Kategori: Bahan Kebijakan
Anggota: Arnis RachmadhaniH. Dahlan ARH. Joko Tri HaryantoHj. Marmiati MawardiH. Romzan FauziRosidinSetyo Boedi OetomoZakiyah
Publisher: BLA-Semarang
Diunduh: 49x
Dilihat 366x
Editor: blasemarang
Abstrak:
Latar Belakang Masalah
Kualitas pelayanan kepada pemangku kepentingan merupakan salah satu kunci keberhasilan organisasi dalam membangun hubungan yang erat dengan masyarakatnya. Dengan kualitas pelayanan yang baik diharapkan dapat menciptakan kenyamanan dan ketenangan linkungan organisasi. Pengukuran kepuasan masyarakat dimaksudkan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat kinerja terhadap pelayanan yang diberikan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai pelayanan yang telah diterima. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta mempercepat upaya pencapaian sasaran terhadap kinerja aparatur negara dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan adalah segala bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Dokumen Kep Menpan No. 63 Tahun 2003). Selain itu, juga disebutkan bahwa pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengn cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 1999: 60).
Pengukuran kualitas pelayanan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 38 ayat 1 dimana penyelenggara berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala., perlu disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolak ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan.
Pengukuran kepuasan merupakan elemen penting dalam proses evaluasi kinerja dimana tujuan akhir yang hendak dicapai adalah menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif berbasis dari kebutuhan masyarakat. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna layanan. Kepuasan masyarakat dapat juga dijadikan acuan bagi berhasil atau tidaknya pelaksanaan program yang dilaksanakan pada suatu lembaga layanan publik.
Ketentuan tentang perlunya pengukuran kualitas pelayanan publik tertuang pada (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (2) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (3) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah dan (4) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Kementerian Agama salah satu penyelenggara pelayanan publik di bidang kehidupan keagamaan yang salah satunya terkait pelayanan perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974). Sedangkan perkawinan dalam fiqh Islam adalah suatu perjanjian yang mengandung ijin untuk mengadakan hubungan seksual (antara laki-laki dan perempuan) dengan menggunakan “lafadh an nikah” atau sesamanya (Sulaiman, 2012: 17).
Pelayanan perkawinan sangat terkait dengan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) dalam hal Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan (KMA No. 517 Tahun 2001). Sehingga, KUA melaksanakan dua fungsi : menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi, menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; dan melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ((KMA No. 517 Tahun 2001). Intinya, keberhasilan pelayanan kementerian agama dalam pelayanan perkawinan ada di pundak para pegawai KUA sebagai ujung tombaknya.
Salah satu kasus terkait pelayanan perkawinan pernah muncul adanya Kepala KUA di Kota Kediri yang dijebloskan ke penjara atas dugaan gratifikasi biaya perkawinan (Rosidi, Ahmad (ed.), 2015: ix). Selain itu, kasus perkawinan sejenis di Boyolali dan Wonosobo juga menjadi perhatian, meskipun pada akhirnya diketahui berawal dari masalah administrasi yang bukan kewenangan kementerian agama (Suara Merdeka: ). Kerja keras Kemenag untuk menegaskan KUA dengan citra barunya yang bersih melayani menjadi ruh terbitnya PP 48/2014 tentang perubahan atas PP 47/2004 tentang PNBP (Murtado, Dada, 2015:7).
Sejak reformasi bergulir masyarakat semakin kuat daya tawarnya dalam hal pelayanan publik. Kementerian Agama sudah sepakat bahwa pelayanan publik merupakan tolak ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Misalnya, peningkatan layanan perkawinan pada KUA dan layanan haji pada tahun 2015 (Murtado, Dada, 2015:7).
Dalam upaya meningkatkan kinerja yang pada ujungnya meningkatkan kualitas pelayanan, kementerian menetapkan 5 Nilai Budaya kerja yang terdiri dari Integritas, profesionalitas, Inovatif, tanggung jawa dan keteladan. Dengan memedomani 5 nilai budaya kerja tersebut, setiap aparatur Kementerian Agama diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya, berkinerja tinggi, serta terhindar dari segala bentuk pelanggaran dan penyimpangan (Hakim, Lukman, S, 2014: 3).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang melakukan penelitian tentang Indeks Kualitas Pelayanan Pernikahan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2016.
Latar Belakang Masalah
Kualitas pelayanan kepada pemangku kepentingan merupakan salah satu kunci keberhasilan organisasi dalam membangun hubungan yang erat dengan masyarakatnya. Dengan kualitas pelayanan yang baik diharapkan dapat menciptakan kenyamanan dan ketenangan linkungan organisasi. Pengukuran kepuasan masyarakat dimaksudkan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat kinerja terhadap pelayanan yang diberikan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai pelayanan yang telah diterima. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta mempercepat upaya pencapaian sasaran terhadap kinerja aparatur negara dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan adalah segala bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Dokumen Kep Menpan No. 63 Tahun 2003). Selain itu, juga disebutkan bahwa pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengn cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 1999: 60).
Pengukuran kualitas pelayanan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 38 ayat 1 dimana penyelenggara berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala., perlu disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolak ukur untuk menilai tingkat kualitas pelayanan.
Pengukuran kepuasan merupakan elemen penting dalam proses evaluasi kinerja dimana tujuan akhir yang hendak dicapai adalah menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif berbasis dari kebutuhan masyarakat. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna layanan. Kepuasan masyarakat dapat juga dijadikan acuan bagi berhasil atau tidaknya pelaksanaan program yang dilaksanakan pada suatu lembaga layanan publik.
Ketentuan tentang perlunya pengukuran kualitas pelayanan publik tertuang pada (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (2) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (3) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah dan (4) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Kementerian Agama salah satu penyelenggara pelayanan publik di bidang kehidupan keagamaan yang salah satunya terkait pelayanan perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974). Sedangkan perkawinan dalam fiqh Islam adalah suatu perjanjian yang mengandung ijin untuk mengadakan hubungan seksual (antara laki-laki dan perempuan) dengan menggunakan “lafadh an nikah” atau sesamanya (Sulaiman, 2012: 17).
Pelayanan perkawinan sangat terkait dengan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) dalam hal Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan (KMA No. 517 Tahun 2001). Sehingga, KUA melaksanakan dua fungsi : menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi, menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; dan melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ((KMA No. 517 Tahun 2001). Intinya, keberhasilan pelayanan kementerian agama dalam pelayanan perkawinan ada di pundak para pegawai KUA sebagai ujung tombaknya.
Salah satu kasus terkait pelayanan perkawinan pernah muncul adanya Kepala KUA di Kota Kediri yang dijebloskan ke penjara atas dugaan gratifikasi biaya perkawinan (Rosidi, Ahmad (ed.), 2015: ix). Selain itu, kasus perkawinan sejenis di Boyolali dan Wonosobo juga menjadi perhatian, meskipun pada akhirnya diketahui berawal dari masalah administrasi yang bukan kewenangan kementerian agama (Suara Merdeka: ). Kerja keras Kemenag untuk menegaskan KUA dengan citra barunya yang bersih melayani menjadi ruh terbitnya PP 48/2014 tentang perubahan atas PP 47/2004 tentang PNBP (Murtado, Dada, 2015:7).
Sejak reformasi bergulir masyarakat semakin kuat daya tawarnya dalam hal pelayanan publik. Kementerian Agama sudah sepakat bahwa pelayanan publik merupakan tolak ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Misalnya, peningkatan layanan perkawinan pada KUA dan layanan haji pada tahun 2015 (Murtado, Dada, 2015:7).
Dalam upaya meningkatkan kinerja yang pada ujungnya meningkatkan kualitas pelayanan, kementerian menetapkan 5 Nilai Budaya kerja yang terdiri dari Integritas, profesionalitas, Inovatif, tanggung jawa dan keteladan. Dengan memedomani 5 nilai budaya kerja tersebut, setiap aparatur Kementerian Agama diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya, berkinerja tinggi, serta terhindar dari segala bentuk pelanggaran dan penyimpangan (Hakim, Lukman, S, 2014: 3).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang melakukan penelitian tentang Indeks Kualitas Pelayanan Pernikahan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2016.