Menguatnya Politik Identitas dan Dampaknya Bagi Kerukunan Beragama di Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Papua Barat

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 32x

Dilihat 338x

Editor: blamakassar

Abstrak:

...

Lampiran Tidak Tersedia

“Menguatnya Politik Identitas dan Dampaknya Bagi Kerukunan Beragama di Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Papua Barat”

 

  1. Pendahuluan

Pada era pemerintahan Jokowi ini, salah satu visi pemerintahan yang tertuang dalam nawacita adalah memperteguh kebhinnekaan. Hal ini djabarkan dengan kebijakan penguatan identitas local dan agama, salah satunya melalui UU Desa No.6/2014.  Namun penguatan tersebut tidak dimaksudkan untuk perpecahan serta mengganggu harmoni sosial dan keagamaan yang sudah terbangun. Karena itu pemerintah, khususnya Kementerian Agama telah merumuskan berbagai kebijakan agar kehidupan yang harmoni dibidang agama tetap terjaga. Salah satunya dituangkan dalam Rencana Strategi  Kementerian Agama 2015-2019, yang diantaranya berisi tentang: 1). memperkuat regulasi soal kerukunan 2). Mengembangkan kesadaran kerukunan umat beragama.

Pasca reformasi, politik identitas marak di Indonesia, termasuk di Indonesia Timur. Sejatinya gerakan ini adalah perjuangan kelompok minoritas untuk mendapatkan pengakuan dan kedudukan yang sama ditengah masyarakat mayoritas lainnya. Sejauh dalam kerangka tersebut, apalagi tidak melejit keluar dari bingkai NKRI, maka politik identitas dijamin oleh negara.

Sayangnya gerakan politik identitas di Indonesia (Timur), diiringi aroma kurang sedap. Salah satunya yang mengkhawatirkan, adalah anggapan sejumlah kalangan, bahwa politik identitas dalam banyak hal mengancam kerukunan umat beragama yang telah terbangun di Indonesia. Ada asumsi, beberapa konflik etnis dan agama yang muncul akhir-akhir ini, dipicu gerakan politik identitas ini (Syafii Maarif , et.l, 2014).

            Latar inilah yang mendorong Litbang Agama Makassar melakukan penelitian kualitatif di tiga daerah yang dianggap mewakili gerakan Politik Identitas di Indonesia Timur , yaitu: Dayak di Kalimantan Timur, Minahasa-Kristen di Sulawesi Utara dan Papua-Kristen di Monokwari Papua Barat. Ada tiga masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu : a.Bagaimana sejarah dan latar belakang politik identitas di beberapa lokasi penelitian ?  b).Bagaimana perkembangan  gerakan politik Identitas saat ini ?  c). Bagaimana politik identitas ini memengaruhi kerukunan umat beragama?

 

B.Temuan    

Dari ketiga daerah yang diteliti, nampak bahwa menguatnya politik identitas ini, serentak terjadi pasca reformasi. Demokrasi yang sedang mekar menjadi pintu masuknya. Di Kalimantan Timur bermunculan organisasi yang mengatas namakan etnis, seperti Gepak, Persatuan Dayak Kalimantan Timur dan Gasak Libas, di Sulawesi Utara juga demikian, diantaranya Brigade Manguni, sementara di Papua Barat, malah dirancang Monokwari Kota Injili.  

Tiga daerah yang bergeliat, masing-masing diwakili oleh Dayak di Kalimantan Timur, Minahasa dan Papua, mengalami proses marginalisasi sejak masa-masa kolonial. Namun, penyingkiran yang paling sistematis dan massif, terhadap ketiga identitas di tiga tempat itu, terjadi pada masa orde baru. Pada masa orba mereka dipaksa meninggalkan tempat mereka lahir, tanah-tanahnya di ambil alih, keyakinannya dilucuti dan semua identitas kebudayaannya diluruhkan.

Kemunculan politik identitas di tiga tempat tadi pasca reformasi dapat dipahami sebagai reaksi atas kebijakan pemerintahan orde baru yang memarginalisasi mereka. Walau demikian, khusus   Minahasa-Kristen dan Monokwari Kota Injili , selain sebagai respon terhadap kebijakan orde baru yang meluruhkan identitas local dihadapan negera, juga merupakan respon terhadap politik identitas Islam yang berkembang secara massif di Indonesia, misalnya muncul dalam bentuk perdaisasi Syariat Islam. Identitas Islam, dianggap menguasai segenap relung kehidupan berbagai daerah.  

Dalam perkembanganya saat ini, gerakan politik identitas  nampaknya berpengaruh terhadap konteks kerukunan beragama di tiga tempat tersebut, hal ini nampak dalam dua hal, Pertama; Gerakan politik identitas yang banyak di drive oleh kelompok elite, dalam banyak hal menjadikan identitas sebagai sarana untuk melapangkan jalan meraih kekuasaan politik dan menguasai sector-sektor ekonomi tertentu. Proses ini mengakibatkan gerakan Politik Identitas memiuh dari khittahnya untuk memperjuangkan kelompok minoritas menjadi perjuangan politik-ekonomi yang  pragmatis. Untuk kepentingan itu, dimunculkanlah ilusi tentang pendatang dan pribumi. Di mana pendatang diasumsikan sebagai kelompok yang memonopoli dan menguasai berbagai aspek. Di Kalimantan Timur pendatang dianggap memonopoli sector ekonomi dan politik, demikian halnya di Sulawesi Utara dan Papua Barat. Sementara, kelompok pendatang, sebaliknya, memandang penduduk local sebagai orang-orang yang malas dan bodoh.  Ilusis identitas semacam ini tak pelak melahirkan prasangka. Dalam banyak kasus konflik etnis dan agama yang terjadi,  akar persoalannya ternyata bermula dari prasangka ini. Konflik di Muara Badak Kalimantan Timur adalah salah satu contohnya.

Kedua, politik identitas ini, khususnya di Sulawesi Utara dan Papua Barat, memular menjadi ‘peluruhan identitas lain dihadapan identitas mayoritas’. Hal ini nyata dalam konteks hubungan antara agama, di mana identitas agama lain di luar Kristen harus lebur dalam identitas yang dibangun dalam konteks Keminahasaan atau Monokwari Kota Injili.  Ekspresi keagamaan di ruang publik bagi agama lain dibatasi. Di Sulawesi Utara ‘Islam tidak benar-benar diakomodir’ dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam soal ekonomi dan politik, Ia hanya mungkin jika bisa meluruh dalam keminahasaan. Itulah yang menyebabkan beberapa orang Islam yang akhirnya bergabung dengan Brigade Manguni Indonesia, salah satu kepentingannya agar bisa mengakses anggaran di daerah ini. Di Monokwari, mesjid tidak boleh lebih megah dari gereja dan simbol agama lain tidak bisa menonjol di ruang public, seperti dalam kasus pembangunan mesjid di kelurahan Andai.  Dalam draft rancangan perda Monokwari Kota Injili disebutkan tidak boleh menonjolkan simbol-simbol agama lain selain Kristen. Hal ini sudah terang melabrak beberapa jangkar aturan mengenai kehidupan beragama, misalnya pasal 29 ayat 2 tentang; setiap warga negara bebas menjalankan agama dan keyakinannya.  Sementara aturan seperti PBM no 9 & 8 tidak dijalankan secara konsisten. Aturan ini malah dipolitisir sedemikian rupa untuk kepentingan mayoritas dan menghalangi ekspresi keagamaan kelompok minoritas.

Di tengah lobang hitam yang ditinggalkan oleh politik identitas ini, pemerintah ternyata telah melakukan langkah-langkah untuk mengatisipasi kemungkinan negatifnya. Salah satunya dengan mendorong munculnya Bridging Social Capital, contohnya Forum Kerukunan Umat Beragama dan Forum Pembauran Kebangsaan. Hanya saja forum-forum semacam ini bekerja secara efektif saat muncul konflik-konflik tertentu. Persoalan dana dan desain program yang belum menyentuh akar persoalan konflik di daerah adalah salah satu penyebabnya. Selain itu, forum-forum semacam ini lebih banyak menjadi penghubung dikalangan elit etnis dan agama dibanding sebagai jembatan di tingkat grass root.  

 

C.Rekomendasi

Temuan di atas menunjukkan, bahwa politik identitas yang sedang berlangsung, bisa mengancam kerukunan umat beragama di tiga tempat ini, karena itu maka direkomendasikan :

  1. Politik identitas yang bertujuan: “memperjuangkan kelompok minoritas mendapatkan pengakuan dan ruang yang setara dengan kelompok lainnya”, sebaiknya di akomodir, dengan kebijakan afirmatif dari pusat maupun daerah. Misalnya; Perda Penguatan Lembaga Adat dan Kebudayaan
  2. Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama menguatkan Forum Pembauran dan Forum Lintas Agama (FKUB dan semacamnya) di daerah, dengan;

                   a.Alokasi anggaran yang jelas

                   b.mendesain program yang jelas dan untuk kepentingan jangka panjang

c.Bekerja sama dengan Lembaga Civil Society untuk mengasistensi/mendampingi Forum dalam merancang dan mengimplementasikan program.

 

  1. Pemerintah dan tokoh-tokoh agama/masyarakat mendorong munculnya Bridging Social Capital di akar rumput. Beberapa yang sudah berkembang, seperti fans club  bola, paguyuban karena kesamaan hoby atau profesi perlu dipertahankan dan dikembangkan.
  2. Regulasi kehidupan keagamaan harus dipastikan berjalan secara konsisten di daerah-daerah. Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama di daerah harus menjalankan dengan konsisten dan mengawasi pelaksanaannya.

...

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia