Kajian Tentang Ormas Font Jihad Islam (FJI)

Ketua Penelitian : Lilam Kadarin Nuriyanto

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota: Lilam Kadarin Nuriyanto

Publisher: BLA-Semarang

Diunduh: 193x

Dilihat 4164x

Editor: blasemarang

Abstrak:

1.1.  Latar Belakang Masalah

Kemajemukan suatu masyarakat terletak adanya perbedaan warga masyarakat ke dalam kelompok-kelompok secara horizontal, yang sering disebut masyarakat pluralistik. Konsep tentang masyarakat ini sangat penting untuk memahami karakter dan dinamika bangsa Indonesia. Perbedaan-perbedaan itu akan mempengaruhi kesetabilan masyarakat atau bangsa Indonesia. Perbedaan ras dan etnis merupakan faktor yang dominan dalam membentuk kemajemukan sosial budaya masyarakat. Disamping itu terdapat faktor yang lain yaitu faktor agama/kepercayaan.

Terbentuknya kemajemukan masyarakat Indonesia diakibatkan dari kondisi wilayah Indonesia yang terdiri kurang lebih ± 17.058 buah pulau besar dan kecil yang berkembang melahirkan keragaman budaya. Penyebab lainnya adalah letak wilayah Indonesia yang strategis pada posisi silang sehingga memungkinkan terjadi kontak dengan bangsa-bangsa lain yang mengakibatkan pertemuan dengan pendatang menyebabkan tercipta proses asimilasi melalui perkawinan campuran (amalgamasi) sehingga terbentuk ras dan etnis.

Pengaruh kemajemukan ini dalam berbagai sendi dan bidang kehidupan bangsa Indonesia, dapat terpengaruh antar lain masalah konflik sosial. Masalah yang sangat peka dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Penyebab timbulnya konflik ini antara lain perbedaan pendirian dan perasaan antar individu; perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok seperti kepentingan ekonomi dan politik; perbedaan kebudayaan, ini berkaitan dengan tata nilai; dan perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat.

Kemjemukan dalam beragama mengandung dua unsur yaitu kamejukan agama-agama dan kemajemukan di dalam internal masing-masing agama. Kemajemukan agama-agama selalu dikaitkan dengan enam agama yang banyak dianut oleh warga negara Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan pada enam agama mayoritas yang disebutkan dalam  Undang-Undang nomor 5 tahun 1969, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Selain ada agama Khonghucu yang pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun  2000,  yang  pada  intinya  menetapkan  pencabutan  larangan  sebagaimana diatur  oleh  Inpres  No.  14  Tahun  1967  tersebut.

Kemajemukan intern umat beragama berbicara pada tataran aliran-aliran keagamaan, yang berfusi pada ormas-ormas keagamaan. Kemajemukan ini bisa sebagai modal kekayaan beragama juga bisa menjadi ancaman dalam kerukunan intern umat beragama. Sehingga kemajemukan ini jangan dipandang sebagai modal untuk bergaul dan berinteraksi guna memperluas wawasan dan pergaulan dengan sesama. Salah satu agama yang didalamnya terdapat berbagai macam aliran keagamaan adalah Islam. Aliran keagamaan ini membentuk kelompok-kelompok, yang akhirnya berfusi menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan. Kelompok-kelompok ini selanjutnya disebut dengan organisasi masyarakat Islam (ormas Islam).

Selain kerukunan antar umat beragama kerukunan intern umat beragama juga sangat menentukan dalam pembangunan nasional. Kerukunan intern umat beragama ini bisa terlihat dari kerukunan antar ormas-ormas keagamaan dimana saah satunya dalam agama Islam. Pengalaman membuktikan bahwa gangguan ketertiban dan keamanan telah mengakibatkan tersendatnya proses pembangunan nasional. Hal ini mudah dipahami karena dana, daya perhatian dan pemikiran yang seharusnya dipergunakan untuk menunjang pembangunan terpaksa dialihkan untuk meredakan gangguan keamanan dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Banyaknya ormas Islam yang tumbuh di Indonesia merupakan pengejawantahan dari UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan negara menjamin warga negaranya dalam hal berserikat dan berkumpul atau berorganisasi. Selain itu juga sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keragaman ini selain merupakan modal dasar penggerak pembangunan, tetapi juga bisa menjadi ancaman perpechan umat apabila kerukunan intern umat bergama tidak terwujud. Tentunya akan berpengaruh pula dalam jalannya pembangunan nasional.

Pembangunan nasional memerlukan rasa nasionalisme sebagai energi pendorong. Termasuk ormas Islam sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia hendaknya memiliki jiwa patriotisme dan semangat kebangsaan. Rasa cinta tanah air, bangsa, dan negara serta memiliki kesediaan untuk rela berjuang dan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.

Nasionalisme merupakan gejala sosio-politik yang berkembang secara dialektik, berakar di masa silam dalam hidup berbangsa serta tumbuh dan berkembang yang akhirnya terwujud semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam satu negara nasional. Nasionalisme bagi bangsa Indonesia merupakan suatu paham yang menyatukan berbagai suku bangsa dan berbagai keturunan bangsa lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konsep ini berarti tinjauannya adalah formal, yaitu kesatuaan dalam arti satu kesatuan rakyat yang menjadi warga negara Indonesia (Bakry, 2010: 141). Nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai suatu bangsa. Nasionalisme merupakan hasil dari pengaruh faktor politik, ekonomi, sosial, dan intelektual yang terjadi dalam lingkungan kebudayaan melalui proses sejarah (Rochmadi, 2007: 23). Dengan demikian pengertian nasionalisme dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang mempersatukan rakyat dan bercita-cita mendirikan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang berdaulat penuh, serta berusaha memperjuangkan kepentingankepentingan nasional.( Laksono, 2013: 12)

Semangat nasionalisme tidak hanya saat negara dalam masa berperang dengan negara lain, tetapi juga bisa diwujudkan dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Demikian pula dengan setiap ormas Islam hendaknya lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan utama daripada kepentingan golongan.

 

Permasalahan bangsa Indonesia lainnya yang sudah menggerogoti sendi-sendi moral bangsa adalah terjadinya perkelahian dikalangan pelajar dan mahasiswa, kerusuhan, tawuran antarwarga yang sudah sangat meresahkan. Bersamaan dengan berbagai tragedi tersebut, muncul kasus kolusi, korupsi, dan nepotisme di kalangan pejabat, aparat, dan birokrat yang berdampak buruk pada tatanan kehidupan masyarakat luas. Persoalan-persoalan ini sudaah menjadi pemandangan sehari-hari dalam sajian berita di media. Sehingga akan membentuk opini masyarakat umum tentang keadaan bangsa yang semakin buram. Disamping itu himpitan beban hidup yang semakin sulit membuat masyarakat mudah mengambil jalan pintas dalam penyelesaiannya. Hal ini yang akan membentuk terjadinya penyakit masyarakat.

Dampak buruk dari ragam fenomena tersebut adalah terjadinya penurunan tingkat kepercayaan rakyat terhadap kharisma dan kemampuan para pemimpin negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Masyarakat kehilangan figur pemimpin yang menjadi panutan, teladan, dan dapat diandalkan dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Jika permasalahan tersebut tidak segera diatasi, diasumsikan akan terjadi kendala utama terhadap kelangsungan dan perkembangan negara ke arah yang lebih baik, bahkan besar kemungkinan akan terjadi kehancuran nilai kehidupan bangsa.

Komalasari Lickona (1992: 14) dalam Ating Supardi menyebutkan  bahwa terdapat 10 tanda perilaku manusia yang menunjukkan ke arah kehancuran suatu bangsa, yaitu:

1.      Meningkatnya kekerasan.

2.      Ketidakjujuran yang membudaya.

3.      Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan figur

4.      Pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan.

5.      Meningkatnya kecurigaan dan kebencian.

6.      Penggunaan bahasa yang memburuk.

7.      Penurunan etos kerja.

8.      Menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara.

9.      Meningginya perilaku merusak diri .

10.  Semakin kaburnya pedoman moral.

Kesepuluh kriteria sebagai gejala kehancuran suatu bangsa tersebut, jika diperhatikan secara seksama selaras dengan kehidupan bangsa Indonesia pada masa sekarang yang sedang dilanda krisis dalam berbagai bidang kehidupan. Tegasnya, pada masa sekarang bangsa Indonesia sedang dilanda krisis warga negara, sebagai dampak dari perilaku yang mayoritas tidak mengindahkan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan, falsafah, dan pedoman hidup dalam memperkokoh jatidiri bangsa. Kekuatan nasionalisme bangsa semakin lemah. Sebaliknya, kosmopolitanisme mengalami peningkatan yang signifikan, etnisitas mencuat dan mengakar dalam tubuh individu, sehingga mengalahkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Melihat pelbagai gejala yang muncul sebagai tanda melemahnya nilai-nilai kebangsaan, diperlukan adanya penguatan kembali nilai-nilai kebangsaan dan semangat cinta tanah air dalam tubuh bangsa Indonesia oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

Propinsi DI Yogyakarta merupakan daerah yang multietnik, karena merupakan kota pelajar dimana menjadi tujuan utama untuk menimba ilmu. Sehingga setiap waktu penduduknya bertambah dari berbagai wilayah di Indonesia. Yogyakarta yang terkenal dengan kota budaya karena merupakan daerah Istimewa dengan pimpinan seorang raja yang menjadi gubernurnya, dipilih tanpa melalui pilkada. Sebagai daerah yang sangat tinggi kebudayaannya sehingga Sri Sultan HB X mendapatkan Penghargaan Pluralisme tersebut diberikan oleh Jaringan Antar-Iman (JAI) kepada Sultan pada pertengahan Mei 2014 di Papua.

Predikat Jogja sebagai kota toleran semakin pudar dengan maraknya aksi anarki di wilayah ini. Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) mencatat sepanjang 1996-2014 terjadi 25 kasus kekerasan di DIY. Diawali dengan penganiayaan yang berujung meninggalnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin, dan terakhir penyerangan Gereja Pantekosata di Pangukan Sleman. (suaramerdeka.com, 4 Juni 2014) 

Menurut Badan Pusat Statistik yang dimuat di kompasprint.com, bahwa mengumumkan warga DI Yogyakarta mempunyai angka harapan hidup yang paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Secara konsisten, angka harapan hidup di DIY selalu tertinggi. Pada 2010 angka harapan hidup (AHH) 74,2, tahun 2013 menjadi 74,45 tahun, dan pada tahun 2014 naik sedikit menjadi 74,50. Apabila diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM), indeks AHH mencapai 83,84, disusul dengan Jawa Tengah 82,88 dan Kalimantan Timur 82,49.

Sejak enam tahun terakhir ini, BPS juga mengeluarkan hasil perhitungan indeks demokrasi Indonesia (IDI). Ada tiga aspek yang diukur yaitu, pertama, kebebasan sipil dengan variabel kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Kedua, hak-hak politik dengan variabel hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Ketiga, lembaga demokrasi dengan variabel pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintah daerah, dan peran peradilan yang independen. Secara nasional, indeks demokrasi Indonesia tahun 2014 mencapai 73,04 poin, membaik 9,32 poin dari tahun sebelumnya. Skala indeks 0-100, makin besar angkanya berarti kondisi sosial politik daerah tersebut makin baik. Kinerja demokrasi dibagi dalam tiga kategori, yaitu buruk (di bawah 60 poin), sedang (60-80 poin), dan baik (di atas 80 poin). Indeks demokrasi di Yogyakarta melebihi angka nasional, yaitu 82,71. DI Yogyakarta hanya kalah dengan indeks demokrasi DKI Jakarta 84,70 dan Sulawesi Utara 83,94.

Kendati demikian breakdown dari sejumlah variabel demokrasi menunjukkan nilai rendah yang perlu mendapat perhatian. Sejumlah indikator demokrasi tahun 2014 ternyata memprihatinkan. Pencapaian angkanya rendah, jauh dari angka ideal 100. Misalnya, indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat (40), ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi (36,36), alokasi anggaran pendidikan (41,16) dan alokasi anggaran kesehatan (47,81).

Dari hasil survey Bandan Statistik tersebut memunculkan pertanyaan, benarkah penyebabnya karena tinggal di Yogyakarta itu nyaman atau saja dengan kota lainnya? Apakah warga Yogyakarta itu hidup atas kenangan kolektif tentang kota yang nyaman? Pertanyaan lain yang tidak kalah menariknya adalah apakah kenangan itu bermutasi menjadi harapan masyarakat Yogyakarta? Hal ini tentunya hanya bisa dirasakan warga Yogyakarta sendiri, tidak mungkin hal itu keluar dari orang yang tidak pernah tinggal di Yogyakarta.

Salah satu organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Yogyakarta yang saat ini booming karena setiap aktivitasnya dengan menggunakan pengerahan massa dan dinilai kontroversi dalam menegakan amar makruf nahi mungkar adalah Ormas Front Jihad Islam (FJI). Front Jihad Islam (FJI) bermarkas di jl. Bibis 43 Padokan Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan utama didirikannya FJI adalah meningkatkan akhlakul karimah anggotanya khususnya dan mendorong upaya tatbiaqusyari'ah serta membangun kesadaran beragama islam secara kaffah. Dalam mengimplementsaikan tujuannya FJI berkomitmen terus berperan aktif dalam upaya meningkatkan, memperkokoh, mengawal, mengamankan tegaknya syariah Islam di baik di lingkungan internal anggotanya maupun di masyarakat pada umumnya. FJI senantiasa berprinsip amar ma'ruf nahi mungkar dan menjalankan kegiatannya secara persuasif namun tegas, sebagai manifestasi dari islam yang rahmatan lilalamin. (www.frontjihadislam)

Ormas di bawah yayasan Nurus Syahid, dengan susunan kepengurusan sebagai berikut, ketua: Wahyu Abdullah; wakil: Endi; bendahara: Joko Supriadi; dan Korlap: Abdurrahman. Pengajian umum setiap malam jumat, diisi oleh beberapa ustad, yaitu ustad tetapnya ada tiga: Ustad Umar Said, Ustad Mujiman, Lc, dan ustad Susilo, Lc secara bergantian. Pengajian kami untuk lasykar dan umum, kitab dan tema yang dikaji berganti-tanti, misalnya Riyadhus Salihin. Tidak ada kitab panduan khusus, karena berpedoman pada Alquran dan hadits.

FJI membuka pusat pengaduan bagi masyarakat dengan menerima pengaduan/bantuan, saran, kritik, kerjasama, donasi, dan informasi lainnya dapat menghubungi Markas Pusat Front Jihad Islam Jl. Bibis 43 Padokan Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta., HP 0878-3977-0021 Email : frontjihadislam.pusat@gmail.com.

Beberapa latar belakang yang menjadi landasan saat FJI beraksi adalah a) Aparat seringkali tidak tegas menindak perilaku maksiat; b) Jika ada maksiat yang berjalan, maka ada aparat yang mendukung; c) Banyak ormas besar, tetapi tidak atau jarang sekali yang melakukan aksi nahi munkar dengan terjun langsung ke lapangan; d) Di lapangan banyak aduan dari masyarakat, utamnya jual beli akidah dan perilaku maksiat. Lasykar kami tersebar, dan seringkali memantau. Laskar terdiri dari kelas khusus anggota, yang wajib mengikuti pengajian kami, ada pula yang sifatnya hanya simpatisan yang bergabung saat ada aksi.

Aksi-aksi gerakan yang sudah di lakukan oleh FJI adalah mendesak MUI untuk mengeluarkan fatwa sesat bagi Syiah terkait penyerangan kelompok Syiah terhadap perumahan Muslim Az-Zikra, menutup gereja di Girisubo Gunung Kidul, menutup tempat prostitusi dan minuman keras degan kedok membuka sebuah keraoke, menutup pendirian tempat ibadah yang tidak sesuai aturan pemerintah (belum ada ijin IMB nya), dan menutup tempat-tempat penjualan minuman keras.

Akan tetapi berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan, disamping aksi-aksi gerakan kontroversial yang sering diberitakan oleh media, Ormas Islam FJI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi sosial kemanusiaan, antara lain pembagian kacamata untuk masyarakat umum, dan bantuan pembangunan masjid dari atap baja ringan dan jendela.

Berdasarkan dari keterangan diatas maka perlukiranya Balai Penelitian Agama Semarang melakukan kajian riset tentang ormas FJI, agar diketahui latar belakang belakang pembentukan ormas tersebut, relasi sosialnya dan bagaimana pandangan dan sikap terhadap nilai-nilai kebangsaan. 

1.1.  Latar Belakang Masalah

Kemajemukan suatu masyarakat terletak adanya perbedaan warga masyarakat ke dalam kelompok-kelompok secara horizontal, yang sering disebut masyarakat pluralistik. Konsep tentang masyarakat ini sangat penting untuk memahami karakter dan dinamika bangsa Indonesia. Perbedaan-perbedaan itu akan mempengaruhi kesetabilan masyarakat atau bangsa Indonesia. Perbedaan ras dan etnis merupakan faktor yang dominan dalam membentuk kemajemukan sosial budaya masyarakat. Disamping itu terdapat faktor yang lain yaitu faktor agama/kepercayaan.

Terbentuknya kemajemukan masyarakat Indonesia diakibatkan dari kondisi wilayah Indonesia yang terdiri kurang lebih ± 17.058 buah pulau besar dan kecil yang berkembang melahirkan keragaman budaya. Penyebab lainnya adalah letak wilayah Indonesia yang strategis pada posisi silang sehingga memungkinkan terjadi kontak dengan bangsa-bangsa lain yang mengakibatkan pertemuan dengan pendatang menyebabkan tercipta proses asimilasi melalui perkawinan campuran (amalgamasi) sehingga terbentuk ras dan etnis.

Pengaruh kemajemukan ini dalam berbagai sendi dan bidang kehidupan bangsa Indonesia, dapat terpengaruh antar lain masalah konflik sosial. Masalah yang sangat peka dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Penyebab timbulnya konflik ini antara lain perbedaan pendirian dan perasaan antar individu; perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok seperti kepentingan ekonomi dan politik; perbedaan kebudayaan, ini berkaitan dengan tata nilai; dan perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat.

Kemjemukan dalam beragama mengandung dua unsur yaitu kamejukan agama-agama dan kemajemukan di dalam internal masing-masing agama. Kemajemukan agama-agama selalu dikaitkan dengan enam agama yang banyak dianut oleh warga negara Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan pada enam agama mayoritas yang disebutkan dalam  Undang-Undang nomor 5 tahun 1969, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Selain ada agama Khonghucu yang pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun  2000,  yang  pada  intinya  menetapkan  pencabutan  larangan  sebagaimana diatur  oleh  Inpres  No.  14  Tahun  1967  tersebut.

Kemajemukan intern umat beragama berbicara pada tataran aliran-aliran keagamaan, yang berfusi pada ormas-ormas keagamaan. Kemajemukan ini bisa sebagai modal kekayaan beragama juga bisa menjadi ancaman dalam kerukunan intern umat beragama. Sehingga kemajemukan ini jangan dipandang sebagai modal untuk bergaul dan berinteraksi guna memperluas wawasan dan pergaulan dengan sesama. Salah satu agama yang didalamnya terdapat berbagai macam aliran keagamaan adalah Islam. Aliran keagamaan ini membentuk kelompok-kelompok, yang akhirnya berfusi menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan. Kelompok-kelompok ini selanjutnya disebut dengan organisasi masyarakat Islam (ormas Islam).

Selain kerukunan antar umat beragama kerukunan intern umat beragama juga sangat menentukan dalam pembangunan nasional. Kerukunan intern umat beragama ini bisa terlihat dari kerukunan antar ormas-ormas keagamaan dimana saah satunya dalam agama Islam. Pengalaman membuktikan bahwa gangguan ketertiban dan keamanan telah mengakibatkan tersendatnya proses pembangunan nasional. Hal ini mudah dipahami karena dana, daya perhatian dan pemikiran yang seharusnya dipergunakan untuk menunjang pembangunan terpaksa dialihkan untuk meredakan gangguan keamanan dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Banyaknya ormas Islam yang tumbuh di Indonesia merupakan pengejawantahan dari UUD 1945 pasal 28 yang menyatakan negara menjamin warga negaranya dalam hal berserikat dan berkumpul atau berorganisasi. Selain itu juga sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keragaman ini selain merupakan modal dasar penggerak pembangunan, tetapi juga bisa menjadi ancaman perpechan umat apabila kerukunan intern umat bergama tidak terwujud. Tentunya akan berpengaruh pula dalam jalannya pembangunan nasional.

Pembangunan nasional memerlukan rasa nasionalisme sebagai energi pendorong. Termasuk ormas Islam sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia hendaknya memiliki jiwa patriotisme dan semangat kebangsaan. Rasa cinta tanah air, bangsa, dan negara serta memiliki kesediaan untuk rela berjuang dan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.

Nasionalisme merupakan gejala sosio-politik yang berkembang secara dialektik, berakar di masa silam dalam hidup berbangsa serta tumbuh dan berkembang yang akhirnya terwujud semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam satu negara nasional. Nasionalisme bagi bangsa Indonesia merupakan suatu paham yang menyatukan berbagai suku bangsa dan berbagai keturunan bangsa lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam konsep ini berarti tinjauannya adalah formal, yaitu kesatuaan dalam arti satu kesatuan rakyat yang menjadi warga negara Indonesia (Bakry, 2010: 141). Nasionalisme adalah suatu gejala psikologis berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai suatu bangsa. Nasionalisme merupakan hasil dari pengaruh faktor politik, ekonomi, sosial, dan intelektual yang terjadi dalam lingkungan kebudayaan melalui proses sejarah (Rochmadi, 2007: 23). Dengan demikian pengertian nasionalisme dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang mempersatukan rakyat dan bercita-cita mendirikan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang berdaulat penuh, serta berusaha memperjuangkan kepentingankepentingan nasional.( Laksono, 2013: 12)

Semangat nasionalisme tidak hanya saat negara dalam masa berperang dengan negara lain, tetapi juga bisa diwujudkan dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Demikian pula dengan setiap ormas Islam hendaknya lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan utama daripada kepentingan golongan.

 

Permasalahan bangsa Indonesia lainnya yang sudah menggerogoti sendi-sendi moral bangsa adalah terjadinya perkelahian dikalangan pelajar dan mahasiswa, kerusuhan, tawuran antarwarga yang sudah sangat meresahkan. Bersamaan dengan berbagai tragedi tersebut, muncul kasus kolusi, korupsi, dan nepotisme di kalangan pejabat, aparat, dan birokrat yang berdampak buruk pada tatanan kehidupan masyarakat luas. Persoalan-persoalan ini sudaah menjadi pemandangan sehari-hari dalam sajian berita di media. Sehingga akan membentuk opini masyarakat umum tentang keadaan bangsa yang semakin buram. Disamping itu himpitan beban hidup yang semakin sulit membuat masyarakat mudah mengambil jalan pintas dalam penyelesaiannya. Hal ini yang akan membentuk terjadinya penyakit masyarakat.

Dampak buruk dari ragam fenomena tersebut adalah terjadinya penurunan tingkat kepercayaan rakyat terhadap kharisma dan kemampuan para pemimpin negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Masyarakat kehilangan figur pemimpin yang menjadi panutan, teladan, dan dapat diandalkan dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan stabilitas keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Jika permasalahan tersebut tidak segera diatasi, diasumsikan akan terjadi kendala utama terhadap kelangsungan dan perkembangan negara ke arah yang lebih baik, bahkan besar kemungkinan akan terjadi kehancuran nilai kehidupan bangsa.

Komalasari Lickona (1992: 14) dalam Ating Supardi menyebutkan  bahwa terdapat 10 tanda perilaku manusia yang menunjukkan ke arah kehancuran suatu bangsa, yaitu:

1.      Meningkatnya kekerasan.

2.      Ketidakjujuran yang membudaya.

3.      Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru dan figur

4.      Pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan.

5.      Meningkatnya kecurigaan dan kebencian.

6.      Penggunaan bahasa yang memburuk.

7.      Penurunan etos kerja.

8.      Menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara.

9.      Meningginya perilaku merusak diri .

10.  Semakin kaburnya pedoman moral.

Kesepuluh kriteria sebagai gejala kehancuran suatu bangsa tersebut, jika diperhatikan secara seksama selaras dengan kehidupan bangsa Indonesia pada masa sekarang yang sedang dilanda krisis dalam berbagai bidang kehidupan. Tegasnya, pada masa sekarang bangsa Indonesia sedang dilanda krisis warga negara, sebagai dampak dari perilaku yang mayoritas tidak mengindahkan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan, falsafah, dan pedoman hidup dalam memperkokoh jatidiri bangsa. Kekuatan nasionalisme bangsa semakin lemah. Sebaliknya, kosmopolitanisme mengalami peningkatan yang signifikan, etnisitas mencuat dan mengakar dalam tubuh individu, sehingga mengalahkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Melihat pelbagai gejala yang muncul sebagai tanda melemahnya nilai-nilai kebangsaan, diperlukan adanya penguatan kembali nilai-nilai kebangsaan dan semangat cinta tanah air dalam tubuh bangsa Indonesia oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

Propinsi DI Yogyakarta merupakan daerah yang multietnik, karena merupakan kota pelajar dimana menjadi tujuan utama untuk menimba ilmu. Sehingga setiap waktu penduduknya bertambah dari berbagai wilayah di Indonesia. Yogyakarta yang terkenal dengan kota budaya karena merupakan daerah Istimewa dengan pimpinan seorang raja yang menjadi gubernurnya, dipilih tanpa melalui pilkada. Sebagai daerah yang sangat tinggi kebudayaannya sehingga Sri Sultan HB X mendapatkan Penghargaan Pluralisme tersebut diberikan oleh Jaringan Antar-Iman (JAI) kepada Sultan pada pertengahan Mei 2014 di Papua.

Predikat Jogja sebagai kota toleran semakin pudar dengan maraknya aksi anarki di wilayah ini. Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) mencatat sepanjang 1996-2014 terjadi 25 kasus kekerasan di DIY. Diawali dengan penganiayaan yang berujung meninggalnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin, dan terakhir penyerangan Gereja Pantekosata di Pangukan Sleman. (suaramerdeka.com, 4 Juni 2014) 

Menurut Badan Pusat Statistik yang dimuat di kompasprint.com, bahwa mengumumkan warga DI Yogyakarta mempunyai angka harapan hidup yang paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Secara konsisten, angka harapan hidup di DIY selalu tertinggi. Pada 2010 angka harapan hidup (AHH) 74,2, tahun 2013 menjadi 74,45 tahun, dan pada tahun 2014 naik sedikit menjadi 74,50. Apabila diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM), indeks AHH mencapai 83,84, disusul dengan Jawa Tengah 82,88 dan Kalimantan Timur 82,49.

Sejak enam tahun terakhir ini, BPS juga mengeluarkan hasil perhitungan indeks demokrasi Indonesia (IDI). Ada tiga aspek yang diukur yaitu, pertama, kebebasan sipil dengan variabel kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Kedua, hak-hak politik dengan variabel hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Ketiga, lembaga demokrasi dengan variabel pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintah daerah, dan peran peradilan yang independen. Secara nasional, indeks demokrasi Indonesia tahun 2014 mencapai 73,04 poin, membaik 9,32 poin dari tahun sebelumnya. Skala indeks 0-100, makin besar angkanya berarti kondisi sosial politik daerah tersebut makin baik. Kinerja demokrasi dibagi dalam tiga kategori, yaitu buruk (di bawah 60 poin), sedang (60-80 poin), dan baik (di atas 80 poin). Indeks demokrasi di Yogyakarta melebihi angka nasional, yaitu 82,71. DI Yogyakarta hanya kalah dengan indeks demokrasi DKI Jakarta 84,70 dan Sulawesi Utara 83,94.

Kendati demikian breakdown dari sejumlah variabel demokrasi menunjukkan nilai rendah yang perlu mendapat perhatian. Sejumlah indikator demokrasi tahun 2014 ternyata memprihatinkan. Pencapaian angkanya rendah, jauh dari angka ideal 100. Misalnya, indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat (40), ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi (36,36), alokasi anggaran pendidikan (41,16) dan alokasi anggaran kesehatan (47,81).

Dari hasil survey Bandan Statistik tersebut memunculkan pertanyaan, benarkah penyebabnya karena tinggal di Yogyakarta itu nyaman atau saja dengan kota lainnya? Apakah warga Yogyakarta itu hidup atas kenangan kolektif tentang kota yang nyaman? Pertanyaan lain yang tidak kalah menariknya adalah apakah kenangan itu bermutasi menjadi harapan masyarakat Yogyakarta? Hal ini tentunya hanya bisa dirasakan warga Yogyakarta sendiri, tidak mungkin hal itu keluar dari orang yang tidak pernah tinggal di Yogyakarta.

Salah satu organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Yogyakarta yang saat ini booming karena setiap aktivitasnya dengan menggunakan pengerahan massa dan dinilai kontroversi dalam menegakan amar makruf nahi mungkar adalah Ormas Front Jihad Islam (FJI). Front Jihad Islam (FJI) bermarkas di jl. Bibis 43 Padokan Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan utama didirikannya FJI adalah meningkatkan akhlakul karimah anggotanya khususnya dan mendorong upaya tatbiaqusyari'ah serta membangun kesadaran beragama islam secara kaffah. Dalam mengimplementsaikan tujuannya FJI berkomitmen terus berperan aktif dalam upaya meningkatkan, memperkokoh, mengawal, mengamankan tegaknya syariah Islam di baik di lingkungan internal anggotanya maupun di masyarakat pada umumnya. FJI senantiasa berprinsip amar ma'ruf nahi mungkar dan menjalankan kegiatannya secara persuasif namun tegas, sebagai manifestasi dari islam yang rahmatan lilalamin. (www.frontjihadislam)

Ormas di bawah yayasan Nurus Syahid, dengan susunan kepengurusan sebagai berikut, ketua: Wahyu Abdullah; wakil: Endi; bendahara: Joko Supriadi; dan Korlap: Abdurrahman. Pengajian umum setiap malam jumat, diisi oleh beberapa ustad, yaitu ustad tetapnya ada tiga: Ustad Umar Said, Ustad Mujiman, Lc, dan ustad Susilo, Lc secara bergantian. Pengajian kami untuk lasykar dan umum, kitab dan tema yang dikaji berganti-tanti, misalnya Riyadhus Salihin. Tidak ada kitab panduan khusus, karena berpedoman pada Alquran dan hadits.

FJI membuka pusat pengaduan bagi masyarakat dengan menerima pengaduan/bantuan, saran, kritik, kerjasama, donasi, dan informasi lainnya dapat menghubungi Markas Pusat Front Jihad Islam Jl. Bibis 43 Padokan Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta., HP 0878-3977-0021 Email : frontjihadislam.pusat@gmail.com.

Beberapa latar belakang yang menjadi landasan saat FJI beraksi adalah a) Aparat seringkali tidak tegas menindak perilaku maksiat; b) Jika ada maksiat yang berjalan, maka ada aparat yang mendukung; c) Banyak ormas besar, tetapi tidak atau jarang sekali yang melakukan aksi nahi munkar dengan terjun langsung ke lapangan; d) Di lapangan banyak aduan dari masyarakat, utamnya jual beli akidah dan perilaku maksiat. Lasykar kami tersebar, dan seringkali memantau. Laskar terdiri dari kelas khusus anggota, yang wajib mengikuti pengajian kami, ada pula yang sifatnya hanya simpatisan yang bergabung saat ada aksi.

Aksi-aksi gerakan yang sudah di lakukan oleh FJI adalah mendesak MUI untuk mengeluarkan fatwa sesat bagi Syiah terkait penyerangan kelompok Syiah terhadap perumahan Muslim Az-Zikra, menutup gereja di Girisubo Gunung Kidul, menutup tempat prostitusi dan minuman keras degan kedok membuka sebuah keraoke, menutup pendirian tempat ibadah yang tidak sesuai aturan pemerintah (belum ada ijin IMB nya), dan menutup tempat-tempat penjualan minuman keras.

Akan tetapi berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan, disamping aksi-aksi gerakan kontroversial yang sering diberitakan oleh media, Ormas Islam FJI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi sosial kemanusiaan, antara lain pembagian kacamata untuk masyarakat umum, dan bantuan pembangunan masjid dari atap baja ringan dan jendela.

Berdasarkan dari keterangan diatas maka perlukiranya Balai Penelitian Agama Semarang melakukan kajian riset tentang ormas FJI, agar diketahui latar belakang belakang pembentukan ormas tersebut, relasi sosialnya dan bagaimana pandangan dan sikap terhadap nilai-nilai kebangsaan. 

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia