PEMETAAN KAPASITAS PESANTREN DI SULAWESI TENGAH

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 33x

Dilihat 326x

Editor: blamakassar

Abstrak:

...

Lampiran Tidak Tersedia

EXECUTIVE SUMMERY

PEMETAAN KAPASITAS PESANTREN

DI SULAWESI TENGAH

 

PENDAHULUAN

Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam tertua di Indonesia. Perannya menjadi sangat penting sebagai institusi yang mewakili pendidikan Islam di pedesaan. Arti pentingnya antara lain terletak pada sasaran perubahan tingkat akar rumput.

Aspek utama dalam pemetaan kapasitas pesantren adalah unsur pokok dalam pengelolaan pesantren, yaitu kiai/ustaz, santri/siswa, kitab/bahan ajar, masjid/mushallah/tempat ibadah. Pemenuhan unsur-unsur itu masih belum memadai di hampir semua pesantren, sehinggga aktualisasi diri pesantren melemah, berada di himpitan madrasah, sekolah umum, dan sekolah keterampilan. Kehadiran pesantren yang diharapkan mewarnai lembaga pendidikan lain, menjadi terbalik, justru pesantren yang diwarnai oleh pendidikan lain.

Penelitian pemetaan kapasitas pesantren yang telah dilakukan di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur, diorientasikan pada tiga aspek, yaitu: (1) Persebaran pesantren; (2) Kajian tentang pilar utama pesantren seperti kiai/ustaz, santri/siswa, kitab/bahan ajar, masjid/mushallah/tempat ibadah, pondok/asrama, termasuk sarana prasarana lainnya; dan (3) kegiatan pemberdayaan berkaitan dengan life skill dan kewirausahaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia adalah salah satu dari satuan pendidikan Islam yang dihadirkan untuk membina umat berbasis pedesaan, dalam perkembangannya belum mampu memberi akses pendidikan keagamaan terhadap sebagian besar umat Islam di pedesaan; (2) Lima unsur utama yang harus dimiliki oleh pesantern yakni, kiai, pengajiban kitab, santri, mushalla/masjid dan asrama, belum dipenuhi secara merata oleh pesantren, meskipun satuan pendidikan tersebut telah berlabel pesantren dan terdata pada Kementerian Agama setempat. Bahkan, pesantren yang umum diketahui bertipologi salafiyah, khalafiyah, dan kombinasi, berkembang dengan munculnya pesantren tahfiz; (3) pesantren sebagai lembaga mandiri dan menebarkan kemandirian pada komunitasnya berupa pemberdayaan keterampilan dan kewirausahaan, menunjukkan bahwa jenis kegiatan pemberdayaan yang dipilih tidak berkembang karena tidak didukung oleh potensi lingkungan dan lemahnya manajemen pengelolaan.

Dari hasil penelitian tersebut menginspirasi peneliti Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balai Litbang Agama Makassar untuk melakukan penelitian serupa di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada seluruh pesantren di 13 kabupaten/kota menyoroti permasalahan yang sama dengan mengembangkan amatan pada sumber-sumber pembiayaan di pesantren, juga memetakan jaringan pesantren. Dipilihnya Sulawesi Tengah sebagai lokus penelitian karena:

  • Salah satu dari wilayah kerja Balai Litbang Agama Makassar yang memiliki populasi pesantren yang banyak.
  • Terdapat sebuah perguruan Islam yang memiliki jaringan yang luas di wilayah Timur Indonesia bernama Al-Khairaat.
  • Ada pergolakan radikal yang mengatasnamakan Islam.

Pengumpulan data menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan atau menjelaskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi, yakni kondisi riil pesantren dan jaringannya dipetakan baik secara substantive maupun kewilayahan. Menggunakan teknik: Mengedarkan daftar pertanyaan untuk diisi oleh penyelenggara pesantren menggunakan angket; Melakukan wawacara terhadap sumber-sumber pendapat di pesantren untuk mendalami sejumlah data penelitian, menggunakan pedoman wawancara; Melakukan observasi terhadap sejumlah objek penelitian di pesantren menggunakan pedoman observasi; Melakukan studi dokumentasi dengan menelisik data yang terdokumentasikan baik teks maupun non teks menggunakan daftar cek list.

Pengolahan dan analisis data dilakukan dalam empat proses yaitu: Input Data. Tahapan ini adalah mengimput data yang telah diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara ke lembaran daftar input data atau langsung pada aplikasi komputer. Khusus data kuantifikasi dikategori secara kuantitatif untuk menyesuaikan pola penerapan analisis GIS. Tipe data ini perlu dimanipulasi agar sesuai dengan sistem yang dipergunakan; Manajemen Data. Data diolah dan dikelompokkan berdasarkan komponen obyek penelitian. Data-data yang dimaksud adalah data spesial berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Sementara data non-spesial juga dimanaj berdasarkan kategori yang telah ditentukan; Query. Query adalah proses analisis yang dilakukan secara tabular, disajikan dalam bentuk frekuensi dan persentasi untuk memperoleh nominal data berdasarkan kategori terutama hasil isian angket/form isian. Kemudian data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, dideskripsikan secara reflektif.

Analisis data. Data yang bersifat kuantitatif yang telah ditabulasi diinterpretasi dengan mengaitkan data kualitatif lainnya dan menganalisisnya secara deskriptif kualitatif.

TEMUAN

  1. Akses pendidikan keagamaan ke lapisan masyarakat pedesaan yang diperankan oleh pesantren, baru mampu menjangkau sebagian kecil wilayah persebaran masyarakat Islam pedesaan di Sulteng. Missi tafaqquh fi al din dan program kemandirian dalam rangka perluasan akses pendidikan keagamaan menjadi tumpul karena bersenggolan dengan penataan yang regulatif, sehingga beberapa pesantren tereleminir yang berkontribusi pada penurunan jumlah pesantren dalam kurun 8 tahun terakhir. Karena itu, diperlukan kebijakan yang solutif dari Kementerian Agama (Kemenag) sehingga pesantren dapat menjangkau wilayah persebaran umat Islam secara luas.
  2. Pengajian kitab kuning yang menjadi solusi akademik pembibitan dan peningkatan kompetensi kiai, tidak menjadi pilihan kebanyakan pesantren di Sulteng, sehingga kiai pesantren tetap menjadi species yang langka. Beberapa pesantren melakukan penggiatan dengan memilih salafiyah sebagai jalur kiprahnya untuk memenuhi kebutuhan jaringannya secara minimal. Kontribusinya meminimalisir kelangkaan kiai belum terasa. Karena itu, diperlukan wadah lintas pesantren sebagai forum komunkasi untuk merumuskan program dan solusi permasalahan yang dihadapi pesantren. Implikasinya dapat meredam execlusivisme keagamaan dan ego sektoral.
  3. Ketersediaan kitab kuning di pesantren, umumnya pengadaannya secara swadaya, semakin menguras persediaan modal pesantren yang sudah minimalis. Kitab yang disodorkan pada pesantren untuk dijadikan pedoman utama, justru hanya menjadi suplemen ditunjukkan oleh minimnya pesantren yang mengakomodirnya sebagai buku utama. Distribusinya ke pesantren semestinya diutamakan, seperti halnya pendistribusian buku-buku pelajaran pada madrasah dan sekolah umum karena pesantren juga adalah satuan pendidikan nasional.
  4. Ketersediaan sarana pada pesantren, masih banyak yang belum memenuhi standar kenyamanan, keamanan, dan kesehatan terutama asrama masih banyak yang darurat. Perbaikannya, diperlukan gerakan cepat karena menyangkut keselamatan jiwa santri. Penanganannya perlu ada gerakan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan pesantren.
  5. Penanaman nilai nasionalisme dan kebangsaan di pesantren, belum diimplementasikan secara merata oleh pesantren. Karena itu, diperlukan trobosan oleh Kemenag selaku Pembina pesantren agar Nampak partisipasi pesantren dalam merealisasikannya.
  6. Kegiatan pemberdayaan di pesantren, belum diterjemahkan oleh kebanyakan pesantren ke dalam aksi yang berdimensi ekonomi untuk kemandirian karena minimnya kemampuan pengelola pesantren. Karena itu diperlukan penguatan dengan menggandengkannya dengan pihak-pihak terkait. Kementerian Agama setempat dapat memfasilitasi jaringannya dan Litbang Agama dalam pengembangan wawasan pengelolanya.

 

REKOMENDASI

  1. Agar Kemenag bersama pemerintah daerah dan majelis ulama menyusun program bersama “satu kecamatan satu pesantren” melalui gerakan “pesantren membangun desa” sebagai implementasi dari perluasan akses pendidikan keagamaan.
  2. Kemenag bersama pimpinan pesantren agar: (1) membentuk “forum pesantren” di bawah koordinasi Kemenag, (2) Mengembangkan “rumah baca kitab” berbasis kelurahan, di bawah koordinasi forum pesantren, Kemenag, dan pemda setempat.
  3. Agar Kemenag.
  • Meninjau ulang daftar kitab yang direkomendasikan ke pesantren.
  • Melakukan distribusi massif kitab kuning ke pesantren dengan “memproyekkan” pengadaan kitab kuning di pesantren.
  1. Agar Kemenag bersama pemda membuat gerakan “bedah asrama santri” dengan melibatkan pengusaha dan para dermawan untuk berpartisipasi.
  2. Agar Kemenag di setiap even pesantren, menghadirkan suatu kegiatan yang berisikan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air. Selain itu, di setiap acara supervise dan monitoring ke pesantren memuat pesan dan amatan tentang simbol-simbol kebangsaan.
  3. Agar Kemenag setempat bekerja sama dinas terkait untuk penanganan dan pendampingan. Sementara Balai Litbang Agama dapat menyusun kegiatan pengembangan pemberdayaan pesantren di Sulawesi Tengah.

...

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia