PENELITIAN PERAN MIGRAN BUGIS DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PERANTAUAN
(STUDI DI BEBERAPA DESA/KELURAHAN)
Pendahuluan
Penelitian ini menyasar komunitas migran Bugis di beberapa desa/kelurahan yang tersebar di beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kehidupan migran Bugis di perantauan; menjelaskan peran migran Bugis dalam bidang sosial, khususnya pengembangan pendidikan keagamaan; dan mengidentifikasi masalah yang dihadapi dan menemukan langkah-langkah nyata yang operasional untuk pengembangan pendidikan keagamaan. Migran Bugis yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup orang Bugis yang menetap di lokasi sasaran penelitian ini dan keturunan orang Bugis yang pada masa lalu bermigrasi ke tempat ini dan masih mengidentifikasi diri sebagai orang Bugis, atau penduduk yang kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya termasuk etnik Bugis. Pendidikan keagamaan yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada PMA Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Penelitian ini dibatasi pada peran migran Bugis dalam menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam yang bersifat nonformal dan informal. Dalam kaitan ini pengamatan dan wawancara difokuskan pada peran mereka dalam mengelola rumah ibadah yang juga difungsikan sebagai sarana penyelenggaraan pendidikan keagamaan dalam bentuk mangaji tudang (kajian kitab sambil duduk), pendidikan Al-Qur’an, dan sebagainya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen dalam mengumpulkan data.
Temuan Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah yang menjadi lokus penelitian (Desa Tarailu, Desa Cempaka, Kelurahan Bugis, Kelurahan Bastion Talangame, dan Kampung Hafo) pendidikan keagamaan pada umumnya sudah menggeliat atau berkembang. Orang-orang Bugis memiliki peran penting dalam mendukung terselenggaranya pendidikan keagamaan terhadap masyarakat. Ada yang bertindak sebagai pendiri, donatur, ada pula bertindak sebagai tenaga pengajar.
Di Desa Tarailu Kecamatan Sampaga, Mamuju, Sulawesi Barat, sekitar 90 % warganya merupakan suku Bugis (Soppeng, Barru, Bone, Wajo, Maros, Pinrang). Desa ini pertama kali dibuka oleh beberapa orang migran Bugis sekitar tahun 1971 silam yang kemudian berkembang menjadi perkampungan Bugis hingga saat ini. Profesi yang dilakoni antara lain sebagai petani, pekebun, pedagang, dan pengusaha sarang burung walet. Sebagian di antara mereka masih awam dalam pengetahuan agama sehingga masih membutuhkan pencerahan agama. Antara tahun 1971 hingga awal tahun 2000-an kegiatan pendidikan keagamaan belum menggeliat, disamping karena kebanyakan warga masih fokus pada pengelolaan dan penggarapan lahan atau pemenuhan kebutuhan hidup, juga masih sangat kurang tokoh agama yang bisa mengisi “kehausan” warga akan pengetahuan agama. Barulah pada tahun 2000-an hingga sekarang kegiatan pendidikan keagamaan mulai berkembang. Didukung dengan datangnya beberapa migran yang dapat memberi pencerahan keagamaan kepada warga dan semangat keagamaan warga yang cukup tinggi untuk belajar pengetahuan agama dan. Wujud dari semangat keagamaan itu terlihat dengan telah terbangunnya satu persatu beberapa lembaga pendidikan keagamaan dalam bentuk non formal seperti 3 (tiga) buah majlis taklim, 8 (delapan) buah TPQ, dan sebuah madrasah diniyah yang dirintis oleh migran Bugis. Selain itu, pendidikan informal juga dilakukan oleh sebagian kecil warga yang mampu dari sisi ekonomi dengan memanggil guru mengaji setempat untuk mengajarkan membaca al-Qur’an tidak hanya untuk anak-anak tetapi sekaligus orang tuanya. Juga telah dibangun sebuah pendidikan formal berupa SMP Islam Nurul Huda yang sebagian besar peserta didiknya diasramakan. Meski demikian, keterbatasan sumberdaya untuk mengisi dan mengembangkan lembaga pendidikan keagamaan yang dibangun itu masih menjadi kendala dalam optimalisasi pengembangannya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama setempat telah mengupayakan mengisi keterbatasan itu dengan mengangkat penyuluh agama Islam non PNS. Namun, dirasakan masih belum cukup. Disamping itu, kesibukan sebagian warga dalam aktifitasnya membuat tidak semua warga Tarailu tersentuh pendidikan keagamaan.
Di Desa Cempaka Kecamatan Sangtongbolang Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, 98 % penduduknya merupakan orang Bugis. Selebihnya, adalah orang-orang Mongondow, Gorontalo, Sangir, dan Buntalo yang telah kawin mawin dengan orang-orang Bugis di tempat itu. Topografi Desa Cempaka sebagai lahan pertanian yang subur menjadikannya kemudian dikenal sebagai lumbung padi Sulawesi Utara. Sejak Cempaka mulai dibuka tahun 1971, sampai sekarang, setidaknya dalam hal pengembangan pendidikan keagamaan, bisa dikategorikan dalam 3 fase sistim pembelajaran dan transformasi keagamaan Islam. Pertama, Fase 1971-1980-an. Fase ini bisa dikatakan sebagai masa suram pendidikan keagamaan bagi orang Bugis di Cempaka. Bagaimana tidak, segala aktifitas generasi awal migran Bugis di tempat ini, melulu hanya berfokus pada pembukaan lahan, dan penggarapannya, sehingga perhatian terhadap Pendidikan keagamaan terabaikan; Kedua, Fase 1985-1990-an. Fase ini adalah masa perkembangan dan penataan sistem ruang dan pemukiman. Para kerabat di kampung halaman yang mendengar informasi tentang kesuksesan dan produktifitas hasil pertanian dan perkebunan di Cempaka memutuskan untuk bermigrasi ke Cempaka dalam rangka turut serta dalam pengembangan lahan pertanian itu. Di fase ini pula Masjid dibangun dan dijadikan sebagai pusat dakwah Islam di Cempaka. Dengan pemahaman keagamaan seadanya, mereka merintis pengajian bagi anak-anak Bugis yang hendak belajar agama, dengan sistim sorogan dan halaqah. Oleh karena semua yang belajar agama itu adalah orang Bugis, maka bahasa pengantar pengajaran agama semuanya berbahasa bugis, bahkan metode pembelajaran Alquran menggunakan metode ejaan baghdadiyah berbahasa bugis. Ketiga, Fase 1990-an hingga sekarang. Ini merupakan fase pengembangan yang cenderung modern dan telah beranjak dari pernak-pernik kebugisan. Tinggalan pengembangan pada fase sebelumnya tidak lagi dijumpai. Pengajian halaqah masih berlangsung, tetapi tidak lagi dilakukan di rumah ustad/imam desa. Semuanya sudah terpusat di masjid Nurul Yaqin, dan masjid Al-Ikhlas Desa Cempaka. Kehadiran Madrasah Diniyah Awaliyah binaan Alkhairat dijadikan sandaran para orang tua menitipkan anaknya belajar agama di situ. Hal ini menjadi sangat positif, tetapi di sisi lain, tradisi kebugisan khususnya metode dan komunikasi pengajaran berbahasa bugis sudah hilang, beriringan dengan terbatasnya kemampuan berbahasa bugis generasi muda Cempaka, yang sekarang lebih pandai berbahasa melayu aksen Manado. Namun, keberadaan MADIN Alkhairat juga sekaligus sangat bermanfaat, karena tiap tahun, Yayasan alkhairat pusat selalu mengirimkan tenaga pengajar yang cukup terampil dan gesit untuk mendampingi pengembangan keberagamaan anak-anak Cempaka.
Di Kelurahan Bugis Kecamatan Dumbo Raya Kota Gorontalo, eksistensi migran Bugis dapat ditelusuri dalam dua komunitas yaitu; Komunitas Kampung Bugis dan Komunitas KKSS. Orang-orang Bugis di Komunitas Kampung Bugis adalah generasi Bugis yang pertama kali datang di Gorontalo, dan kini mereka ada yang sudah keturunan ke tujuh atau keturunan ke empat. Mereka sudah tidak dapat berbahasa Bugis dan melakukan integrasi secara total dengan suku Gorontalo, sehingga identitas mereka di permukaan lebih dikenal sebagai orang Gorontalo, identitas kebugisan mereka baru dapat terungkap ketika menanyakan marga Bugis yang melekat pada nama mereka. Marga atau fam tersebut kebanyakan dimulai dengan “La” seperti yang populer: Lamusu, La Kadjo,La Deri, La Maadilau, La Simpala, dan ada juga marga dalam bentuk lain seperti: Djula dan Malango. Adapun peran mereka dalam pengembangan pendidikan keagamaan, saat ini digambarkan mengalami kemunduran, seiring hadirnya lembaga TPQ yang selama ini menghimpun anak-anak Kampung Bugis untuk belajar Alquran, namun karena kehadiran program Full Day School (FDS), yang mengharuskan anak sekolah tinggal lebih lama di Sekolah, membuat jadwal TPQ yang tadinya setiap hari Senin sampai Jumat pukul 02:00 siang, kini harus melakukan pergeseran dan pengurangan jadwal. Di sisi lain, pendidikan keagamaan di dalam rumah tidak lagi marak dilakukan, karena orang tua menganggap sudah cukup dengan kehadiran TPQ. Adapun pendidikan keagamaan melalui khazanah dan tradisi keagamaan yang dikembangkan di masjid dan melalui imam Kampung, sebagian besar masih berjalan, seperti acara-acara zikir, barzanji, tadarrus dan salawatan. Meskipun pengajian di masjid bakda magrib yang dahulu pernah berlangsung setiap malam. Kini sudah tidak lancar berjalan, karena sudah tidak banyak lagi orang yang mau tinggal duduk menunggu salat isya. faktor lain yang lebih krusial adalah kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh imam masjid yang hanya tamatan SMP. Sehingga untuk menyampaikan ceramah agama setiap malam, akan menjadi sangat menyulitkan. Komunitas Bugis lainnya adalah mereka yang tergabung dalam organisasi Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Umumnya pendatang baru. Meski demikian, terhitung sejak 1990-an, peran mereka dalam pengembangan pendidikan keagamaan sangat menonjol. Mereka sangat perhatian terhadap pembangunan masjid, pembangunan kantor organisasi keagamaan, dan bahkan di antara mereka juga ada yang terjun dalam membangun pondok pesantren di Talaga limboto dan Kota Gorontalo. Kendala pengembangan pendidikan keagamaan bagi pendiri pesantren ini adalah, sulitnya mencari guru yang tepat dan dapat dijadikan sebagai kiyai panutan di dalam lingkungan Pondok Pesantren.
Di Kelurahan Bastion Talangame, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara, keberadaan Migran Bugis bersama pendatang lainnya mendominasi perekonomian masyarakat. Sentral-sentra ekonomi seperti pasar dan pertokoan di dominasi oleh pendatang, termasuk migran Bugis. Penduduk asli dalam bidang perekonomian termarginalkan. Keterlibatan migran Bugis di Bastion membentuk wadah solidaritas bernama KKSS sebagai ajang kerja sama dan saling bantu. Pada umumnya migran Bugis di Bastion sangat memperhatikan pendidikan agama bagi anak-anaknya. Anak-anak mereka diajarkan membaca Al Qur’an melalui pengajian-pengajian Al Qur’an, baik yang diadakan di rumah-rumah oleh guru-guru mengaji tradisional maupun melalui taman-taman pendidikan Al Qur’an yang biasanya di buka di masjid-masjid atau di mushalla. Mereka yang berhasil di bidang ekonomi menjadi donatur utama pengajian Al Qur’an atau pembangunan masjid/mushalla atau pesantren untuk memajukan pendidikan agama di Bastion, Ternate.
Di Kampung Hafo Distrik Assue, Kabupaten Mappi, Papua, peran migran Bugis dalam pendidikan keagamaan juga cukup signifikan. Penduduk Kampung Hafo sebanyak 1.410 jiwa, 80% di antaranya merupakan migran Bugis yang berasal dari Wajo, Soppeng, Pangkep, Maros, Bone, Sidrap, Palopo, dan Makassar. Salah satu komoditi yang terkenal di kampung ini gubal gaharu. Ketika gubal gaharu menjadi komoditi yang cukup mahal harganya dan hampir ditemukan diseluruh dataran distrik Assue (akhir 1994), potensi alam ini yang mengubah gaya hidup suku asli yang mendiami distrik Assue yaitu suku Awyu dan Wiyagar, suku ini terpengaruh ke gaya hidup modern oleh para migran yang berdatangan ke distrik Assue. Migrasi orang Bugis ke Asgon masih berlanjut sampai sekarang. Migrasi itu terjadi dalam empat gelombang yakni tahun 1970, 1988, 1989, dan 1994. Mereka yang telah menetap lebih dahulu di Asgon telah beranak pinak hingga sekarang (sudah generasi ketiga). Sebagain besar peranakan tersebut kehilangan identitas bahasa dan budaya, mereka terbawa arus dan terpengaruh dengan bahasa Indonesia ala Papua dalam berkomunikasi. Di masa awal kedatangan migran Bugis hingga tahun 2006 pembinaan umat berpusat dan dilakukan di rumah Imam Taru. Pada tahun 2006, atas kerjasama Pengurus Kesejahteraan Masjid di Kampung Hafo dan tokoh/pihak As’adiyah yang berpusat di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, mulai didirikan TPA dan Madrasah Diniyah sebagai tempat belajar para migran yang memiliki animo yang besar untuk belajar pengetahuan agama. Madrasah tersebut merupakan cabang ke-315 As’adiyah. Juga terdapat pembinaan untuk para ibu-ibu migran dalam wujud majlis taklim “Arrahman” dan juga pembinaan khusus untuk para kaum laki-laki dengan belajar tahsin al-Qur’an dengan tujuan nantinya bisa menjadi pengganti imam masjid ketika berhalangan. Pembinanya merupakan alumni dari Ma’had Aly As’adiyah dan STAI As’adiyah Sengkang.
Rekomendasi
1. Diperlukan workshop yang mempertemukan antara pengelola lembaga pendidikan Islam di tanah Bugis dengan tokoh migran Bugis di berbagai tanah perantauan dalam rangka pengembangan pendidikan keagamaan Islam.
2. Lembaga pendidikan Islam di Sulawesi Selatan diharapkan mengirimkan sarjana (melanjutkan program serupa) untuk pengabdian masyarakat dengan sasaran, antara lain, komunitas Bugis di perantauan. Sebaliknya, warga komunitas Bugis di perantauan perlu didorong untuk mengirimkan santri untuk belajar di Sulawesi Selatan untuk memperdalam agama Islam dan budaya Bugis.
3. Lembaga pendidikan keagamaan yang dikelola oleh orang Bugis perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam rangka pewarisan dan pengembangan nilai-nilai Islam dan budaya Bugis termasuk bahasa Bugis dan aksara Lontara.
4. Pelestarian bahasa Bugis perlu mendapat perhatian khusus. Kampanye penggunaan dua bahasa di rumah orang Bugis perlu digalakkan.
5. Kampanye penyediaan tanah wakaf merupakan strategi yang perlu dilakukan untuk penguatan landasan pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan Islam.
6. Biografi tokoh Bugis yang berjasa mengembangkan agama dan masyarakat perlu diperkenalkan dan dijadikan teladan atau sumber nilai-nilai agama.
7. Penyiapan tenaga penyuluh agama Non-PNS pada Komunitas Bugis di rantau perlu dipersiapkan dan dibina secara berkelanjutan.
8. Pengiriman mubalig dengan memperhatikan ikatan emosinal antara umat dengan mubalig, perlu dijembatani, terutama pada bulan Ramadan. Mubalig siap turun ke desa Bugis di rantau pelu diorganisir. Daftar desa yang membutuhkan mubalig Bugis perlu diteruskan ke IMMIM dan lembaga dakwah lainnya.
...