Pengembangan Detail

Workshop Implementasi Manajemen Berbasis Madrasah pada Madrasah Ibtidaiah

Peneliti : A.M. Wibowo, S.Sos.I., M.S.I., Ali Khudrin, Mukhtaruddin, Drs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd., Mustolehudin, Siti Muawanah, S.Pd.I., M.A., Umi Muzayanah, S.Si., M.Pd.,

Kategori: Pedoman

Unit Kerja: BLA-Semarang

Lampiran Tidak Tersedia

Madrasah Ibtidaiah (MI) merupakan lembaga pendidikan yang sederajat dengan sekolah dasar (SD). Ada persamaan dan perbedaan yang mendasari antara dua buah lembaga pendidikan tersebut. Persamaan antara MI dan SD adalah pada standar pendidikannya. Standar pendidikan dua lembaga pendidikan tingkat dasar tersebut mengacu pada delapan standar pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Standar Nasional Pendidikan.

Perbedaan mendasar antara lembaga pendidikan MI dengan SD ada dua hal sebagai berikut: (1) Sisi pengelolaannya, yaitu secara administrasi MI kewenangan pengaturan dan pertanggungjawaban berada di bawah naungan Kementerian Agama, sedangkan SD berada di bawah Dinas Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan (2) Pengembangan muatan pendidikan agama Islam (PAI). Pada MI pengembangan muatan PAI dibagi menjadi empat mata pelajaran, yaitu Alquran Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Aqidah Akhlak, dan Fiqh, serta terdapat pengembangan bahasa Arab. Sedangkan pada SD tidak ada pengembangan muatan PAI dan bahasa Arab. Oleh karena terdapat pengembangan PAI dan bahasa Arab maka secara umum MI adalah lembaga pendidikan formal berciri Agama Islam.

Meskipun sejajar dengan pendidikan formal SD, eksistensi MI hingga kini masih kurang mendapatkan apresiasi, baik dari masyarakat maupun pemerintah sendiri. Pemerintah dan masyarakat pada umumnya masih kurang menunjukkan kepedulian yang  seimbang terhadap eksistensi madrasah. Kondisi yang demikian terungkap dalam acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) komunitas madrasah pada bulan Januari 2002.

Meski secara riil juga telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa baik sebelum kemerdekaan sampai dengan sekarang, namun perhatian pemerintah terhadap MI masih belum seimbang dibanding dengan sekolah umum selevel MI. Perhatian pemerintah saat ini masih terfokus pada peningkatan kualitas lembaga pendidikan umum baik secara manajerial maupun pengembangan akademiknya.

Beberapa faktor yang menyebabkan madrasah “sedikit tertinggal” dengan lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah: (1) Dilihat dari status kepemilikan lembaga pendidikan, data dari Kementerian Agama menyebutkan bahwa jumlah madrasah pada tahun 2013 adalah 67.300 buah dan 80% diantarnanya adalah milik madrasah swasta, yang pengelolaannya belum menggunakan prinsip-prinsip manajerial yang baik; (www.republika.com tanggal 11 Juni 2014), dan (2) Secara internal madrasah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sekolah umum, hanya lemah dalam hal administrasi dan manajemen pelajaran; (3) Kurangnya tenaga pendidik yang memenuhi standar kualifikasi menjadikan MI semakin turut memperlemah madrasah dan menjadikan madrasah kurang diminati oleh masyarakat; (4) Secara eksternal, kondisi melingkupi madrasah lebih rumit, setidaknya ada tiga hal secara umum yang mempengaruhi performa madrasah yaitu sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah, tingkat kepedulian masyarakat yang relatif kurang, dan rendahnya apresiasi masyarakat intelektual dan penulis muslim (Zamroni, 2003 :2).

Kehidupan yang individualis dan materialis turut menjadikan salah satu permasalahan bagi eksistensi lembaga pendidikan madrasah. Perubahan kultur masyarakat yang cenderung melihat ekspektasi terhadap lembaga pendidikan umum dipandang lebih mampu memberikan pegangan hidup lebih prospektif. Ekspekatasi itu berupa kemudahan untuk melanjutkan sekolah atau kemudahan mencari pekerjaan selesai (lulus) sekolah. Pandangan masyarakat masih melihat bahwa lembaga pendidikan madrasah masih berorientasi pada prospek kehidupan keagamaan semata. Oleh karena itu masyarakat kurang berminat mempercayakan putra-putrinya untuk dididik oleh lembaga pendidikan madrasah. Hal itu menjadikan madrasah semakin kehilangan “pamornya”.

Pengaturan pengelolaan lembaga pendidikan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat 1. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya pada Pasal 49 Ayat 1 dijelaskan bahwa  pengelolaan satuan atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS/M).

MBS/M merupakan salah satu bentuk alternatif program desentralisasi dalam bidang pendidikan. Model MBS/M itu berpotensi menawarkan partisipasi masyarakat, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah/madrasah, lebih lanjut dijelaskan bahwa pada dasarnya implementasi MBS/M meliputi 3 aspek, yaitu: (1) Gaya kepemimpinan yang bersifat demokratis, berjiwa luas, dan terbuka, (2) Iklim budaya dan lingkungan keorganisasian yang sehat, dan (3) Menjunjung tinggi prinsip profesionalisme di lingkungan kerja yang bersangkutan (Sufyarma, 2003:94-95).

Menjadikan madrasah khususnya MI sebagai lembaga pendidikan yang kompetitif, perlu kiranya dilakukan pengembangan dan pembenahan terhadap manajemen (pengelolaan) madrasah. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama untuk melakukan pembinaan kepada madrasah, namun pada kenyataannya madrasah belum juga memiliki kekuatan dan kesiapan dalam menghadapi tuntutan kemandirian madrasah (Yusuf, 2006: 4-6).

Ada banyak faktor yang membuat kualitas madrasah rendah, antara lain: (1) Kualitas pengelola madrasah, (2) Sistem feodalisme, (3) Kondisi kultur masyarakat, (4) Kebijakan politik negara, dan (5) Terlalu banyak beban yang harus dijalani peserta didik (Qomar, 2007:81). Jika kelimanya mampu di tingkatkan maka bukan tidak mungkin madrasah akan menjadi lembaga pendidikan yang semakin berkualitas dan diminati masyarakat.

Pada medio bulan Januari-Agustus 2014, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang telah melakukan penelitian yang terkait dengan pengembangan model manajemen madrasah ibtidaiah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa Tengah. Pengembangan difokuskan pada manajemen 3 pilar madrasah yang meliputi kepemimpinan kepala MI, kurikulum dan proses pembelajaran, serta kemitraan madrasah dengan masyarakat (partisipasi masyarakat). Adapun hasil dari studi awal penelitian tersebut bahwa pada umumnya madrasah ibtidaiah masih lemah dalam mengimplementasikan manajemen. Kemudian para peneliti melakukan pengembangan dari hasil penelitian awal itu dan hasilnya (produk) penelitian tersebut model tiga pilar manajemen berbasis madrasah terbukti efektif dan praktis untuk diimplementasikan di madrasah ibtidaiah.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas maka Kantor Balai Litbang Agama Semarang memandang urgen untuk memberikan pencerahan dan ketrampilan bagi para pengelola madrasah ibtidaiah (yayasan, komite, kepala, dan guru madrasah ibtidaiah). Melalui kegiatan workshop ini diharapkan para pengelola madrasah ibtidaiah dapat memperoleh manfaat praktis dalam mengimplementasikan tiga pilar manajemen berbasis madrasah.

Kegiatan Workshop “Implementasi Manajemen Berbasis Madrasah Pada Madrasah Ibtidaiyah” tanggal 08 s.d 11 April 2015 telah terlaksana dengan baik. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1.      Pelaksanaan manajemen berbasis madrasah (MBM) memerlukan kerjasama dari seluruh komponen madrasah (kepala, guru, dan karyawan) dengan perwakilan orang tua siswa yang terwadahi dalam organsiasi komite madrasah, pengawas, dan tokoh masyarakat setempat. Realitas empirik menunjukkan bahwa manajemen madrasah, dalam hal ini MI masih belum berjalan optimal.

2.      Penguatan tiga pilar manajemen (kepemimpinan kepala, kurikulum dan pembelajaran, serta partisipasi masyarakat) merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan MBM di MI. Pptimalisasi MBM di MI diharapkan berimplikasi pada peningkatan kemapanan eksistensi madrasah di mata masyarakat.

3.      Kegiatan workshop pengembangan MBM ini sangat bermanfaat dalam memberikan pemahaman dan wawasan kepada kepala madrasah, guru, pengawas, dan komite tentang implementasi manajemen yang mengacu pada MBM. Kegiatan ini juga berfungsi sebagai forum diskusi ilmiah dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang muncul, khususnya pada sebagian MI di Banjarmasin, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar, untuk selanjutnya dirumsukan rekomendasi kepada pihak terkait sebagai acuan pembuatan kebijakan.

Infografis