Executive Summary
Monografi Sosial Budaya Haji di Kawasan Indonesia Timur
A. Latar Belakang
Minat masyarakat muslim Indonesia di Bagian Timur melaksanakan ibadah haji sangat tinggi. Dalam catatan Jacob sejak rangkak abad IX-XX, salah satu daerah yang paling banyak jemaah hajinya berasal dari Sulawesi, Indonesia Timur. Data haji pada tahun 2016 menunjukkan tingginya minat berhaji muslim di Indonesia Timur. Daftar tunggu di daerah ini menyentuh masa tunggu sampai 35 tahun lebih.
Yang unik, muslim Indonesia Timur tidak sekedar memenuhi unsur-unsur ibadah dalam pelaksanaan hajinya, tapi juga melibatkan berbagai tetek bengek budaya di dalamnya. Haji dan budaya lokal berkelindan satu sama lain. Proses perjumpaan ini pada satu sisi menyemarakkan dan semakin mendorong motivasi kaum muslim berhaji, tapi pada sisi yang lain acap kali pula mengganggu proses pelaksanaan haji. Atas nama budaya beberapa jemaah haji dari Indonesia Timur melakukan pelanggaran di Tanah Suci saat berhaji, misalnya dengan menggunting kiswah dari Ka’bah.
Selain itu, latar belakang sosial dan budaya jemaah haji, misalnya pendidikan, pekerjaan dan jenis kelamin juga mempengaruhi proses pelaksanaan haji. Hal mana, persoalan ini ikut pula mempengaruhi penyelenggaraan dan pelayanan haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama.
Penelitian dengan metode kualitatif ini diharapkan dapat mengungkap latar belakang budaya sosial, sekaligus tradisi jemaah haji Indonesia Timur dalam berhaji. Dengan adanya gambaran tersebut, Kementerian Agama dapat mengeluarkan satu kebijakan penyelenggaraan dan pelayanan haji, bagi masyarakat muslim, khususnya di Indonesia Timur.
B. Temuan
Penelitian Monografi Sosial Budaya Haji ini dilakukan di Polewali Mandar (Sul-bar), Pinrang dan Pangkep (Sulsel), Gorontalo, Ternate dan Bau-Bau. Dari kelima provinsi yang diteliti, jelas terlihat bahwa jemaah haji dalam proses pelaksanaan hajinya masih kental dengan berbagai ritus-ritus kebudayaan dan tarekat haji (manasik rahasia haji). Secara umum berbagai ritus kebudayaan itu muncul saat persiapan pemberangkatan, waktu di Tanah Suci dan masa kepulangan di Tanah Air.
Tahapan persiapan pemberangkatan adalah tahapan yang paling semarak ritus budaya dan juga proses bertarekatnya. Pada prinsipnya, berbagai ritus kebudayaan yang dijalankan selama masa ini sama sekali tidak mengganggu penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Justru sebaliknya, dengan tradisi itu, penyelenggaraan haji bertambah kuat. Misalnya melalui tradisi assalama dan mammanasik, jemaah haji dengan inisiatif sendiri melakukan ritual selamatan sekaligus manasik haji. Dalam proses ini jemaah haji mendapatkan tambahan materi tentang haji yang dilakukan dengan cara yang lebih akrab dengan budaya dan bahasa jemaah haji.
Pada masa berada di Tanah Suci, beberapa jemaah haji juga masih kental dengan berbagai tradisi dan kebudayaan. Misalnya ada ritual mappatoppo, bagi etnis Bugis-Makassar serta mengambil kiswah, oleh hampir semua etnis dari Indonesia Timur. Sejatinya, tradisi ini bukanlah persoalan, namun beberapa jemaah menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang fundamental. Untuk memenuhinya, beberapa jemaah haji terkadang melakukan pelanggaran-pelanggaran, seperti jemaah asal Sulsel yang kedapatan menggunting kiswah.
Sementara itu secara spesifik dalam materi manasik haji persoalan budaya lokal dan tarekat haji yang menjadi kebiasaan jemaah haji, belum dijadikan satu materi. Padahal dari temuan lapangan, materi tentang budaya lokal dan tarekat haji serta bagaimana meletakkan hal tersebut dalam proses berhaji menjadi kebutuhan Jemaah Haji. Hal ini dimaksudkan agar budaya dan tradisi tersebut mendukung penyelenggaraan haji, dan bukan sebaliknya malah menjadi satu permasalahan.
Hal lain yang menjadi temuan penelitian ini adalah pengaruh latar belakang jemaah haji, baik dari sisi pendidikan, pekerjaan, asal (desa dan kota) maupun jenis kelamin terhadap penyelenggaraan haji. Jemaah haji Indonesia Timur yang rata-rata berpendidikan SD , bekerja sebagai petani dan nelayan serta tinggal di desa, masih kesulitan menangkap materi dan metode manasik yang ada sekarang. Penyampaian manasik lewat materi dengan menggunakan power point, sulit dipahami. Rata-rata mereka menyenangi materi visual dan praktik, atau materi yang disampaikan dengan cara bertutur dan diselingi dengan kisah dan testimoni. Hal inilah yang menyebabkan, jemaah haji lebih senang mendengarkan manasik yang mereka selenggarakan bersamaan dengan ritual budaya di rumah masing-masing.
Jemaah haji dengan latar belakang, seperti dikemukakan tadi, juga sulit berkomunikasi dengan panitia penyelenggara haji jika tidak menggunakan bahasa daerah. Mereka juga masih diliputi dengan budaya malu (siri-siri) untuk mempertanyakan sesuatu yang tidak mereka paham. Hal inilah yang menyebabkan mereka sering tersesat jalan atau juga salah dalam menggunakan alat-alat teknologi di pesawat ataupun di hotel.
Sementara itu jemaah haji perempuan jumlahnya tiga kali lipat dari jemaah haji laki-laki. Dari hasil penelitian menunjukkan jemaah haji perempuan Indonesia Timur, cenderung menjadikan hajinya sebagai bagian dari gaya hidup dan menaikkan status sosialnya. Dari sinilah muncul istilah haji modereng di Sulsel dan Sulbar. Istilah itu dimaksudkan sebagai haji masa kini yang lebih dominan sebagai gaya hidup kelas menengah muslim perempuan di desa-desa.
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari temuan di atas dapat disimpulkan :
Pertama; Jemaah haji Indonesia Timur dalam berhaji masih sangat dipengaruhi oleh budaya dan tarekat haji yang berkembang di masyarakat. Sejauh hal ini dapat dikelola dengan baik, maka budaya dan tarekat berhaji ini justru akan menguatkan proses penyelenggaraan haji.
Kedua; Ritual-ritual yang berbasis tradisi mempengaruhi proses penyelenggaraan haji. Ada yang menguatkan misalnya ritual massalama yang dirangkaikan dengan mammanasik, hal ini lebih memperdalam pemahaman jemaah haji mengenai tata cara berhaji. Ada pula yang kadang bergesekan, misalnya tradisi yang dilakukan di Mekkah, misalnya tradisi mencari kiswah dan menadah air dari jompi ulaweng. Dua hal kadang dianggap sebagai kewajiban berhaji dan demi melakukannya jemaah haji tidak peduli melakukan tindakan pelanggaran.
Ketiga ; Latar belakang sosial budaya Jemaah haji yang kebanyakan pendidikan SD, pekerjaan petani dan tinggal di desa mempengaruhi Jemaah haji dalam mengikuti penyelenggaraan haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Rata-rata mereka sulit mencerna materi yang disampaikan lewat penuturan yang simpel. Mereka lebih mampu mencerap materi yang disampaikan dengan model story telling dan testimoni (kesaksian atau cerita pengalaman). Mereka juga lebih bisa menangkap jika hal itu langsung dialami, dipraktikkan atau diperagakan.
Keempat; Terlihat kecenderungan jemaah haji perempuan yang jumlahnya tiga kali lipat menjadikan haji sebagai sarana meningkatkan status sosial dan sebagai bagian dari gaya hidup (Life Style). Hal ini terlihat pada jemaah haji perempuan di kota dan di desa, namun lebih menonjol pada jemaah haji di desa.
Kelima; Penyelenggara Haji di beberapa daerah yang diteliti belum memasukkan unsur-unsur budaya lokal dan tarekat dalam materi manasik. Selain itu para pembimbing dan pemateri kurang memahami sisi-sisi kebudayaan jemaah haji, sekaligus kurang memahami tarekat haji.
Berdasarkan kesimpulan tersebut direkomendasikan :
a. Memberikan Pemahaman posistif tentang budaya lokal
b.Memberikan Pemahaman tentang Tarekat Haji yaitu Hakikat dan Rahasia Haji
c. Memperkuat makna spiritual berhaji, semata-mata untuk beribadah dan mendapat berkah dari Allah SWT.
4. Perlunya para pendamping haji memiliki pemahaman budaya dan Memahami hubungan antara agama dan Kebudayaan. Karena itu di Rekomendasikan Badan Diklat untuk melakukan Pelatihan Budaya bagi Pembimbing Haji.
...