Ketua Penelitian : Ali Khudrin
Kategori: Bahan Kebijakan
Anggota: MukhtaruddinDrs. Mulyani Mudis Taruna, M.Pd.Siti Muawanah, S.Pd.I., M.A.Umi Muzayanah, S.Si., M.Pd.H. WahabHj. YusriatiHj. Yustiani
Publisher: BLA-Semarang
Diunduh: 62x
Dilihat 809x
Editor: blasemarang
Abstrak:
1.1. Latar Belakang Masalah
Diakui atau tidak, Indonesia adalah sebuah negara multikultural terbesar di dunia (Kusumohadidjojo, 2000:45). Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Tercatat lebih dari 300 kelompok etnik besar seperti Jawa, Bugis, Makassar, Melayu dan lain sebagainya maupun kecil seperti dayak, Sunda dan lain sebagainya dengan budaya dan adat kebiasaan berbeda-beda di negara Indonesia. Etnis besar dan kecil tersebut menghuni sekitar 13.000 pulau baik besar dan kecil. Selain itu juga bangsa Indonesia menganut agama yang beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan lain (Yakin, 2005:3). Mereka harus dilindungi hak-haknya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia pada satu sisi dapat menjadi potensi integrasi tetapi disisi lain dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Dalam bahasa psikologi sosial, etnik-etnik yang terpisah secara geografis dan sosial budaya yang berbeda, mempunyai dan mengembangkan pengalaman psikologis masing-masing, yang pada gilirannya menghasilkan identitas etnik masing-masing juga. Keterikatan pada identitas etnik akan menimbulkan saling prasangka antaretnik yang bisa menghambat proses akulturasi bangsa (Sarwono, 2007:31). Kerusuhan yang disebabkan permasalahan agama, perang antar kampung, tawuran pelajar maupun perlakuan diskriminatif yang masih sering terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan benih-benih disintegrasi bangsa.
Marcia, sebagaimana dikutip Jari-Erik Nurmi dalam Lerner (Lerner, ed.2004: 109), pembentukan identitas etnis berdasarkan proses eksplorasi dan komitmen yang diterapkan pada nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan dalam berbagai kehidupan yang utama. Dari proses tersebut, menurut Marcia akan dihasilkan empat status identitas etnik sebagai berikut: (a) gerakan Identitas (Identify Achievement), menunjuk pada individu yang mengalami proses eksplorasi dan berbagai aftematif yang ada dengan baik, b) penundaan (moratorium), menunjuk pada individu yang telah mengalami proses eksplorasi akut namun belum sampai pada komitmen, bila tampak memiliki komitmen, komitmen tersebut belum jelas. (c) penutupan (foreclosure), menunjuk pada individu yang tidak pernah mengalami proses eksplorasi, tetapi memiliki komitmen. Komitmen ini diperoleh bukan melalui proses pencarian atau eksplorasi akan tetapi diperoleh dari orangtua atau orang lain, d) difusi Identitas (identity diffusion), menujuk pada individu tidak pernah atau belum mengalami proses eksplorasi identitas, sehingga tidak pernah membuat suatu komitmen. Adapun status identitas etnik seseorang, di dalam relasi sosial khususnya relasi etnis akan mempengaruhi bagaimana orang lain merespon individu. Ada dua aspek yang mungkin berlangsung dalam relasi sosial, khususnya relasi etnik, yaitu aspek yang menyenangkan (pleasant aspect) seperti daya tarik (attraction), keintiman (altruisme) dan aspek yang tidak menyenangkan (unpleasant aspect) seperti prasangka (prejudice) dan agresi (agression) (Myers, 1996; 387; Betty, dkk, 1992; 299).
Dari kerangka model relasi tersebut, pada saat individu atau kelompok memandang individu atau kelompok lain pasti akan timbul kognisi tentang persamaan dan perbedaan di antara mereka. Dalam studi lintas budaya, perbedaan biasanya dipandang sebagai kekurangan (differences lead to their being viewed as deficiencies) atau dengan bahasa lain disebut sebagai etnosentrisme (Berry, dkk, 1992: 8; Segaill, dkk, 1990: 316).
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekpresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Bennet dan Janet (1996) mengungkapkan bahwa prasangka memiliki potensi dalam mengkambinghitamkan orang lain melalui stereotip, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial.
Suku, budaya, primodialisme agama, stereotip etnik menjadi potensi konflik yang besar jika tidak dikelola dengan baik. Sikap primordial yang berlebihan yang kemudian lazim disebut etnosentris sering menimbulkan konflik berkepanjangan. Hal ini dikarenakan setiap anggota masyarakat mayoritas akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat terjadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi. Sikap etonosentris dalam masyarakat majemuk sering diikuti oleh stereotip etnik yaitu pandangan umum suatu kelompok etnis yang menganggap kelompoknya lebih baik daripada etnis lain (Horton & Hunt: 1984:65).
Beberapa contoh bentuk disintegratif akibat primodialisme, stereotip etnik sebagai akibat etnosentrisme antara lain konflik Dayak dan Madura di Kalimantan (Republika February 2001), Konflik Jawa dan Aceh tahun 1975-2005 (Kompasiana 2014), konflik Papua, serta konflik Lampung yang melibatkan suku Bali dan Suku Lampung (Kompas Oktober 2012) dan lain sebagainya. Konflik-konflik merupakan bentuk kurang terbinanya multikultural di Indonesia.
Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, konflik-konflik antaraetnik dapat diatasi dengan kekuatan militer yang selalu melakukan tindakan represif terhadap benih-benih perpecahan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Namun setelah dibukanya pintu demokrasi pada era kepemimpinan Presiden Habibie tindakan represif oleh militer tidak lagi sesuai untuk mengatasi konflik antar etnis (Wibowo, 2015:8).
Gelombang demokrasi yang semakin terbuka berdampak pada tuntutan masyarakat atas penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) serta eksistensi kelompok masyarakat mengandung bahaya perpecahan suatu negara. Hal ini telah diramalkan oleh Samuel P. Huntington dalam the Clash of Civilization sebagaimana dikutip Mahfud (2006:viii) potensi disintegrasi dapat disebabkan oleh kebebasan berdemokrasi, yang mengarah pada tuntutan persamaan hak berpolitik, social, budaya, ekonomi, kesukuan, bahkan agama.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institut (2007) menyebutkan saat ini toleransi masyarakat di Indonesia sudah pada taraf “lampu kuning”. Artinya, memerlukan perhatian sangat serius serta program-program lebih terarah untuk bisa segera menyelamatkan, sebelum nantinya jatuh ke dalam situasi yang semakin buruk. Ini tanggung jawab kita bersama dalam berbangsa. Sebab, kalau sampai muncul konflik antarmasyarakat, maka 36,3 persen kesalahan akan ditimpakan kepada tokoh agama, kemudian 35,6 persen kepada pemerintah, 7,4 persen kepada presiden, dan 6 persen kepada polisi (Qadari dalam Wahid Institut, Juni 2007).
Lembaga pendidikan sebenarnya merupakan wadah yang strategis dan potensial untuk mengenalkan multikuluralisme di Indonesia. Hal ini dikarenakan sekolah menyediakan ruang bagi penanaman dan pengimplementasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer knowledge tetapi juga transfer of value.Transfer of value dimaksudkan untuk pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (Kiftiah, 2011), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Sekolah merupakan lembaga yang tepat dalam membumikan pendidikan multikultural ditengah-tengah kekhawatiran akan bahaya disintegrasi bangsa. Dalam pendidikan multikultural yang diselenggarakan disekolah, seluruh elemen sekolah memiliki peran yang cukup sentral. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada peserta didik. Selain guru, kepala sekolah juga mempunyai peranan yang cukup vital dalam pendidikan multikultural dimana kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya dapat menuntun ke dalam suatu kondisi yang sangat menuntut pemahaman kepada perbedaan dan keragaman yang ada. Melalui pendidikan multikultural disekolah, subjek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996).
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah terkecil di Indonesia yang memiliki luas 3.185,80 km2 dengan 5 Kabupaten/ Kota, dan merupkan terkecil kedua setelah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang memiliki luas 740,29 km2. Meskipun kecil namun DIY merupakan miniatur Indonesia, bermacam suku bangsa Indonesia dengan perbedaannya tinggal di wilayah tersebut. DIY memiliki lebih kuranag 120 perguruan tinggi baik negeri, swasta setingkat Universitas sampai dengan akademi sehingga daerah ini disebut juga dengan Kota Pelajar. Banyak Pelajar dari luar Jawa menimba ilmu di DIY mulai tingkat SMA sampai dengan perguruan Tinggi.
Pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di DIY pada umumnya tergabung dalam organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Ikatan Pelajar Papua, Ikatan Pelajar Bugis, Ikatan Pelajar Makassar, Ikatan Pelajar Riau, Ikatan Pelajar Batak, Minangkabau dan lain sebagainya. Bahakan pelajar dari Jawa sendiri juga bergabung dalam ikatan pelajar yang berbau kedaerahan seperti, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Tegal, Serulingmas, Madura, dan lain sebagainya.
Kondisi multikultural sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas jika tidak dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan potensi konflik berupa intoleransi terhadap keragaman yang ada. Berangkat dari latar belakang di atas, penelitian ini hendak mengkaji sejauhmana persepsi peserta didik terhadap implementasi pendidikan multikultural di Sekolah lanjutan Tingkat Atas.
Persepsi peserta didik terhadap implementasi pendidikan multikultural di sekolah pada akhirnya akan memunculkan kecerdasan psikomotorik yaitu sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku tersebut dapat berupa sikap toleransi dan intoleransi sebagai akibat multikulturalisme. Pendidikan multikultural di berupa hidden kurikulum yaitu menempel pada seluruh mata pelajaran di sekolah.
1.1. Latar Belakang Masalah
Diakui atau tidak, Indonesia adalah sebuah negara multikultural terbesar di dunia (Kusumohadidjojo, 2000:45). Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Tercatat lebih dari 300 kelompok etnik besar seperti Jawa, Bugis, Makassar, Melayu dan lain sebagainya maupun kecil seperti dayak, Sunda dan lain sebagainya dengan budaya dan adat kebiasaan berbeda-beda di negara Indonesia. Etnis besar dan kecil tersebut menghuni sekitar 13.000 pulau baik besar dan kecil. Selain itu juga bangsa Indonesia menganut agama yang beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan lain (Yakin, 2005:3). Mereka harus dilindungi hak-haknya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia pada satu sisi dapat menjadi potensi integrasi tetapi disisi lain dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Dalam bahasa psikologi sosial, etnik-etnik yang terpisah secara geografis dan sosial budaya yang berbeda, mempunyai dan mengembangkan pengalaman psikologis masing-masing, yang pada gilirannya menghasilkan identitas etnik masing-masing juga. Keterikatan pada identitas etnik akan menimbulkan saling prasangka antaretnik yang bisa menghambat proses akulturasi bangsa (Sarwono, 2007:31). Kerusuhan yang disebabkan permasalahan agama, perang antar kampung, tawuran pelajar maupun perlakuan diskriminatif yang masih sering terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan benih-benih disintegrasi bangsa.
Marcia, sebagaimana dikutip Jari-Erik Nurmi dalam Lerner (Lerner, ed.2004: 109), pembentukan identitas etnis berdasarkan proses eksplorasi dan komitmen yang diterapkan pada nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan dalam berbagai kehidupan yang utama. Dari proses tersebut, menurut Marcia akan dihasilkan empat status identitas etnik sebagai berikut: (a) gerakan Identitas (Identify Achievement), menunjuk pada individu yang mengalami proses eksplorasi dan berbagai aftematif yang ada dengan baik, b) penundaan (moratorium), menunjuk pada individu yang telah mengalami proses eksplorasi akut namun belum sampai pada komitmen, bila tampak memiliki komitmen, komitmen tersebut belum jelas. (c) penutupan (foreclosure), menunjuk pada individu yang tidak pernah mengalami proses eksplorasi, tetapi memiliki komitmen. Komitmen ini diperoleh bukan melalui proses pencarian atau eksplorasi akan tetapi diperoleh dari orangtua atau orang lain, d) difusi Identitas (identity diffusion), menujuk pada individu tidak pernah atau belum mengalami proses eksplorasi identitas, sehingga tidak pernah membuat suatu komitmen. Adapun status identitas etnik seseorang, di dalam relasi sosial khususnya relasi etnis akan mempengaruhi bagaimana orang lain merespon individu. Ada dua aspek yang mungkin berlangsung dalam relasi sosial, khususnya relasi etnik, yaitu aspek yang menyenangkan (pleasant aspect) seperti daya tarik (attraction), keintiman (altruisme) dan aspek yang tidak menyenangkan (unpleasant aspect) seperti prasangka (prejudice) dan agresi (agression) (Myers, 1996; 387; Betty, dkk, 1992; 299).
Dari kerangka model relasi tersebut, pada saat individu atau kelompok memandang individu atau kelompok lain pasti akan timbul kognisi tentang persamaan dan perbedaan di antara mereka. Dalam studi lintas budaya, perbedaan biasanya dipandang sebagai kekurangan (differences lead to their being viewed as deficiencies) atau dengan bahasa lain disebut sebagai etnosentrisme (Berry, dkk, 1992: 8; Segaill, dkk, 1990: 316).
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekpresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Bennet dan Janet (1996) mengungkapkan bahwa prasangka memiliki potensi dalam mengkambinghitamkan orang lain melalui stereotip, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial.
Suku, budaya, primodialisme agama, stereotip etnik menjadi potensi konflik yang besar jika tidak dikelola dengan baik. Sikap primordial yang berlebihan yang kemudian lazim disebut etnosentris sering menimbulkan konflik berkepanjangan. Hal ini dikarenakan setiap anggota masyarakat mayoritas akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat terjadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi. Sikap etonosentris dalam masyarakat majemuk sering diikuti oleh stereotip etnik yaitu pandangan umum suatu kelompok etnis yang menganggap kelompoknya lebih baik daripada etnis lain (Horton & Hunt: 1984:65).
Beberapa contoh bentuk disintegratif akibat primodialisme, stereotip etnik sebagai akibat etnosentrisme antara lain konflik Dayak dan Madura di Kalimantan (Republika February 2001), Konflik Jawa dan Aceh tahun 1975-2005 (Kompasiana 2014), konflik Papua, serta konflik Lampung yang melibatkan suku Bali dan Suku Lampung (Kompas Oktober 2012) dan lain sebagainya. Konflik-konflik merupakan bentuk kurang terbinanya multikultural di Indonesia.
Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, konflik-konflik antaraetnik dapat diatasi dengan kekuatan militer yang selalu melakukan tindakan represif terhadap benih-benih perpecahan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Namun setelah dibukanya pintu demokrasi pada era kepemimpinan Presiden Habibie tindakan represif oleh militer tidak lagi sesuai untuk mengatasi konflik antar etnis (Wibowo, 2015:8).
Gelombang demokrasi yang semakin terbuka berdampak pada tuntutan masyarakat atas penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) serta eksistensi kelompok masyarakat mengandung bahaya perpecahan suatu negara. Hal ini telah diramalkan oleh Samuel P. Huntington dalam the Clash of Civilization sebagaimana dikutip Mahfud (2006:viii) potensi disintegrasi dapat disebabkan oleh kebebasan berdemokrasi, yang mengarah pada tuntutan persamaan hak berpolitik, social, budaya, ekonomi, kesukuan, bahkan agama.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institut (2007) menyebutkan saat ini toleransi masyarakat di Indonesia sudah pada taraf “lampu kuning”. Artinya, memerlukan perhatian sangat serius serta program-program lebih terarah untuk bisa segera menyelamatkan, sebelum nantinya jatuh ke dalam situasi yang semakin buruk. Ini tanggung jawab kita bersama dalam berbangsa. Sebab, kalau sampai muncul konflik antarmasyarakat, maka 36,3 persen kesalahan akan ditimpakan kepada tokoh agama, kemudian 35,6 persen kepada pemerintah, 7,4 persen kepada presiden, dan 6 persen kepada polisi (Qadari dalam Wahid Institut, Juni 2007).
Lembaga pendidikan sebenarnya merupakan wadah yang strategis dan potensial untuk mengenalkan multikuluralisme di Indonesia. Hal ini dikarenakan sekolah menyediakan ruang bagi penanaman dan pengimplementasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer knowledge tetapi juga transfer of value.Transfer of value dimaksudkan untuk pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (Kiftiah, 2011), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Sekolah merupakan lembaga yang tepat dalam membumikan pendidikan multikultural ditengah-tengah kekhawatiran akan bahaya disintegrasi bangsa. Dalam pendidikan multikultural yang diselenggarakan disekolah, seluruh elemen sekolah memiliki peran yang cukup sentral. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada peserta didik. Selain guru, kepala sekolah juga mempunyai peranan yang cukup vital dalam pendidikan multikultural dimana kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya dapat menuntun ke dalam suatu kondisi yang sangat menuntut pemahaman kepada perbedaan dan keragaman yang ada. Melalui pendidikan multikultural disekolah, subjek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996).
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah terkecil di Indonesia yang memiliki luas 3.185,80 km2 dengan 5 Kabupaten/ Kota, dan merupkan terkecil kedua setelah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang memiliki luas 740,29 km2. Meskipun kecil namun DIY merupakan miniatur Indonesia, bermacam suku bangsa Indonesia dengan perbedaannya tinggal di wilayah tersebut. DIY memiliki lebih kuranag 120 perguruan tinggi baik negeri, swasta setingkat Universitas sampai dengan akademi sehingga daerah ini disebut juga dengan Kota Pelajar. Banyak Pelajar dari luar Jawa menimba ilmu di DIY mulai tingkat SMA sampai dengan perguruan Tinggi.
Pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di DIY pada umumnya tergabung dalam organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Ikatan Pelajar Papua, Ikatan Pelajar Bugis, Ikatan Pelajar Makassar, Ikatan Pelajar Riau, Ikatan Pelajar Batak, Minangkabau dan lain sebagainya. Bahakan pelajar dari Jawa sendiri juga bergabung dalam ikatan pelajar yang berbau kedaerahan seperti, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Tegal, Serulingmas, Madura, dan lain sebagainya.
Kondisi multikultural sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas jika tidak dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan potensi konflik berupa intoleransi terhadap keragaman yang ada. Berangkat dari latar belakang di atas, penelitian ini hendak mengkaji sejauhmana persepsi peserta didik terhadap implementasi pendidikan multikultural di Sekolah lanjutan Tingkat Atas.
Persepsi peserta didik terhadap implementasi pendidikan multikultural di sekolah pada akhirnya akan memunculkan kecerdasan psikomotorik yaitu sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku tersebut dapat berupa sikap toleransi dan intoleransi sebagai akibat multikulturalisme. Pendidikan multikultural di berupa hidden kurikulum yaitu menempel pada seluruh mata pelajaran di sekolah.