PELAYANAN KEMENTERIAN AGAMA TERHADAP PENGANUT AGAMA MINORITAS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 32x

Dilihat 343x

Editor: blamakassar

Abstrak:

...

Lampiran Tidak Tersedia

Executive Summary

PELAYANAN KEMENTERIAN AGAMA TERHADAP

PENGANUT AGAMA MINORITAS DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

 

Pendahuluan

            Riset ini dilakukan untuk melihat implementasi regulasi terhadap bantuan rumah ibadat penganut agama minoritas, serta pendidikan agama bagi penganut agama minoritas di sekolah umum negeri dan sekolah yayasan berbasis agama tertentu. Regulasi yang dimaksud adalah Undang-Undang Republik Indonesia (R.I.) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB V pasal 12 ayat 1 dan Peraturan Menteri Agama (R.I.) Nomor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah yag tertuang di BAB Satu Bagian Ketiga (Kewajiban) pasal 3 ayat 1 dan 2. Tujuan riset untuk mengetahui konstruksi kebijakan, implementasi kebijakan, dan persepsi penganut agama minoritas terhadap pelayanan kementerian agama di lokasi penelitian.  

            Jenis penelitian ini adalah kualitatif, dengan sumber data kepala kementerian agama kota, seksi atau penyelenggara bimbingan masyarakat kementerian agama kota (Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu), Forum Kerukunan Umat Beragama, kepala sekolah umum negeri dan ketua yayasan sekolah swasta, guru agama, tokoh agama/masyarakat, dan warga pemeluk agama minoritas. Sumber data lainnya, mengobservasi relasi sosial (kehidupan keagamaan) penganut agama mayoritas dan minoritas, perkembangan pendirian rumah ibadat agama minoritas dan bentuk bantuan (material dan immaterial) yang diberikan kementerian agama terhadap agama minoritas, mata pelajaran agama untuk peserta didik minoritas, dan aktivitas peribadatan peserta didik beragama minoritas di sekolah-sekolah yang menjadi sasaran penelitian.

            Riset dilakukan selama 25 hari, dengan rincian tujuh hari penjajakan di lokasi penelitian (studi awal), dan 18 hari melakukan penelitian lapangan. Lokasi penelitian dilakukan di Sulawesi Selatan (Kota Parepare/mayoritas Islam), Sulawesi Utara (Manado/mayoritas Kristen), Sulawesi Tengah (Palu/mayoritas Islam), Maluku Utara (Ternate/mayoritas Islam), dan Papua (Jayapura/mayoritas Kristen). Pemilihan lokasi dilakukan secara demografis, dengan mempertimbangkan komposisi penduduk berdasarkan jumlah penganut agama minoritas yang mendiami suatu wilayah, yang dihuni oleh pemeluk agama mayoritas.

 

Temuan

  1. Meski di semua lokasi penelitian belum terdapat struktur penyelenggara untuk penganut agama minoritas (Hindu, Buddha, dan Khonghucu) di kementerian agama kota, namun pelayanan yang diberikan kementerian agama terkait bantuan dana untuk pembangunan/renovasi rumah ibadat bagi penganut agama minoritas sudah berjalan baik setiap tahun, dengan sistem pemerataan sesuai anggaran yang tersedia.
  2. Regulasi PMA RI Nomor 16 tahun 2010 tentang “Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah”, belum bisa diberlakukan di semua lokasi penelitian, mengingat jumlah peserta didik sangat minim, terutama penganut Hindu dan Buddha, yang bersekolah di sekolah umum negeri. 
  3. Jumlah tenaga pendidik agama minoritas berstatus pegawai negeri di semua lokasi penelitian juga masih minim, sehingga kebutuhan pendidikan agama di sekolah umum negeri dipercayakan kepada Sekolah Minggu, yang dilaksanakan di rumah ibadat. Berkaitan dengan itu, tenaga pendidik yang mengajar di Sekolah Minggu umumnya adalah pegawai negeri dan pegawai honor di kementerian agama, serta aktivis kelembagaan (guru honorer), yang menerima intensif dari Kanwil Kementerian Agama.

 

Rekomendasi

  1. Regulasi PMA RI Nomor 16 tahun 2010 tentang “Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah” di dalam BAB 1 Bagian Ketiga Pasal 4 ayat 1 hingga 4, hendaknya ditinjau ulang. Pembatasan terhadap jumlah peserta didik penganut agama minoritas minimal 15 orang seperti tertuang di dalam PMA, sebaiknya direvisi menjadi minimal 5 orang, dengan mempertimbangkan kondisi demografis – agama di tiap-tiap wilayah berbeda-beda.   
  2. Pihak kementerian agama, FKUB, dan pemerintah kota sebaiknya mendorong dan melakukan pendekatan kultural dalam menyelesaikan kasus rumah ibadat yang belum selesai, seperti di Manado (kasus Masjid Al-Khairiyah) dan Ternate (kasus Pura Maitreya).
  3. Kementerian agama (cq. kementerian agama) sebaiknya melibatkan para stakeholder dalam menyusun program kementerian agama. Model penyusunan program kerja atau penyusunan RKAKL (Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga) berdasarkan analisis kebutuhan umat beragama.
  4. Pengangkatan tenaga pendidik agama sebaiknya dikembalikan lagi kepada kementerian agama, dan tidak lagi oleh pemerintah kota (dinas pendidikan), sehingga pelayanan terhadap pendidikan agama dapat dilakukan melalui satu pintu (misalkan, pengangkatan tenaga pendidik dan pembayaran tunjangan sertifikasi tenaga pendidik).

...

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia