Ketua Penelitian : Mustolehudin
Kategori: Bahan Kebijakan
Anggota: Drs. H. Achmad Sidiq, M.S.I.Drs. Bisri RuchaniSamidiSubkhan Ridlo
Publisher: BLA-Semarang
Diunduh: 70x
Dilihat 817x
Editor: blasemarang
Abstrak:
A. Latar Belakang
Tokoh agama memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, salah satunya dalam bidang sosial keagamaan. Tokoh agama sebagaimana rilis berita harian Kompas memiliki peran strategis dalam menciptakan kerukunan umat beragama(Anggoro, 2015). Selain berperan sebagai perekat kerukunan, tokoh agama juga berperan penting dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme. Hal ini sebagaimana rilis berita harian Republika, bahwa tokoh agama mempunyai peran untuk mencegah berkembangnya faham radikal terorisme di tengah-tengah kehidupan sosial bermasyarakat(Aminah, 2015).
Dalam dunia pendidikan, tokoh agama juga mempunyai andil besar dalam pembangunan bidang pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari peran tokoh agama (kiai, ulama, tuan guru dan sebutan lainnya) dalam memajukan dan mengembangkan pendidikan pondok pesantren di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama, di Indonesia terdapat 21.521 pondok pesantren(Dirjen Pendis, 2016). Jumlah pondok pesantren tersebut tersebar dari Aceh sampai Papua. Berdasarkan data tersebut, jumlah terbesar terdapat di pulau Jawa yaitu Jawa Timur 5.025 pondok pesantren, Jawa Barat 3.845 pondok pesantren, dan Jawa Tengah 3.719 pondok pesantren.
Provinsi Bali yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, namun demikian juga terdapat pondok pesantren. Di Bali setidaknya terdapat 112 pondok pesantren. Salah satu tokoh agama Islam yang berperan besar mendirikan pondok pesantren tertua di Bali adalah Raden Ahmad Al Hadi. Ia lahir pada akhir abad 18 (Fathur, 2014). Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendapat julukan kota pendidikan terdapat 294 pondok pesantren. Di kota ini, di antara tokoh yang berpengaruh di bidang pendidikan pada awal abad 19 adalah KH. Munawir, KH. Ali Maksum, KH. Ahmad Dahlan dan kiai-kiai lainnya.
Berdasarkan jumlah pondok pesantren tersebut yang tersebar di seluruh Indonesia, setidaknya terdapat jumlah yang sama atau lebih kiai sebagai pengasuh pondok pesantren. Kiai (ulama) merupakan figur sentral dalam pesantren dan lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diketahui beberapa ulama kharismatik di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa ulama kharismatik di Indonesia : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH Wahab Hasbullah, Tuan Guru Syaikh Arsyad Al Banjari , syaikh Abd Somad Al Palimbani, Syaikh Daud bin Abdullah Al Fattani, Syaikh Abd Wahab Al Bugisi, dan Syaikh Muhammad Saleh bin Umar Al Samarani (Azra, 2007 : 51). Selain ulama-ulama sepuh tersebut, ulama-ulama lain yang mempunyai andil besar dalam pendidikan di pondok pesantren antara lain : KH. Maksum Djauhari, KH Abbas Buntet Cirebon, Kiai Amin bin Irsyad Cirebon, Kiai Hamid Pasuruan, KH Abdurrahman Wahid, KH Sahal Mahfud, Habib Husein Mbrani, al-Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Ustadz Muhammad Ba’bud Lawang, Kyai Syarwani Abdan Datuk Kalampayan Bangil, Kyai Hamid Pasuruan, Habib Ali bin Ja’far Batu Pahat, Habib Abdullah Bilfaqih, Habib Anis Solo, dan Tuan Guru Zaini Ghani Martapura serta ulama-ulama lain yang memiliki pengaruh di Indonesia baik nasional maupun di tingkat lokal.
Raden Ahmad Al Hadi sebagai salah satu tokoh Islam di Bali, dan tokoh lain yang belum teridentifikasi menjadi menarik untuk diungkap kiprah dan karyanya agar diketahui masyarakat luas. Demikian pula tokoh agama Islam di DIY. Meskipun sudah dilakukan kajian oleh penulis terdahulu, kajian mengenai kiprah dan karya-karya tokoh agama Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta menarik untuk diteliti. Tokoh-tokoh agama Islam seperti KH Munawir, KH Ahmad Dahlan, KH Ali Maksum, KH Mujab Mahalli, KH Irwan Masduqi dan tokoh-tokoh lain perlu dilakukan rekonstruksi ulang pemikiran mereka pada masa kekinian.
Tokoh agama (kiai, ulama, tuan guru) di daerah tertentu memiliki pengaruh yang cukup besar ditengah-tengah masyarakatnya (lokalitas) suatu masyarakat. Begitu pula tokoh agama di wilayah Bali dan DIY, tentu memiliki karakter yang berbeda dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan di wilayahnya masing-masing.
Penelitian tentang tokoh agama telah banyak dilakukan peneliti terdahulu. Namun demikian penelitian yang secara khusus membahas tokoh agama khususnya tokoh agama Islam yang mengkaji dari segi pemikiran pendidikan belum banyak dilakukan terutama di Bali dan DIY. Berikut ini adalah penelitian-penelitian yang terkait dengan tokoh agama.
Penelitian (Geertz, 2013 : 15, 25, 120) tentang abangan, santri dan kiai memposisikan kiai sebagai tokoh sentral dalam sebuah masyarakat. Peran tersebut dapat berupa ketua adat, pemuka agama, pemimpin pesantren (kiai) dan lain-lain.
Sementara itu, (Dhofir, 2009 : 12) menjelaskan bahwa peran kiai pada era modern telah mengalami perkembangan yakni pembaharuan dan penyegaran dalam pemikiran keagamaan. Lebih lanjut Dhofir mengemukakan kiai pesantren pada saat ini ibarat “kereta api dengan mesin uap” yang melaju dengan super cepat. Hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah pesantren di Indonesia. Sejak tahun 1998 jumlah pesantren meningkat drastis dari 7.536 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Selain peningkatan jumlah pesantren, secara kualitas lulusan pesantren juga bersaing dengan lulusan SMA untuk menimba ilmu di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Hal ini diketahui pada tahaun 2005, pimpinan pesantren menugasbelajarkan 3000 santri di enam PT Negeri ternama yaitu UI, ITB, UGM, ITS, dan Unair untuk menempuh pendidikan S1 dan S2. (Dhofir, 2009 : 13).
Sementara itu, kajian (Azra, 2007 : 113, 209) tentang jaringan ulama semakin meneguhkan posisi kiai dan ulama dalam bidang pendidikan pesantren di Indonesia. Hal ini dapat diketahui jaringan ulama abad ke 17 yang secara intelektual bersambung langsung ke Timur Tengah. Jaringan ulama tersebut melahirkan ulama-ulama di Indonesia. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Al Qusyasyi (w.1071/1661), Abd Al Aziz Al Zamzani (w.1072/1662), Abdullah bin Syaikh Al ‘Aydrus (w.1073/1663), Taj Al Din Al Hindi (w.1052/1642), Ahmad Ibn ‘Alan (w.1033/1624), Umar bin ‘Abdullah Al Bashri (w.1037/1628), Ba Syayban (w.1066/1656), ‘Ali Al-Thabari (w.1070/1660), ‘Ali Jamal Al Makki (w.1071/1661), Al-Raniri (w.1068/1658), Al Maqassari (1111/1699), dan Al Sinkili (w.1105/1693).
Ulama menurut (Burhanuddin, 2012 : 17, 55) tidak dapat dipisahkan dari kerajaan, seperti kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13. Ulama pada waktu itu oleh raja mendapatkan gelar sebagai mufti kerajaan, dan perannya sebagai pemberi fatwa kepada raja dan rakyat.
Sejak dahulu hingga sekarang, ulama memiliki peran strategis dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana penelitian (Khotimah, 2015), bahwa sebagai pemimpin keagamaan, seorang tokoh agama adalah orang yang diyakini mempunyai otoritas yang besar di dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena pemuka agama atau dalam Islam ulama adalah tokoh yang dianggap sebagai orang yang suci dan dianugerahi berkah. Karena peran pemuka agama telah memainkan fungsinya sebagai perantara bagi umat beragama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang terjadi baik di tingkat lokal maupun nasional, tokoh agama diposisikan oleh masyarakat sebagai penerjemah dan memberikan penjelasan dalam konteks agama dan mengklarifikasi berbagai masalah bangsa pada umumnya. Hal ini terjadi karena tokoh agama adalah bagian dari elite politik, di mana posisi yang strategis dan diklaim mempunyai kekuasaan yang sah untuk mempersatukan umat dalam menghadapi berbagai ancaman yang nyata dari kelompok-kelompok lain. Akan tetapi terkadang masyarakat banyak yang tidak menyadari tentang peran dan kontribusi mereka dengan melupakan dan tidak menjaga apa yang sudahdilakukan oleh para pemuka agama berupa peninggalan-peninggalan akademik maupun non akademik.Bahkan peran sosial yang dilakukan kadang tidak diingat sama sekali, padahal banyak memiliki nilai-nilaiyang terkadung di dalamnya. Begitu juga peran tokoh agama khususnya di Banyumas memiliki peran yangpenting dalam pengembangan sosial keagamaan, antara lain dalam pendidikan, sosial kegamaan, politik dandakwah.
Penelitian tentang peran tokoh agama (ulama) sebagaimana dilakukan tim peneliti Lektur yang meneliti tentang “Kajian Kitab Karangan Ulama Lokal” menunjukkan bahwa ulama lokal memiliki karya-karya dengan menulis kitab-kitab klasik. Hal ini dapat diketahui seperti ulama dari Amuntai yaitu KH. Muhammad Syukri Unus dengan karyanya Asraru Al Hajj wa-al Umrati dan karya-karya yang lain (Mubarok, 2010 : 6). Kemudian tuan Guru Syekh Muhammad Nafis al Banjari dengan karyanya kitab Ad Durunnafis (Sidiq, 2010: 52), selanjutnya kitab Risalah ahlu sunnah wal jamaah karya KH. M Hasyim Asy’ari Tebuireng (Bisri, 2010 : 135), kitab Al Tuhfatul Anfananiyyah karya syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Majid Lombok (Amaluddin, 2010 : 257), kitab Tuhfat Ar Raghibin karya syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (Hidayat, 2010 : 349), kitab washiyat al Mustafa Li ‘Aliy Al Murtada karya Tuan Guru Haji Saleh Hambali (Samidi, 2010 : 437), kitab Fathu Al Manan karya KH Maftuh Bastu Al Bisri (Ridlo, 2010 : 469), dan kitab Rahasia Teganang Gining karya Tuan Guru Haji Muhammad Najmudin Makmun (Masfiah, 2010 : 553).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan (Idham, 2011 : 67) terhadap biografi ulama Anangguru Muhammad Shaleh Mandar, karya-karyanya lebih menonjolkan pada aspek tarekat Qadiriyah. Hal ini berbeda dengan penelitian (Junaedi, 2009 : 73) terhadap tokoh dari Rembang KH. Mustofa Bisri bahwa pemikiran Gus Mus cakupan pemikirannya cukup luas seperti karya di bidang akhlak yaitu Washoya Abaa li al Abna, kemudian Syiiir Ngudi Susilo, Tombo Ati, tafsir Al Ibris dan lain-lain.
Kajian yang dilakukan Rofiq Nurhuda dan Sudar terhadap tokoh K.H. Ahmad Dahlan menegaskan bahwa, K.H. Ahmad Dahlan melihat kebijakan politik Belanda dan sistem pendidikan yang ada tidak menguntungkan bagi upaya kebangkitan Islam dan pembebasan dari belenggu penjajahan, sehingga muncul ide modernisasi pendidikan Islam. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya kebangkitan Islam dari keterpurukan dan kemunduran umat pada saat itu.
Berdasarkan latar belakang di atas dan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini secara khusus akan membahas tentang pemikiran pendidikan tokoh agama (Islam) abad 20sampai abad 21di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Tokoh yang diteliti adalah K.H. Ali Maksum, K.H. Mujab Mahalli, K.H. Irwan Masduqi, K.H. Raden Ahmad Al Hadi, dan K.H. Fathur Rahim.
A. Latar Belakang
Tokoh agama memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, salah satunya dalam bidang sosial keagamaan. Tokoh agama sebagaimana rilis berita harian Kompas memiliki peran strategis dalam menciptakan kerukunan umat beragama(Anggoro, 2015). Selain berperan sebagai perekat kerukunan, tokoh agama juga berperan penting dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme. Hal ini sebagaimana rilis berita harian Republika, bahwa tokoh agama mempunyai peran untuk mencegah berkembangnya faham radikal terorisme di tengah-tengah kehidupan sosial bermasyarakat(Aminah, 2015).
Dalam dunia pendidikan, tokoh agama juga mempunyai andil besar dalam pembangunan bidang pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari peran tokoh agama (kiai, ulama, tuan guru dan sebutan lainnya) dalam memajukan dan mengembangkan pendidikan pondok pesantren di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama, di Indonesia terdapat 21.521 pondok pesantren(Dirjen Pendis, 2016). Jumlah pondok pesantren tersebut tersebar dari Aceh sampai Papua. Berdasarkan data tersebut, jumlah terbesar terdapat di pulau Jawa yaitu Jawa Timur 5.025 pondok pesantren, Jawa Barat 3.845 pondok pesantren, dan Jawa Tengah 3.719 pondok pesantren.
Provinsi Bali yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, namun demikian juga terdapat pondok pesantren. Di Bali setidaknya terdapat 112 pondok pesantren. Salah satu tokoh agama Islam yang berperan besar mendirikan pondok pesantren tertua di Bali adalah Raden Ahmad Al Hadi. Ia lahir pada akhir abad 18 (Fathur, 2014). Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendapat julukan kota pendidikan terdapat 294 pondok pesantren. Di kota ini, di antara tokoh yang berpengaruh di bidang pendidikan pada awal abad 19 adalah KH. Munawir, KH. Ali Maksum, KH. Ahmad Dahlan dan kiai-kiai lainnya.
Berdasarkan jumlah pondok pesantren tersebut yang tersebar di seluruh Indonesia, setidaknya terdapat jumlah yang sama atau lebih kiai sebagai pengasuh pondok pesantren. Kiai (ulama) merupakan figur sentral dalam pesantren dan lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diketahui beberapa ulama kharismatik di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa ulama kharismatik di Indonesia : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH Wahab Hasbullah, Tuan Guru Syaikh Arsyad Al Banjari , syaikh Abd Somad Al Palimbani, Syaikh Daud bin Abdullah Al Fattani, Syaikh Abd Wahab Al Bugisi, dan Syaikh Muhammad Saleh bin Umar Al Samarani (Azra, 2007 : 51). Selain ulama-ulama sepuh tersebut, ulama-ulama lain yang mempunyai andil besar dalam pendidikan di pondok pesantren antara lain : KH. Maksum Djauhari, KH Abbas Buntet Cirebon, Kiai Amin bin Irsyad Cirebon, Kiai Hamid Pasuruan, KH Abdurrahman Wahid, KH Sahal Mahfud, Habib Husein Mbrani, al-Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Ustadz Muhammad Ba’bud Lawang, Kyai Syarwani Abdan Datuk Kalampayan Bangil, Kyai Hamid Pasuruan, Habib Ali bin Ja’far Batu Pahat, Habib Abdullah Bilfaqih, Habib Anis Solo, dan Tuan Guru Zaini Ghani Martapura serta ulama-ulama lain yang memiliki pengaruh di Indonesia baik nasional maupun di tingkat lokal.
Raden Ahmad Al Hadi sebagai salah satu tokoh Islam di Bali, dan tokoh lain yang belum teridentifikasi menjadi menarik untuk diungkap kiprah dan karyanya agar diketahui masyarakat luas. Demikian pula tokoh agama Islam di DIY. Meskipun sudah dilakukan kajian oleh penulis terdahulu, kajian mengenai kiprah dan karya-karya tokoh agama Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta menarik untuk diteliti. Tokoh-tokoh agama Islam seperti KH Munawir, KH Ahmad Dahlan, KH Ali Maksum, KH Mujab Mahalli, KH Irwan Masduqi dan tokoh-tokoh lain perlu dilakukan rekonstruksi ulang pemikiran mereka pada masa kekinian.
Tokoh agama (kiai, ulama, tuan guru) di daerah tertentu memiliki pengaruh yang cukup besar ditengah-tengah masyarakatnya (lokalitas) suatu masyarakat. Begitu pula tokoh agama di wilayah Bali dan DIY, tentu memiliki karakter yang berbeda dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan di wilayahnya masing-masing.
Penelitian tentang tokoh agama telah banyak dilakukan peneliti terdahulu. Namun demikian penelitian yang secara khusus membahas tokoh agama khususnya tokoh agama Islam yang mengkaji dari segi pemikiran pendidikan belum banyak dilakukan terutama di Bali dan DIY. Berikut ini adalah penelitian-penelitian yang terkait dengan tokoh agama.
Penelitian (Geertz, 2013 : 15, 25, 120) tentang abangan, santri dan kiai memposisikan kiai sebagai tokoh sentral dalam sebuah masyarakat. Peran tersebut dapat berupa ketua adat, pemuka agama, pemimpin pesantren (kiai) dan lain-lain.
Sementara itu, (Dhofir, 2009 : 12) menjelaskan bahwa peran kiai pada era modern telah mengalami perkembangan yakni pembaharuan dan penyegaran dalam pemikiran keagamaan. Lebih lanjut Dhofir mengemukakan kiai pesantren pada saat ini ibarat “kereta api dengan mesin uap” yang melaju dengan super cepat. Hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah pesantren di Indonesia. Sejak tahun 1998 jumlah pesantren meningkat drastis dari 7.536 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Selain peningkatan jumlah pesantren, secara kualitas lulusan pesantren juga bersaing dengan lulusan SMA untuk menimba ilmu di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Hal ini diketahui pada tahaun 2005, pimpinan pesantren menugasbelajarkan 3000 santri di enam PT Negeri ternama yaitu UI, ITB, UGM, ITS, dan Unair untuk menempuh pendidikan S1 dan S2. (Dhofir, 2009 : 13).
Sementara itu, kajian (Azra, 2007 : 113, 209) tentang jaringan ulama semakin meneguhkan posisi kiai dan ulama dalam bidang pendidikan pesantren di Indonesia. Hal ini dapat diketahui jaringan ulama abad ke 17 yang secara intelektual bersambung langsung ke Timur Tengah. Jaringan ulama tersebut melahirkan ulama-ulama di Indonesia. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Al Qusyasyi (w.1071/1661), Abd Al Aziz Al Zamzani (w.1072/1662), Abdullah bin Syaikh Al ‘Aydrus (w.1073/1663), Taj Al Din Al Hindi (w.1052/1642), Ahmad Ibn ‘Alan (w.1033/1624), Umar bin ‘Abdullah Al Bashri (w.1037/1628), Ba Syayban (w.1066/1656), ‘Ali Al-Thabari (w.1070/1660), ‘Ali Jamal Al Makki (w.1071/1661), Al-Raniri (w.1068/1658), Al Maqassari (1111/1699), dan Al Sinkili (w.1105/1693).
Ulama menurut (Burhanuddin, 2012 : 17, 55) tidak dapat dipisahkan dari kerajaan, seperti kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13. Ulama pada waktu itu oleh raja mendapatkan gelar sebagai mufti kerajaan, dan perannya sebagai pemberi fatwa kepada raja dan rakyat.
Sejak dahulu hingga sekarang, ulama memiliki peran strategis dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana penelitian (Khotimah, 2015), bahwa sebagai pemimpin keagamaan, seorang tokoh agama adalah orang yang diyakini mempunyai otoritas yang besar di dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena pemuka agama atau dalam Islam ulama adalah tokoh yang dianggap sebagai orang yang suci dan dianugerahi berkah. Karena peran pemuka agama telah memainkan fungsinya sebagai perantara bagi umat beragama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang terjadi baik di tingkat lokal maupun nasional, tokoh agama diposisikan oleh masyarakat sebagai penerjemah dan memberikan penjelasan dalam konteks agama dan mengklarifikasi berbagai masalah bangsa pada umumnya. Hal ini terjadi karena tokoh agama adalah bagian dari elite politik, di mana posisi yang strategis dan diklaim mempunyai kekuasaan yang sah untuk mempersatukan umat dalam menghadapi berbagai ancaman yang nyata dari kelompok-kelompok lain. Akan tetapi terkadang masyarakat banyak yang tidak menyadari tentang peran dan kontribusi mereka dengan melupakan dan tidak menjaga apa yang sudahdilakukan oleh para pemuka agama berupa peninggalan-peninggalan akademik maupun non akademik.Bahkan peran sosial yang dilakukan kadang tidak diingat sama sekali, padahal banyak memiliki nilai-nilaiyang terkadung di dalamnya. Begitu juga peran tokoh agama khususnya di Banyumas memiliki peran yangpenting dalam pengembangan sosial keagamaan, antara lain dalam pendidikan, sosial kegamaan, politik dandakwah.
Penelitian tentang peran tokoh agama (ulama) sebagaimana dilakukan tim peneliti Lektur yang meneliti tentang “Kajian Kitab Karangan Ulama Lokal” menunjukkan bahwa ulama lokal memiliki karya-karya dengan menulis kitab-kitab klasik. Hal ini dapat diketahui seperti ulama dari Amuntai yaitu KH. Muhammad Syukri Unus dengan karyanya Asraru Al Hajj wa-al Umrati dan karya-karya yang lain (Mubarok, 2010 : 6). Kemudian tuan Guru Syekh Muhammad Nafis al Banjari dengan karyanya kitab Ad Durunnafis (Sidiq, 2010: 52), selanjutnya kitab Risalah ahlu sunnah wal jamaah karya KH. M Hasyim Asy’ari Tebuireng (Bisri, 2010 : 135), kitab Al Tuhfatul Anfananiyyah karya syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Majid Lombok (Amaluddin, 2010 : 257), kitab Tuhfat Ar Raghibin karya syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (Hidayat, 2010 : 349), kitab washiyat al Mustafa Li ‘Aliy Al Murtada karya Tuan Guru Haji Saleh Hambali (Samidi, 2010 : 437), kitab Fathu Al Manan karya KH Maftuh Bastu Al Bisri (Ridlo, 2010 : 469), dan kitab Rahasia Teganang Gining karya Tuan Guru Haji Muhammad Najmudin Makmun (Masfiah, 2010 : 553).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan (Idham, 2011 : 67) terhadap biografi ulama Anangguru Muhammad Shaleh Mandar, karya-karyanya lebih menonjolkan pada aspek tarekat Qadiriyah. Hal ini berbeda dengan penelitian (Junaedi, 2009 : 73) terhadap tokoh dari Rembang KH. Mustofa Bisri bahwa pemikiran Gus Mus cakupan pemikirannya cukup luas seperti karya di bidang akhlak yaitu Washoya Abaa li al Abna, kemudian Syiiir Ngudi Susilo, Tombo Ati, tafsir Al Ibris dan lain-lain.
Kajian yang dilakukan Rofiq Nurhuda dan Sudar terhadap tokoh K.H. Ahmad Dahlan menegaskan bahwa, K.H. Ahmad Dahlan melihat kebijakan politik Belanda dan sistem pendidikan yang ada tidak menguntungkan bagi upaya kebangkitan Islam dan pembebasan dari belenggu penjajahan, sehingga muncul ide modernisasi pendidikan Islam. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya kebangkitan Islam dari keterpurukan dan kemunduran umat pada saat itu.
Berdasarkan latar belakang di atas dan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini secara khusus akan membahas tentang pemikiran pendidikan tokoh agama (Islam) abad 20sampai abad 21di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta.Tokoh yang diteliti adalah K.H. Ali Maksum, K.H. Mujab Mahalli, K.H. Irwan Masduqi, K.H. Raden Ahmad Al Hadi, dan K.H. Fathur Rahim.