkan bahwa pendidikan agama yang berlangsung selama ini belum mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persaudaraan sejati. Menurut Mujib dan Rumahuru, persaudaraan sejati mengasumsikan adanya kesatuan yang diartikan sebagai pengakuan dan penerimaan satu terhadap lainnya sebagai sesama manusia. Perspektif penyatuan ini bukan dalam arti doktrin melainkan dalam perspektif kemanusiaan.[3]
Dialog sendiri merupakan proses diskusi di mana satu kelompok mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan kelompok lain agar dapat diperoleh pemahaman, makna yang diuraikan serta kesepakatan. Dengan demikian dialog merupakan langkah mengajukan asumsi agar terjadi evaluasi antarkelompok. Melalui proses dialog, diharapkan akan tumbuh sikap saling percaya, karena masing masing secara sadar atau tidak akan saling mendengar dan belajar satu dengan yang lainnya.
[1] Komaruddin Hidayat, KonflikAntar Agama, Kompas: Selasa, 18 Januari 2000.
[2] Penelitian Balai Litbang Agama Semarang tentang pendidikan agama pada sekolah di bawah yayasan agama tahun 2009-2015
[3] Ibnu Mujib dan Yance Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog, Yogyakarta: 2010, h: 208.
Kegiatan Workshop “Pendidikan Multikultural Kepala Sekolah dan Guru Pendidikan Agama SMA di Propinsi Bali” tanggal 10 s.d 13 September 2015 telah terlaksana dengan baik. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, strategi menanamkan budaya damai di lingkungan sekolah dapat dilaksanakan dengan cara menumbuh kembangkan sikap toleransi beragama antar siswa, guru, pegawai. Siswa, guru dan pegawai diberikan pemahaman yang sama akan pentingnya budaya damai di sekolah. Selain itu, siswa, guru dan pegawai diberikan masalah yang didalamnya ada konsep perpecahan (diadakan debat publik). Strategi ini sebaiknya didukung oleh masing-masing Kepala Sekolah.
Kedua, penanaman nilai multikultural melalui pendidikan agama di sekolah dapat dilaksanakan dengan menyediakan pendidik yang kompeten di bidangnya. Para peserta juga sepakat bahwa pihak sekolah sebaiknya mendukung hak untuk memeluk agama dengan membebaskan para peserta didik untuk menggunakan atribut keagamaan sesuai keyakinan masing-masing.
Ketiga, strategi peran guru agama dalam membentuk sikap dan perilaku multikultural peserta didik akan berjalan dengan baik apabila sekolah memberikan fasilitas pendukung. Pengaturan jadwal pelajaran diberlakukan dengan adil, masing-masing agama memperoleh porsi yang sama. Strategi penanaman sikap multikultural tidak sebatas melalui pendidikan agama, tetapi juga pengenalan budaya sekitar kepada para peserta didik. Untuk menanamkan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal, pengajar sebaiknya memahami betul mengenai budaya lokal hingga ke akarnya.
Keempat, strategi optimalisasi tugas dan fungsi guru agama dalam menciptakan kerukunan beragama di sekolah adalah dengan diperlukannya pertemuan untuk guru multi agama dan mengadakan diskusi bersama tokoh antar agama. Selain itu guru juga harus bersikap terbuka terhadap pengetahuan mengenai agama lain. Belajar tentang agama lain dengan membaca buku-buku di perpustakaan. Guru juga sebaiknya mempelajari betul tentang kebudayaan dan pluralisme yang ada di Indonesia. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan para pendidik dapat mengajak para peserta didik untuk bersama-sama membangun toleransi.