Eksekutif Summary
Pemetaan Kelompok Keagamaan Di Provinsi Gorontalo
Pendahuluan
Penelitian pemetaan kelompok keagamaan di Provinsi Gorontalo dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang sejarah, dinamika, dan geliat kehadiran kelompok keagamaan dalam mempengaruhi dinamika sosial di Gorontalo. Hal ini penting mengingat Provinsi Gorontalo adalah wilayah berkembang akibat dari pemekaran provinsi tahun 2000 yang menyebabkan massifnya migrasi sosial.
Penelitian dilakukan di seluruh kabupaten/kota di seluruh Provinsi Sulawesi Tenggara, meliputi Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Bonebolago, Kabupaten Pohuwato, dan Kabupaten Gorontalo Utara.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada tokoh kelompok keagamaan, anggota kelompok keagamaan, tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, aktivis, dan tokoh pemuda. Selain wawancara, pengumpulan data dilakukan pula dengan teknik observasi. Observasi dilakukan untuk mengamati model pengajian dan aktivitas lain yang dilakukan oleh kelompok keagamaan.
Temuan
1. Ada tiga periode besar kehadiran kelompok keagamaan (kecuali kelompok tarekat) di Gorontalo. Pertama, periode pra kemerdekaan. SI, Muhammadiyah, NU, ditambah PAI (Partai Arab Indonesia) dan Partai Nahdlatus Syafiah. Karakteristik kelompok keagamaan pada periode ini bersifat politik serta berorientasi gerakan sosial dan pendidikan, terutama Muhammadiyah. Kedua, masa orde baru (khususnya pasca fusi partai tahun 1973), dengan munculnya Al-Khairat, Al-Irsyad, Jamaah Tabligh, LDII, Hidayatullah, dan Persis (Persatuan Islam). Di era ini, kelompok keagamaan yang berkembang tidak berorientasi politik tetapi lebih berorientasi pendidikan dan dakwah. Ketiga, era reformasi. Kelompok yang masuk pada era ini adalah Wahda Islamiyah, Hidzbuttahrir, Ahmadiyah, Salafi, Syiah, dan Gusdurian (termasuk Nahdlatul Watan di Kab. Boalemo). Kelompok yang berkembang di era ini lebih spesifik dan progressif. WI dan Salafi memiliki paradigma puritanis yang sangat kontras dengan watak kultural masyarakat Gorontalo. Syiah dan Ahmadiyah adalah dua kelompok keagamaan yang mendapatkan stigma sesat oleh MUI sejak tahun 2006. Sedangkan Gusdurian merupakan komunitas pencinta Gusdur yang memiliki orientasi kemanusiaan dan lintas ideologis, bahkan lintas agama. Ketiga sudut ideologis ini sekarang sedang aktif-aktifnya melakukan kegiatan dan memperkuat eksistensi mereka di Kota Gorontalo.
2. Perkembangan organisasi dipengaruhi oleh dua faktor, eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya 1). kebijakan politik (baik dalam skala nasionl maupun lokal) merupakn faktor yang paling determinan yang memengaruhi perkembangan kelompok keagamaan. 2). Donasi sosial dari kelompok pengusaha muslim, khususnya dalam konteks akselerasi infrastruktur dan pemanfaatan sumber daya manusia. 3). Stigma publik. Hal ini berlaku pada kelompok keagamaan yang secara nasional mendapatkan stigma sesat, seperti Syiah, Ahmadiyah, dan LDII pada era awal di Gorontalo. Faktor internal diantaranya 1) kematangan struktural, 2) semangat para aktor kelompok.
3. Kehadiran berbagai kelompok keagamaan memberi dampak pada dinamisnya relasi sosial. Dinamika yang terjadi di Gorontalo merupakan refleksi nasional, bukan khas terjadi di Gorontalo saja. Relasi dinamis antara NU dan Muhammadiyah pada era 1960-1980 adalah potret relasi yang juga terjadi di beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Makassar. Relasi yang muncul akibat dari perbedaan pandangan keagamaan, pada akhirnya bisa mencair dan tidak lagi menjadi hal yang “mengganggu” hubungan antara NU-Muhammadiyah.
Pasca reformasi, relasi kontraproduktif mulai tampak seiring dengan masuknya kelompok keagamaan baru. Syiah misalnya datang di era dimana mereka telah mendapatkan stigma “buruk” dari kelompok keagamaan yang secara massif di kampanyekan baik dalam pengajian, buku-buku, maupun media sosial. Kata syiah pelan-pelan memiliki makna pejoratif yang mudah membangkitkan reaksi negatif, ketika kelompok ini mulai hadir dan menampakkan diri. Dua kasus syiah yang disebutkan di atas merupakan contoh nyata.
Sirkuit friksi yang terjadi di Gorontalo terjadi dalam tiga arus, salafi-syiah, salafi-masyarakat, masyarakat-syiah. Salafi-Syiah adalah potret dari friksi nasional yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Salafi-masyarakat terjadi akibat dari model dan metode dakwah kelompok salafi yang tidak memperhitungkan psikologi dan kultur masyarakat Gorontalo. Masyarakat-Syiah terjadi karena ketidaksiapan masyarakat bersentuhan dengan model keberagamaan yang berbeda dengan mereka.
Rekomendasi
1. Isu syiah memang tampaknya akan terus menjadi isu publik yang hangat di Kota Gorontalo mengingat syiah datang dengan stigma negatif. Padahal, Salafi, Syiah (dan juga Ahmadiyah) adalah kelompok keagamaan yang secara administratif memiliki legalitas di negara Indonesia (meski dalam kasus lokal belum semuanya, seperti ABI di Kota Gorontalo. Ketiga kelompok ini secara nasional adalah kelompok yang sah, berhak untuk hidup, dan dilindungi oleh negara. Friksi yang telah terjadi dan kemungkinan akan terjadi (apabila Syiah berkembang) merupakan tanggungjawab negara untuk memberikan langkah konstruktif. Pertama, sosialisasi tentang kelompok keagamaan yang berbadan hukum ke tingkat kelurahan, agar kelurahan memiliki pedoman dalam menyelesaikan persoalan antar kelompok keagamaan berdasarkan hukum yang berlaku. Kedua, perlunya seminar publik tentang syiah, agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang lengkap dan komprehensif tentang syiah. Seminar dan diskusi publik ini penting dilakukan karena selama ini keberadaan Syiah sudah berubah menjadi stigma, yang bisa memicu terjadinya friksi keagamaan. Ketiga, pihak syiah seharusnya memperhatikan nalar publik yang stigmatif dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang memicu friksi, apalagi di tengah masyarakat umum yang tidak terbiasa dengan dialog-dialog teologis atau debat kebenaran.
2. Kedatangan kelompok salafi secara faktual menjadi salah satu pemicu friksi dalam masyarakat. Kehadiran kelompok salafi dengan paradigma salafisme-nya adalah hak mereka. Hak ini sepatutnya mendapatkan perlindungan oleh pemerintah. Kelompok salafi tidak boleh dilarang untuk menyebarkan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran, karena hal tersebut merupakan hak yang melekat erat pada diri mereka. Namun mengingat kehadiran mereka terkadang mendapatkan reaksi negatif dari publik, karenanya pemerintah dan kementerian agama perlu melakukan langkah-langkah konstruktif, yaitu: Pertama, menyusun metode dakwah yang memungkinkan semua pihak tidak bersinggungan secara langsung. Kehadiran perwakilan Wahda Islamiyah di jajaran kepengurusan MUI Provinsi Gorontalo bisa menjadi modal untuk menyusun strategi dan dakwah yang bisa menghindarkan friksi. Kedua, melakukan diskusi publik tentang isu keagamaan yang dianggap berbeda atau diperdebatkan. Diskusi publik antara KH. Abbas Rauf dan Yusuf Polapa pada tahun 1970an adalah modal sejarah. Meski diskusi ini berakhir tidak ricuh, tetapi setidaknya membuka pikiran dua pihak tentang inti ajaran agama yang sedang diperdebatkan. Setidaknya, NU-Muhammadiyah tidak lagi mempertentangkan “khilafiyah”, dan memilih hidup berdampingan tanpa kehilangan identitas masing-masing.
...