Kategori: Bahan Kebijakan
Anggota: Drs. H. Achmad Sidiq, M.S.I.Ali KhudrinDrs. Bisri RuchaniMustolehudinSamidiSubkhan Ridlo
Publisher: BLA-Semarang
Diunduh: 73x
Dilihat 782x
Editor: blasemarang
Abstrak:
Latar Belakang
Isu utama politik Internasional dan menjadi perhatian dunia sepanjang pada tahun 2015 adalah aksi kelompok Islamic State (IS) dan persoalan imigran dari negara-negara Timur Tengah ke kawasan Eropa serta teror mematikan pada 13 Nopember 2015 di Paris Perancis. Aksi teror bom bunuh diri di Paris tersebut disertai penembakan massal yang menewaskan 130 korban (SM, 17 Desember 2015). Aksi peledakan bom bunuh diri di Indonesia juga belum benar-benar berakhir ketika terjadi peristiwa bom bunuh diri tanggal 14 Januari 2016 di ibu kota, tepatnya di jalan Thamrin Jakarta. Kejadian tersebut merengggut beberapa korban jiwa dan korban luka. Para terduga pelaku bom Thamrin ditangkap pada tanggal 19-20 Pebruari di Desa Ngijo, Kec Karang Ploso, Kab Malang, Jawa Timur (Kompas, 21 Pebruari 2016). Pada saat hampir bersamaan, Kepolisian Resort Temanggung mengamankan 38 orang karena melakukan aktifitas “mencurigakan” seperti latihan militer di lereng gunung Sumbing serta di Desa Lhok Guci, Aceh Jaya, dua anggota kelompok illegal ditembak polisi. Berita-berita tersebut mewarnai media baik cetak maupun elektronik sepanjang awal tahun 2016. Al-Chaidar, dalam satu pernyataanya mengingatkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan makin meluasnya gerakan berbau teror dan radikal (Kompas, 21 Pebruari 2016).
Aksi kekerasan di Indonesia telah berlangsung sejak lama sejak peristiwa pertikaian berdarah Muslim – Kristen di Maluku (Indonesia Timur) tahun 1999, pengeboman gereja di 11 kota di seluruh Indonesia pada malam Natal Desember 2000, termasuk serangan bom Bali pada 12 Oktober 2002 di Sari Club dan aksi bom Jimbaran pada Oktober 2003[1] ditengarai terkait dengan kelompok Jamaah Islamiyah (Ricklefs, 2013: 445). JI didirikan oleh Ustadz Abdullah Sungkar di Malaysia pada tahun 1993 (Hasani, 2012: 40). Abdullah Sungkar mendirikan JI saat melarikan diri ke Malaysia bersama Abu Bakar Ba’asyir dan bersama keduanya ada Sunarto, A. Mubin Busthami, Fihiruddin Muqthie, dan Agung Riyadi[2]. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir bertemu dan bergabung melakukan dakwah dengan Abu Jibril di beberapa wilayah Malaysia (Hasani, 2012:35). Setelah Soeharto Lengser, Ustadz Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir kembali ke Indonesia namun tidak lama berselang Abdullah Sungkar wafat dan perjuangan diteruskan oleh Abu Bakar Ba’asyir. JI kemudian identik dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai pemegang otoritas tertinggi di Indonesia.
JI termasuk salah satu gerakan Islam di luar mainstream (nonmainstream) seperti NU, Muhammadiyah dan sejenisnya di Indonesia. JI pimpinan Abu Bakar Baasyir saat ini terpecah ke dalam 2 kelompok, yakni Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharus Syariah (JAS). JAT bergerak di bawah tanah dengan pucuk pimpinan masih Abu Bakar Ba’asyir, sedangkan JAS lebih bersikap terbuka dengan pimpinan Ustad Muhammad Ahwan dan
As’ad Said Ali membagi gerakan Islam nonmainstream ke dalam 2 kelompok, yakni kelompok non Salafi dan kelompok Salafi. Gerakan Islam yang termasuk dalam kelompok non Salafi adalah: Darul Arqam, Jama’ah Tabligh, Ihwanul Muslimin (IM), Isa Bugis, IJABI (Ikatan Jamaah Ahlu al-Bait Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), DI (Darul Islam), Hizbut Tahrir, dan lainya. Sedangkan kelompok Salafi yaitu MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, ditambah kelompok informal seperti Abdul Hakim Haddad, Yazid Jawz, Husein As-Sewed dan lainnya (Ali, 2012: 74)
Ideologi gerakan yang diusung kelompok Islam tersebut merujuk kepada pemikiran para ulama Timur Tengah, Mesir, Afghanistan, dan untuk kasus JI di Indonesia, dalam hal ini Abu Bakar Ba’asyir cenderung berkiblat pada pemikiran Kartosuwiryo. Berbeda dengan JI, kelompok Ikhwanul Muslimin berpegang pada pemikiran Hasan al-Bana dan Sayyid Quthub, HTI lebih condong kepada pemikiran Taqiyudin an-Nabhani, sedangkan Salafi awalnya merupakan gerakan yang dibawa oleh Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridlo dan dipopulerkan kembali oleh Nashiruddin al-Bani tahun 1890-an (Ali, 2012: 106). Gerakan pemurnian yang dibawa oleh Nashirudin al-Bani senada dengan gerakan pemurnian Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-13, yakni sama-sama memprihatinkan segala hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Hanya saja Al-Bani mendefinisikan kategori bid’ah menjadi lebih luas mencakup fenomena perkembangan modern termasuk hasil kemajuan tekhnologi, maupun perilaku serta paham pemikiran dengan semangat tekstualis yang dikatakannya sangat kuat sehingga menjadi lebih radikal (Ali, 2012:107).
Sumber radikalisme tersebut bersumber dari prinsip ketaatan yang ketat pada teks al-Qur’an, al-hadis shohih, dan hanya bertumpu pada praktik Islam murni yang dilaksanakan oleh para salafus shaleh, sehingga ketika terdapat fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada pada jaman salafus sholeh akan ditentang dan tidak ada kompromi termasuk demokrasi dan partai politik (Ali, 2012: 107)
Corak penafsiran tekstualis yang diterapkan oleh beberapa kelompok nonmainstream sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam banyak hal menimbulkan persoalan kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan demokrasi. Misalnya tentang konsep dar al-Islam atau din wa daulah, khilafah, dan takfiri serta jihad dipandang bertentangan dengan prinsip dasar negara Pancasila. Berdasarkan alasan tersebut, maka Balai Litbang Agama Semarang dengan ini memandang perlu melakukan penelitian mengenai Potensi Radikalisme dalam Literatur Kelompok Keagamaan Radikal. Penelitian ini dilaksanakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta dengan alasan ketiga wilayah tersebut disinyalir menjadi daerah kantong-kantong tumbuhnya kelompok radikal di Indonesia.
[1] Aksi teror bom lainnya terjadi di Hotel JW Mariot, 5 Agustus 2003 menewaskan 8 orang, dan bom Kedubes Australia pada September 2004 menewaskan 11 orang (Mubarak, 2008: 342)
[2] Ismail Hasani menjelaskan bahwa: Agung Riyadi ditangkap di Malaysia pada Januari 2002 atas tuduhan menjadi anggota Jamaah islamiyah, sedangkan Fihiruddin Muqthie pada 30 Juni 2011 dengan alasan pernah mengikuti latihan militer di Afghanistan, membahayakan keamanan negara Malaysia, dan menyebarkan pembentukan negara Islam dalam ceramah keagamaannya (Hasani, 2012: 35)
Latar Belakang
Isu utama politik Internasional dan menjadi perhatian dunia sepanjang pada tahun 2015 adalah aksi kelompok Islamic State (IS) dan persoalan imigran dari negara-negara Timur Tengah ke kawasan Eropa serta teror mematikan pada 13 Nopember 2015 di Paris Perancis. Aksi teror bom bunuh diri di Paris tersebut disertai penembakan massal yang menewaskan 130 korban (SM, 17 Desember 2015). Aksi peledakan bom bunuh diri di Indonesia juga belum benar-benar berakhir ketika terjadi peristiwa bom bunuh diri tanggal 14 Januari 2016 di ibu kota, tepatnya di jalan Thamrin Jakarta. Kejadian tersebut merengggut beberapa korban jiwa dan korban luka. Para terduga pelaku bom Thamrin ditangkap pada tanggal 19-20 Pebruari di Desa Ngijo, Kec Karang Ploso, Kab Malang, Jawa Timur (Kompas, 21 Pebruari 2016). Pada saat hampir bersamaan, Kepolisian Resort Temanggung mengamankan 38 orang karena melakukan aktifitas “mencurigakan” seperti latihan militer di lereng gunung Sumbing serta di Desa Lhok Guci, Aceh Jaya, dua anggota kelompok illegal ditembak polisi. Berita-berita tersebut mewarnai media baik cetak maupun elektronik sepanjang awal tahun 2016. Al-Chaidar, dalam satu pernyataanya mengingatkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan makin meluasnya gerakan berbau teror dan radikal (Kompas, 21 Pebruari 2016).
Aksi kekerasan di Indonesia telah berlangsung sejak lama sejak peristiwa pertikaian berdarah Muslim – Kristen di Maluku (Indonesia Timur) tahun 1999, pengeboman gereja di 11 kota di seluruh Indonesia pada malam Natal Desember 2000, termasuk serangan bom Bali pada 12 Oktober 2002 di Sari Club dan aksi bom Jimbaran pada Oktober 2003[1] ditengarai terkait dengan kelompok Jamaah Islamiyah (Ricklefs, 2013: 445). JI didirikan oleh Ustadz Abdullah Sungkar di Malaysia pada tahun 1993 (Hasani, 2012: 40). Abdullah Sungkar mendirikan JI saat melarikan diri ke Malaysia bersama Abu Bakar Ba’asyir dan bersama keduanya ada Sunarto, A. Mubin Busthami, Fihiruddin Muqthie, dan Agung Riyadi[2]. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir bertemu dan bergabung melakukan dakwah dengan Abu Jibril di beberapa wilayah Malaysia (Hasani, 2012:35). Setelah Soeharto Lengser, Ustadz Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir kembali ke Indonesia namun tidak lama berselang Abdullah Sungkar wafat dan perjuangan diteruskan oleh Abu Bakar Ba’asyir. JI kemudian identik dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai pemegang otoritas tertinggi di Indonesia.
JI termasuk salah satu gerakan Islam di luar mainstream (nonmainstream) seperti NU, Muhammadiyah dan sejenisnya di Indonesia. JI pimpinan Abu Bakar Baasyir saat ini terpecah ke dalam 2 kelompok, yakni Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharus Syariah (JAS). JAT bergerak di bawah tanah dengan pucuk pimpinan masih Abu Bakar Ba’asyir, sedangkan JAS lebih bersikap terbuka dengan pimpinan Ustad Muhammad Ahwan dan
As’ad Said Ali membagi gerakan Islam nonmainstream ke dalam 2 kelompok, yakni kelompok non Salafi dan kelompok Salafi. Gerakan Islam yang termasuk dalam kelompok non Salafi adalah: Darul Arqam, Jama’ah Tabligh, Ihwanul Muslimin (IM), Isa Bugis, IJABI (Ikatan Jamaah Ahlu al-Bait Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), DI (Darul Islam), Hizbut Tahrir, dan lainya. Sedangkan kelompok Salafi yaitu MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, ditambah kelompok informal seperti Abdul Hakim Haddad, Yazid Jawz, Husein As-Sewed dan lainnya (Ali, 2012: 74)
Ideologi gerakan yang diusung kelompok Islam tersebut merujuk kepada pemikiran para ulama Timur Tengah, Mesir, Afghanistan, dan untuk kasus JI di Indonesia, dalam hal ini Abu Bakar Ba’asyir cenderung berkiblat pada pemikiran Kartosuwiryo. Berbeda dengan JI, kelompok Ikhwanul Muslimin berpegang pada pemikiran Hasan al-Bana dan Sayyid Quthub, HTI lebih condong kepada pemikiran Taqiyudin an-Nabhani, sedangkan Salafi awalnya merupakan gerakan yang dibawa oleh Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridlo dan dipopulerkan kembali oleh Nashiruddin al-Bani tahun 1890-an (Ali, 2012: 106). Gerakan pemurnian yang dibawa oleh Nashirudin al-Bani senada dengan gerakan pemurnian Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-13, yakni sama-sama memprihatinkan segala hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Hanya saja Al-Bani mendefinisikan kategori bid’ah menjadi lebih luas mencakup fenomena perkembangan modern termasuk hasil kemajuan tekhnologi, maupun perilaku serta paham pemikiran dengan semangat tekstualis yang dikatakannya sangat kuat sehingga menjadi lebih radikal (Ali, 2012:107).
Sumber radikalisme tersebut bersumber dari prinsip ketaatan yang ketat pada teks al-Qur’an, al-hadis shohih, dan hanya bertumpu pada praktik Islam murni yang dilaksanakan oleh para salafus shaleh, sehingga ketika terdapat fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada pada jaman salafus sholeh akan ditentang dan tidak ada kompromi termasuk demokrasi dan partai politik (Ali, 2012: 107)
Corak penafsiran tekstualis yang diterapkan oleh beberapa kelompok nonmainstream sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam banyak hal menimbulkan persoalan kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan demokrasi. Misalnya tentang konsep dar al-Islam atau din wa daulah, khilafah, dan takfiri serta jihad dipandang bertentangan dengan prinsip dasar negara Pancasila. Berdasarkan alasan tersebut, maka Balai Litbang Agama Semarang dengan ini memandang perlu melakukan penelitian mengenai Potensi Radikalisme dalam Literatur Kelompok Keagamaan Radikal. Penelitian ini dilaksanakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta dengan alasan ketiga wilayah tersebut disinyalir menjadi daerah kantong-kantong tumbuhnya kelompok radikal di Indonesia.
[1] Aksi teror bom lainnya terjadi di Hotel JW Mariot, 5 Agustus 2003 menewaskan 8 orang, dan bom Kedubes Australia pada September 2004 menewaskan 11 orang (Mubarak, 2008: 342)
[2] Ismail Hasani menjelaskan bahwa: Agung Riyadi ditangkap di Malaysia pada Januari 2002 atas tuduhan menjadi anggota Jamaah islamiyah, sedangkan Fihiruddin Muqthie pada 30 Juni 2011 dengan alasan pernah mengikuti latihan militer di Afghanistan, membahayakan keamanan negara Malaysia, dan menyebarkan pembentukan negara Islam dalam ceramah keagamaannya (Hasani, 2012: 35)