RADIKALISME KELOMPOK KEAGAMAAN DALAM KONSTELASI KEBANGSAAN (TINJAUAN) PENDIDIKAN DI JAWA TENGAH, JAWA TIMUR DAN D.I. YOGYAKARTA

Ketua Penelitian : H. Wahab

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota: Ali KhudrinMukhtaruddinDrs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd.Siti Muawanah, S.Pd.I., M.A.Umi Muzayanah, S.Si., M.Pd.Hj. YusriatiHj. Yustiani

Publisher: BLA-Semarang

Diunduh: 59x

Dilihat 777x

Editor: blasemarang

Abstrak:

1.1.       Latar Belakang

Munculnya beberapa varian aliran keagamaan yang cenderung beraliran “kiri” (keras) di Indonesia pada 3 dekade terakhir telah memunculkan kekhawatiran tentang kedaulatan Negara Kesatuan republic Indonesia. Terlebih lagi setelah dihapusnya P4 (Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam dunia pendidikan dan dibukanya pintu kebebasan berpendapat akibat reformasi seakan-akan menimbulkan euphoria dan kesempatan kepada organisasi-organisasi yang dahulu mendapat tekanan dari pemerintah untuk menunjukan eksistensinya di Indonesia. Bahkan tak jarang paham-paham ajaran yang berasal dari luar Indonesia masuk dengan leluasa tanpa menyesuaikan diri dengan kondisi Indonesia.

Dalam agama Kristen saja misalnya, munculnya denominasi-denominasi gereja yang semakin bertambah banyak dari waktu ke waktu. Denominasi sendiri dapat dilihat dalam dua pengertian yakni dalam pengertian Kristen secara umum sebagai suatu kelompok (gereja) dalam kekristenan yang diidentifikasikan di bawah satu nama, struktur dan ajaran atau doktrin. Sedang dalam pengertian secara khusus sebagai hasil dari kejatuhan iman, yang ditilik dari sudut pandang Alkitab sebagai suatu perpecahan (Profil Gereja 2016). Penyebab munculnya beraneka-ragam denominasi gereja yang ada dalam kekristenan antara lain mulai dari besarnya wilayah pelayanan kekristenan, adanya pengaruh dari berbagai jenis filsafat duniawi, kurang tegas dan ketatnya pengajaran tentang Kristen hingga berbagai jenis motifasi individu yang muncul dalam pelayanan penginjilan. dIndonesia sendiri terdapat lebih dari 100 denominasi geraja yang terdaftar baik yang beraliran keras maupun lunak.

Perkembangan Islam di Indonesia sendiri kehidupan social kemasyarakatan Indonesia mengalami perkembangan yang sangat fantastis. Kehidupan social masyarakt Indonesia ada yyang tergabung dalam ormas islam, namun ada juga yang tidak tergabung dalam ormas islam.

Dimulai dengan terbentuknya Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad, Masyumi, Nahdlotul Ulama, Persis, dan lain sebagainya. Pada pasca kemerdekaan dan pasca reformasi organisasi-organisasi dan aliran keagamaan Islam berkembang dengan pesat. Bahkan tak jarang oraganisasi-orgnaisasi tersebut ada yang beraliran “Kiri” (Keras/bertentangan dengan pemerintah) namun ada juga yang bertindak sebagai pengontrol pemerintah. Al Washliyah, Al-Irsyad, Al-Jam'iyatul Washliyah, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Dewan Keluarga Masjid, Dewan Masjid Indonesia, Front Pembela Islam, Front Umat Islam, Hidayatullah (organisasi), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, INSISTS, Jamaah Ansharusy Syariah, jamaah Ansharut Tauhid, Jamiat Kheir, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Laskar Umat Islam, Majelis Islam A'la Indonesia, Majelis Tafsir Al Quran, Muhammadiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Muslim Information Technology Association, Nahdlatul 'Ulama, Nahdlatul Wathan, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Persatuan Islam, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Umat Islam, Rabithah Alawiyah, Remaja Masjid, Rohani Islam, Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Munculnya fenomena gerakan keagamaan dengan berbagai varian atau tipologinya, termasuk di dalamnya muncul kelompok-kelompok keagamaan yang diduga mempunyai pemikiran dan gerakan radikal. Radikalisme keagamaan tersebut di antaranya terlihat dari adanya beberapa kasus kekerasan atas nama agama dan atau penyerangan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu oleh kelompok agama lainnya. Misalnya, pada tahun 2011 telah terjadi penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Jawa Barat. Penyerangan awalnya dilakukan oleh puluhan orang ke rumah salah satu pendakwah Jemaat Ahmadiyah, namun kemudian sekitar 1400 orang berdatangan secara bertahap ikut serta dalam aksi menghujat ajaran Ahmadiyah dan diikuti dengan pelemparan batu. Kejadian ini kemudian berubah menjadi kerusuhan massa dan mengakibatkan tiga orang meninggal dunia (Bagir dkk, 2012: 62; Tempo, 2011).

Penyerangan terhadap kelompok agama tertentu juga terjadi di Pasuruan Jawa Timur. Pondok pesantren Al-Ma’hadul Islam yang beraliran Syiah diserang oleh kelompok Aswaja (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang beraliran Sunni. Peristiwa ini telah mengakibatkan beberapa santri pesantren tersebut mengalami luka-luka dan beberapa properti milik pesantren rusak (Bagir dkk, 2012: 63-64). Pada tahun 2011 kekerasan berbasis persoalan agama juga terjadi di Temanggung. Peristiwa ini berawal dari penyebaran buku buku yang dianggap menistakan agama Islam ke rumah-rumah warga oleh salah seorang warga beragama Kristen. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polsek dengan aduan penistaan terhadap agama Islam dan telah di persidangkan di Pengadilan Negri Temanggung. Setelah pembacaan putusan perkara selesai, massa pengunjung yang tidak puas dengan hasil putusan tersebut bergerak menuju pusat kota dan menyerang properti milik lembaga Kristen dan Katolik, di antaranya massa merusak beberapa mobil milik geraja dan jemaatnya di GDPI, membakar beberapa motor di komplek Shekinah Christian School, massa merusak beberapa motor dan fasilitas gereja di GDPI Tego Wano, serta massa merusak properti milik gereja Katolik Santo Paulus (Kompas, 2011; Bagir dkk, 2012: 63).

Selain beberapa contoh kasus tersebut di atas, Indonesia juga telah mengalami rangkaian aksi terorisme. Dari tahun 1997 sampai 2002 terdapat 99 pengeboman dan menewaskan ratusan orang (Pusponegoro, 2004: 100). Tahun 2002 bom meledak di Paddy’s bar dan Sari night club di Bali dan menewaskan 202 orang (Ramakrishna dan Seng Tan, 2003: 1). Setahun berikutnya bom meledak di hotel JW.Mariot Jakarta, menewaskan 11 orang dan 150 orang terluka (Ramakrishna and Seng Tan, 2003: 1; Pusponegoro, 2004: 100). Aksi teror bom ini terus berlanjut ke tahun tahun berikutnya, pada 2004 bom meledak di kedutaan Australia di Jakarta, tahun 2005 bom Bali kedua terjadi. Tahun 2009 bom meledak di hotel JW.Marriot dan Rits Carlton di kawasan Mega kuningan Jakarta. Tahun 2011 bom meledak di masjid Mapolresta Cirebon dan di gereja Kepuntoh Solo (Kompas, 2010: 1; Vivanews, 2011).

Rangkaian aksi peledakan bom tersebut di tengarai mempunyai kaitan dengan gerakan militan Islam seperti Majlis Mujahidin Indonesia dan Jemaah Islamiyah (Barton, 2004: 78-79; Singh, 2003; Jones, 2005: 3; Sukma, 2003: 341; Fealy, 2005: 25). Hal ini dapat diketahui dari beberapa laporan yang menyebutkan bahwa Jemaah Islamiyah (JI) bertanggung jawab terhadap beberapa peledakan bom tersebut (Crouch, 2005: 44; Singh, 2003: 37; Kingsbury and Fernandes, 2005: 18). Selain itu, dari beberapa pelaku pengeboman dan terduga teroris yang sudah tertangkap maupun telah dieksekusi mati diketahui bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok Islam radikal, misalnya beberapa pelaku bom Bali I adalah anggota JI. Selain itu, Majlis Mujahidin Indonesia dibentuk diantaranya berperan sebagai sayap politik dari JI  (Feillard dan Madinier, 2011: 124).

Keterkaitan antara pelaku teror tersebut dengan kelompok keagamaan dan adanya rangkaian aksi kekerasan atas nama agama merupakan salah satu indikasi adanya gerakan radikal keagamaan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamil (2006) setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998 fundamentalisme Islam di Indonesia  semakin menguat. Kelompok ini memmpunyai karakter sebagai berikut; menafsirkan teks-teks agama secara tekstual dan kaku, menyatakan dirinya atau kelompoknya yang mempunyai otoritas sah dalam masalah agama dan menganggap kelompok lainnya sesat, memiliki pendapat bahwa negara Barat merupakan ancaman terhadap ideologi dan keberadaan mereka, melawan paham sekuler, mempunyai kecenderungan radikal dalam mempertahankan dan memperjuangkan ajaran dan ideologi mereka. Selain itu, munculnya gerakan fundamentalisme tersebut sebagai respon terhadap dominasi Barat dan gagalnya negara dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat (Kamil, 2006 seperti dikutip oleh Mufid, 2010b: 15)

Beberapa kelompok keagamaan di Indonesia yang diduga mempunyai kecenderungan fundamentalis dan atau radikal tersebut masih terus mengembangkan ajaran dan ideologinya melalui berbagai media dan cara; misalnya (a) melalui penerbitan bahan bacaan seperti buku dan buletin, (b) melalui penyelenggaraan pendidikan baik formal dan non formal seperti melalui pendidikan di pesantren dan sekolah-sekolah, serta transmisi ajaran melalui forum-forum  pengajian, diskusi-diskusi seperti daurah dan liqa, (c) membangun jaringan dan mengembangkan gerakan di berbagai daerah.

Fenomena yang selalu dikaitkan dengan isu agama tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini karena aksi intoleransi dan kekerasan merupakan tindakan dapat mengganggu keamanan dan keutuhan bangsa. Oleh karena itu Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Kemeterian Agama Semarang menyelenggarakan penelitian tentang “Kelompok-Kelompok Keagamaan dalam Konstelasi Kebangsaan di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur”. Penelitian ini merupakan penelitian kolaboratif yang melihat permasalahan dari tiga aspek; yakni aspek kehidupan keagamaan, pendidikan agama dan keagamaan dan lektur keagamaan. 

Akan tetapi, laporan ini hanya merupakan bagian dari penelitian kolaboratif tersebut, yakni laporan yang menitikberatkan pada uarian tentang transmisi ajaran keagamaan. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan bagian penelitian yang megurai kelompok keagamaan dengan perspektif pendidikan agama dan keagamaan, bukan kehidupan beragama maupun lektur dan khazanah keagamaan.

1.1.       Latar Belakang

Munculnya beberapa varian aliran keagamaan yang cenderung beraliran “kiri” (keras) di Indonesia pada 3 dekade terakhir telah memunculkan kekhawatiran tentang kedaulatan Negara Kesatuan republic Indonesia. Terlebih lagi setelah dihapusnya P4 (Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dalam dunia pendidikan dan dibukanya pintu kebebasan berpendapat akibat reformasi seakan-akan menimbulkan euphoria dan kesempatan kepada organisasi-organisasi yang dahulu mendapat tekanan dari pemerintah untuk menunjukan eksistensinya di Indonesia. Bahkan tak jarang paham-paham ajaran yang berasal dari luar Indonesia masuk dengan leluasa tanpa menyesuaikan diri dengan kondisi Indonesia.

Dalam agama Kristen saja misalnya, munculnya denominasi-denominasi gereja yang semakin bertambah banyak dari waktu ke waktu. Denominasi sendiri dapat dilihat dalam dua pengertian yakni dalam pengertian Kristen secara umum sebagai suatu kelompok (gereja) dalam kekristenan yang diidentifikasikan di bawah satu nama, struktur dan ajaran atau doktrin. Sedang dalam pengertian secara khusus sebagai hasil dari kejatuhan iman, yang ditilik dari sudut pandang Alkitab sebagai suatu perpecahan (Profil Gereja 2016). Penyebab munculnya beraneka-ragam denominasi gereja yang ada dalam kekristenan antara lain mulai dari besarnya wilayah pelayanan kekristenan, adanya pengaruh dari berbagai jenis filsafat duniawi, kurang tegas dan ketatnya pengajaran tentang Kristen hingga berbagai jenis motifasi individu yang muncul dalam pelayanan penginjilan. dIndonesia sendiri terdapat lebih dari 100 denominasi geraja yang terdaftar baik yang beraliran keras maupun lunak.

Perkembangan Islam di Indonesia sendiri kehidupan social kemasyarakatan Indonesia mengalami perkembangan yang sangat fantastis. Kehidupan social masyarakt Indonesia ada yyang tergabung dalam ormas islam, namun ada juga yang tidak tergabung dalam ormas islam.

Dimulai dengan terbentuknya Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad, Masyumi, Nahdlotul Ulama, Persis, dan lain sebagainya. Pada pasca kemerdekaan dan pasca reformasi organisasi-organisasi dan aliran keagamaan Islam berkembang dengan pesat. Bahkan tak jarang oraganisasi-orgnaisasi tersebut ada yang beraliran “Kiri” (Keras/bertentangan dengan pemerintah) namun ada juga yang bertindak sebagai pengontrol pemerintah. Al Washliyah, Al-Irsyad, Al-Jam'iyatul Washliyah, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Dewan Keluarga Masjid, Dewan Masjid Indonesia, Front Pembela Islam, Front Umat Islam, Hidayatullah (organisasi), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, INSISTS, Jamaah Ansharusy Syariah, jamaah Ansharut Tauhid, Jamiat Kheir, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Laskar Umat Islam, Majelis Islam A'la Indonesia, Majelis Tafsir Al Quran, Muhammadiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Muslim Information Technology Association, Nahdlatul 'Ulama, Nahdlatul Wathan, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Persatuan Islam, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Umat Islam, Rabithah Alawiyah, Remaja Masjid, Rohani Islam, Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Munculnya fenomena gerakan keagamaan dengan berbagai varian atau tipologinya, termasuk di dalamnya muncul kelompok-kelompok keagamaan yang diduga mempunyai pemikiran dan gerakan radikal. Radikalisme keagamaan tersebut di antaranya terlihat dari adanya beberapa kasus kekerasan atas nama agama dan atau penyerangan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu oleh kelompok agama lainnya. Misalnya, pada tahun 2011 telah terjadi penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Jawa Barat. Penyerangan awalnya dilakukan oleh puluhan orang ke rumah salah satu pendakwah Jemaat Ahmadiyah, namun kemudian sekitar 1400 orang berdatangan secara bertahap ikut serta dalam aksi menghujat ajaran Ahmadiyah dan diikuti dengan pelemparan batu. Kejadian ini kemudian berubah menjadi kerusuhan massa dan mengakibatkan tiga orang meninggal dunia (Bagir dkk, 2012: 62; Tempo, 2011).

Penyerangan terhadap kelompok agama tertentu juga terjadi di Pasuruan Jawa Timur. Pondok pesantren Al-Ma’hadul Islam yang beraliran Syiah diserang oleh kelompok Aswaja (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang beraliran Sunni. Peristiwa ini telah mengakibatkan beberapa santri pesantren tersebut mengalami luka-luka dan beberapa properti milik pesantren rusak (Bagir dkk, 2012: 63-64). Pada tahun 2011 kekerasan berbasis persoalan agama juga terjadi di Temanggung. Peristiwa ini berawal dari penyebaran buku buku yang dianggap menistakan agama Islam ke rumah-rumah warga oleh salah seorang warga beragama Kristen. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Polsek dengan aduan penistaan terhadap agama Islam dan telah di persidangkan di Pengadilan Negri Temanggung. Setelah pembacaan putusan perkara selesai, massa pengunjung yang tidak puas dengan hasil putusan tersebut bergerak menuju pusat kota dan menyerang properti milik lembaga Kristen dan Katolik, di antaranya massa merusak beberapa mobil milik geraja dan jemaatnya di GDPI, membakar beberapa motor di komplek Shekinah Christian School, massa merusak beberapa motor dan fasilitas gereja di GDPI Tego Wano, serta massa merusak properti milik gereja Katolik Santo Paulus (Kompas, 2011; Bagir dkk, 2012: 63).

Selain beberapa contoh kasus tersebut di atas, Indonesia juga telah mengalami rangkaian aksi terorisme. Dari tahun 1997 sampai 2002 terdapat 99 pengeboman dan menewaskan ratusan orang (Pusponegoro, 2004: 100). Tahun 2002 bom meledak di Paddy’s bar dan Sari night club di Bali dan menewaskan 202 orang (Ramakrishna dan Seng Tan, 2003: 1). Setahun berikutnya bom meledak di hotel JW.Mariot Jakarta, menewaskan 11 orang dan 150 orang terluka (Ramakrishna and Seng Tan, 2003: 1; Pusponegoro, 2004: 100). Aksi teror bom ini terus berlanjut ke tahun tahun berikutnya, pada 2004 bom meledak di kedutaan Australia di Jakarta, tahun 2005 bom Bali kedua terjadi. Tahun 2009 bom meledak di hotel JW.Marriot dan Rits Carlton di kawasan Mega kuningan Jakarta. Tahun 2011 bom meledak di masjid Mapolresta Cirebon dan di gereja Kepuntoh Solo (Kompas, 2010: 1; Vivanews, 2011).

Rangkaian aksi peledakan bom tersebut di tengarai mempunyai kaitan dengan gerakan militan Islam seperti Majlis Mujahidin Indonesia dan Jemaah Islamiyah (Barton, 2004: 78-79; Singh, 2003; Jones, 2005: 3; Sukma, 2003: 341; Fealy, 2005: 25). Hal ini dapat diketahui dari beberapa laporan yang menyebutkan bahwa Jemaah Islamiyah (JI) bertanggung jawab terhadap beberapa peledakan bom tersebut (Crouch, 2005: 44; Singh, 2003: 37; Kingsbury and Fernandes, 2005: 18). Selain itu, dari beberapa pelaku pengeboman dan terduga teroris yang sudah tertangkap maupun telah dieksekusi mati diketahui bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok Islam radikal, misalnya beberapa pelaku bom Bali I adalah anggota JI. Selain itu, Majlis Mujahidin Indonesia dibentuk diantaranya berperan sebagai sayap politik dari JI  (Feillard dan Madinier, 2011: 124).

Keterkaitan antara pelaku teror tersebut dengan kelompok keagamaan dan adanya rangkaian aksi kekerasan atas nama agama merupakan salah satu indikasi adanya gerakan radikal keagamaan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamil (2006) setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998 fundamentalisme Islam di Indonesia  semakin menguat. Kelompok ini memmpunyai karakter sebagai berikut; menafsirkan teks-teks agama secara tekstual dan kaku, menyatakan dirinya atau kelompoknya yang mempunyai otoritas sah dalam masalah agama dan menganggap kelompok lainnya sesat, memiliki pendapat bahwa negara Barat merupakan ancaman terhadap ideologi dan keberadaan mereka, melawan paham sekuler, mempunyai kecenderungan radikal dalam mempertahankan dan memperjuangkan ajaran dan ideologi mereka. Selain itu, munculnya gerakan fundamentalisme tersebut sebagai respon terhadap dominasi Barat dan gagalnya negara dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat (Kamil, 2006 seperti dikutip oleh Mufid, 2010b: 15)

Beberapa kelompok keagamaan di Indonesia yang diduga mempunyai kecenderungan fundamentalis dan atau radikal tersebut masih terus mengembangkan ajaran dan ideologinya melalui berbagai media dan cara; misalnya (a) melalui penerbitan bahan bacaan seperti buku dan buletin, (b) melalui penyelenggaraan pendidikan baik formal dan non formal seperti melalui pendidikan di pesantren dan sekolah-sekolah, serta transmisi ajaran melalui forum-forum  pengajian, diskusi-diskusi seperti daurah dan liqa, (c) membangun jaringan dan mengembangkan gerakan di berbagai daerah.

Fenomena yang selalu dikaitkan dengan isu agama tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini karena aksi intoleransi dan kekerasan merupakan tindakan dapat mengganggu keamanan dan keutuhan bangsa. Oleh karena itu Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Kemeterian Agama Semarang menyelenggarakan penelitian tentang “Kelompok-Kelompok Keagamaan dalam Konstelasi Kebangsaan di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur”. Penelitian ini merupakan penelitian kolaboratif yang melihat permasalahan dari tiga aspek; yakni aspek kehidupan keagamaan, pendidikan agama dan keagamaan dan lektur keagamaan. 

Akan tetapi, laporan ini hanya merupakan bagian dari penelitian kolaboratif tersebut, yakni laporan yang menitikberatkan pada uarian tentang transmisi ajaran keagamaan. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan bagian penelitian yang megurai kelompok keagamaan dengan perspektif pendidikan agama dan keagamaan, bukan kehidupan beragama maupun lektur dan khazanah keagamaan.

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia