Peneliti : A.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I., Drs. H. Achmad Sidiq, M.S.I., , Ali Khudrin, Arnis Rachmadhani, Drs. Bisri Ruchani, H. Joko Tri Haryanto,
Kategori: Pedoman
Unit Kerja: BLA-Semarang
Indonesia tercatat dalam CIA World Factbook Tahun 2013 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk sekitar 251 juta jiwa, atau 3,5% dari keseluruhan jumlah penduduk dunia. Negara dengan luas wilayah daratan sekitar 1,8 juta km2 ini dihuni oleh beragam suku, bahasa, agama, dan budaya. Hasil sensus penduduk tahun 2010 mencatat terdapat 1.128 suku yang tersebar di seluruh pulau di Indonesia. Mereka memeluk agama yang berbeda: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari pun beraneka ragam sesuai dengan asal suku dan daerahnya. Demikian juga dengan budaya yang berkembang di masyarakat yang bermacam-macam sehingga menambah nuansa heterogenitas masyarakat Indonesia. Keragaman suku, ras, agama, dan budaya menumbuhkan suasana multikultural yang khas dan tumbuh subur di Indonesia.
Multikultural merupakan keniscayaan yang tidak dapat dipungkuri dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Dalam sebuah keluarga yang merupakan komunitas terkecil dari kehidupan bermasyarakat, tidak jarang agama dan suku yang berbeda tinggal dalam satu atap dan mewarnai harmonisasi keluarga. Lingkungan masyarakat di sekitar keluarga pun tinggal dan bergaul dengan perbedaan budaya, agama, suku, maupun bahasa yang digunakan. Di lingkungan sekolah tidak terlepas dari ragam budaya, agama, bahasa, dan suku. Kondisi multikultural dalam pergaulan masyarakat menuntut adanya rasa toleransi lebih dari seluruh komponen pembentuk masyarakat multikultur tersebut.
Indonesia sebagai negara multikultural memiliki potensi konflik yang tinggi dibanding dengan negara yang cenderung monokultur. Suharno dalam Diskusi Forum Ilmu Sosial Transformatif Institute (FISTRANS Institute) FIS-UNY menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik adalah faktor sosial budaya yang dicerminkan dengan dorongan emosional kesukuan yang melahirkan kefanatikan dan sentimen antar pemeluk agama, yang terjadi karena kurangnya pengetahuan dalam memahami suatu ajaran agama. (http://www.uny.ac.id diunduh tanggal 22 April 2014).
Agama yang diyakini sebagai pedoman hidup manusia dalam menuju jalan kebenaran merupakan kebutuhan hidup yang paling esensial bagi manusia. Pergesekan yang menyentuh ranah agama akan sangat rentan dan mudah menyulut reaksi masyarakat penganutnya yang bersifat destruktif. Bahkan, munculnya aksi radikal yang mengatasnamakan agama beberapa kali trejadi hingga menyebabkan korban jiwa dan merusak bangunan tempat ibadah. Sejarah kelam mencatat beberapa konflik intern dan antar agama telah menodai citra Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten (2011), kasus komunitas Millah Abraham (Komar) di Aceh dan Padang yang berujuang pada fatwa sesat dari MUI tahun 2011, dan penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang tahun 2012 adalah sebagian dari rentetan konflik internal agama Islam. Sementara konflik antaragama yang pernah terjadi antara lain adalah konflik antara Islam dan Kristen, misalnya adalah konflik di Ambon, Poso, dan Ciketing Bekasi.
Konflik yang bernuansa agama tidak hanya rawan terjadi antaragama, namun konflik intern agama juga beberapa kali terjadi di Indoensia. KH Ma'ruf Amin, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Negara menyebutkan diantara faktor penyebab konflik intern agama adalah (1) Pemahaman yang menodai atau menyimpang dari agama, (2) Pemahaman radikal yang menganggap alirannya benar dan aliran yang dianut orang lain adalah salah, (3) Pemahaman yang liberal, bebas semaunya tanpa mengikuti kaidah yang ada. Sedang konflik antar agama dapat terjadi diantarnya karena (1) Adanya paham radikal pada kelompok agama, (2) Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya yang masih dipersoalkan, kurangnya pemahaman sebagai aparatur negara, atau kurangnya kesadaran sebagai tokoh dan umat beragama, (3) Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, (4) Penistaan terhadap agama (http://jambi.tribunnews.com/2013/05/23/ini-dia-penyebab-konflik-antar-umat-beragama diakses tanggal 25 Maret 2015). Dari sekian banyak faktor penyebab konflik intern dan antar agama tersebut dapat digarisbawahi satu konklusi bahwa konflik bernuansa agama muncul karena adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat eksklusif. Hal ini akan membentuk sikap masyakarat yang tidak mampu menghargai perbedaan paham dan agama yang ada, sehingga kerap berkembang prejudice satu kelompok terhadap kelompok lain yang memiliki paham dan agama yang berbeda.
Fenomena masih maraknya konflik yang bernuansa agama lepas dari tanggung jawab pemerintah, tidak terkecuali kalangan pendidikan. Penanaman pendidikan inklusif di sekolah merupakan salah satu langkah preventif sebagai penangkal lahirnya paham keberagamaan eksklusif di kalangan pelajar. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya konflik multikultural (multiagama) atau yang sering disebut sebagai konflik sosial perlu adanya pembekalan pendidikan inklusif yang memadai, khususnya di kalangan peserta didik.
Pendidikan agama sebagai salah satu mata ajar di sekolah memberikan muatan pendididkan moral dan karakter bagi peserta didik. Dalam konteks pendidikan keberagamaan inklusif, pendidikan agama menempati posisi yang sangat strategis sebagai media penanaman nilai-nilai saling menghargai terhadap perbedaan yang ada. Pengembangan budaya keberagamaan inklusif di sekolah tidak lepas dari peran kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan dan guru (agama) sebagai pelaksana pembelajaran yang bersentuhan langsung dengan peserta didik.
Oleh karena itu, kedua figur penting ini perlu memperoleh dan memiliki wawasan dan pengetahuan yang memadai tentang strategi membangun keberagamaan yang inklusif di sekolah
Kegiatan Seminar Nasional “Membangun Budaya Keberagamaan Inklusif di Sekolah” tanggal 03 Juni 2015 telah terlaksana dengan baik. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Penanaman pendidikan inklusif disekolah merupakan salah satu langkah preventif sebagai penangkal lahirnya paham keberagamaan eksklusif di kalangan pelajar.
2. Pembekalan pendidikan inklusif khususnya di kalangan peserta didik tidak terlepas dari peran kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan dan guru (agama) sebagai pelaksana pembelajaran yang bersentuhan langsung dengan peserta didik.
3. Kepala sekolah dan guru (agama) perlu memperoleh dan memiliki wawasan dan pengetahuan yang memadai tentang strategi membangun keberagamaan yang inklusif di sekolah.