Efektifitas Pelayanan Pernikahan di KUA (Implemantasi Terhadap PP 48 tahun 2014)

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 32x

Dilihat 366x

Editor: blamakassar

Abstrak:

Riset ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat implementasi PP No. 48 Tahun 2014 (termasuk PMA No. 46 tahun 2014 dan Juknis Dirjen Bimas Islam No. 487 tahun 2014 sebagai turunan) di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui implikasi baik positif maupun negatif yang muncul dari proses implementasi PP 48 tersebut. Teori yang digunakan sebagai guide analisis adalah teori implementasi Weimer dan Vinning dengan tiga sudut pandang yaitu; logika kebijakan, implementator, dan lingkungan.

Sumber data utama penelitian ini adalah KUA kecamatan (Kepala KUA dan penghulu). Jumlah KUA Kecamatan yang menjadi sampel penelitian sebanyak 75 buah yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota dari enam provinsi sasaran penelitian. Data yang diperoleh berupa proses sosialisasi dan kualitas implementasi PP 48. Sumber data pendukung adalah Kepala Kanwil Kementerian Agama, Kepala Kantor Kemenag Kab/Kota, Pembimas Islam Kemenag Kab/Kota, imam, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, LSM, dan beberapa orang informan dari warga yang melakukan pernikahan sejak Agustus 2014-Pebruari 2015. Sumber data lainnya adalah pengamatan peneliti terhadap situasi kantor KUA dan proses pelayanan pernikahan di hari akad nikah.

Riset dilakukan selama 15 hari sejak tanggal 24 Pebruari – 10 Maret 2015. Lokasi penelitian meliputi; Sulawesi Selatan (sampel kab/kota: Makassar, Pare-Pare, dan Bantaeng), Sulawesi Tenggara (Kendari dan Konawe), Sulawesi Tengah (Palu dan Luwuk Banggai), Sulawesi Barat (Majene dan Polewali Mandar), Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan dan Berau), Gorontalo (Kota Gorontalo).

Lampiran Tidak Tersedia

Executive Summary

Penelitian Tentang:

IMPLEMENTASI PP NO. 48 TAHUN 2014 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PELAYANAN (PENCATATAN) PERNIKAHAN OLEH KUA

Pendahuluan

Riset ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat implementasi PP No. 48 Tahun 2014 (termasuk PMA No. 46 tahun 2014 dan Juknis Dirjen Bimas Islam No. 487 tahun 2014 sebagai turunan) di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui implikasi baik positif maupun negatif yang muncul dari proses implementasi PP 48 tersebut. Teori yang digunakan sebagai guide analisis adalah teori implementasi Weimer dan Vinning dengan tiga sudut pandang yaitu; logika kebijakan, implementator, dan lingkungan.

Sumber data utama penelitian ini adalah KUA kecamatan (Kepala KUA dan penghulu). Jumlah KUA Kecamatan yang menjadi sampel penelitian sebanyak 75 buah yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota dari enam provinsi sasaran penelitian. Data yang diperoleh berupa proses sosialisasi dan kualitas implementasi PP 48. Sumber data pendukung adalah Kepala Kanwil Kementerian Agama, Kepala Kantor Kemenag Kab/Kota, Pembimas Islam Kemenag Kab/Kota, imam, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, LSM, dan beberapa orang informan dari warga yang melakukan pernikahan sejak Agustus 2014-Pebruari 2015. Sumber data lainnya adalah pengamatan peneliti terhadap situasi kantor KUA dan proses pelayanan pernikahan di hari akad nikah.

Riset dilakukan selama 15 hari sejak tanggal 24 Pebruari – 10 Maret 2015. Lokasi penelitian meliputi; Sulawesi Selatan (sampel kab/kota: Makassar, Pare-Pare, dan Bantaeng), Sulawesi Tenggara (Kendari dan Konawe), Sulawesi Tengah (Palu dan Luwuk Banggai), Sulawesi Barat (Majene dan Polewali Mandar), Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan dan Berau), Gorontalo (Kota Gorontalo). 

Temuan

  1. Implementasi PP 48 secara umum sudah berjalan dengan baik. Prosedur dan teknis pelaksanaan pelayanan pernikahan telah berjalan sesuai dengan PP 48 dan turunannya (PMA 46 dan Juknis Dirjen Bimas Islam 487).
  2. Implementasi yang baik oleh respon Kepala KUA yang cukup cepat dalam melakukan sosialisasi kebijakan ke masyarakat meski tidak punya anggaran. Sosialisasi dilakukan lebih banyak dengan cara informal seperti dengan memanfaatkan forum ceramah, khutbah jumat. Beberapa KUA melakukannya dengan cara formal seperti mengirim surat ke kelurahan. Bahkan Kemenag Provinsi Gorontalo melakukan sosialisasi melalui media RRI Gorontalo.
  3. Meski implementasi PP 48 sudah berjalan baik tetapi masih ada beberapa hal yang patut menjadi catatan, yaitu: 1) beberapa catin menggunakan jasa oknum KUA untuk membayarkan biaya pernikahan di Bank; 2) Akibat dari pola sosialisasi yang informal adalah pemahaman masyarakat terhadap subtansi PP 48 kurang komprehensif. Sebagian besar warga menganggap bahwa pembayaran Rp. 600.000 melalui bank adalah biaya administrasi yang disetor kepada negara, bukan untuk biaya operasional penghulu/petugas pelayanan pernikahan. Ada pula yang memahami bahwa pembayaran itu denda kalau pernikahan tidak dilakukan di KUA.
  4. Implikasi positif dari implementasi PP 48 adalah proses pencatatan administrasi pernikahan yang lebih rapi dan detil, baik di tingkat KUA Kecamatan maupun di tingkat Kemenag Kab/Kota.

Implikasi negatifnya adalah tidak terakomodasinya peran imam desa/kelurahan. Mereka tidak mendapatkan porsi karena memang bukan menjadi bagian dari struktur kementerian agama. Apalagi di hampir seluruh lokasi penelitian (kecuali Kalimantan Timur), peran PPPN yang selama ini dijabat oleh imam desa/kelurahan sudah tidak difungsikan lagi. Akibatnya, di Konawe (Kendari), pihak desa mengeluarkan peraturan desa yang membebankan biaya nikah sebesar Rp. 500.000- Rp. 600.000 di luar yang ditetapkan oleh PP 48.

Implikasi lainnya adalah berpotensi semakin menimbulkan inefesiensi, khususnya pada peristiwa nikah yang terjadi bersamaan. Ketersediaan jumlah tenaga penghulu di seluruh KUA tidak memadai untuk melayani peristiwa nikah ditambah dengan semangat para penghulu untuk mendapatkan penghasilan dari setiap peristiwa nikah membuat pelayanan pernikahan menjadi in-efesien. Akibat lainnya adalah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Banyak praktik ditemukan, pihak KUA menggunakan tenaga penyuluh atau honorer untuk membantu melakukan pelayanan pernikahan. Padahal, KMA No. 11 Tahun 2007 hanya membolehkan penghulu dan PPPN sebagai petugas pelayanan pencatatan pernikahan.

Meski belum massif, tetapi implementasi PP 48 sudah mulai mendorong minat warga untuk melakukan pernikahan di KUA. Ini setidaknya sudah terlihat di Gorontalo, Luwuk Banggai (Sulawesi Tengah), dan Konawe (Sulawesi Tenggara). Fenomena ini sayangnya tidak disertai dengan perbaikan infrastruktur KUA. Akibatnya, sistem pernikahan yang berbasis adat sulit untuk dilaksanakan secara normal.

 

Rekomendasi

Berdasarkan temuan diatas, peneliti merekomendasikan:

  1. Perlunya optimalisasi sosialisasi PP No. 48 tahun 2014.
  2. Penguatan kapasitas kelembagaan melalui penyediaan kelengkapan infrastruktur,  penguatan sumber daya manusia, dan rekruitmen tenaga fungsional penghulu.
  3. Perlunya sinkronisasi peraturan PP No. 48 tahun 2014 dengan peraturan lain.
  4. Perlu dirumuskan surat keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
  5. Perlu peninjauan ulang tenaga penghulu yang merangkap jabatan sebagai Kepala KUA.
  6. Pengelolaan PNBP Yang tersentralisasi agar ditinjau kembali.
  7. Perlunya kajian komprehensif tentang konsep gratifikasi.

 

Riset ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat implementasi PP No. 48 Tahun 2014 (termasuk PMA No. 46 tahun 2014 dan Juknis Dirjen Bimas Islam No. 487 tahun 2014 sebagai turunan) di lapangan. Tujuannya adalah untuk mengetahui implikasi baik positif maupun negatif yang muncul dari proses implementasi PP 48 tersebut. Teori yang digunakan sebagai guide analisis adalah teori implementasi Weimer dan Vinning dengan tiga sudut pandang yaitu; logika kebijakan, implementator, dan lingkungan.

Sumber data utama penelitian ini adalah KUA kecamatan (Kepala KUA dan penghulu). Jumlah KUA Kecamatan yang menjadi sampel penelitian sebanyak 75 buah yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota dari enam provinsi sasaran penelitian. Data yang diperoleh berupa proses sosialisasi dan kualitas implementasi PP 48. Sumber data pendukung adalah Kepala Kanwil Kementerian Agama, Kepala Kantor Kemenag Kab/Kota, Pembimas Islam Kemenag Kab/Kota, imam, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, LSM, dan beberapa orang informan dari warga yang melakukan pernikahan sejak Agustus 2014-Pebruari 2015. Sumber data lainnya adalah pengamatan peneliti terhadap situasi kantor KUA dan proses pelayanan pernikahan di hari akad nikah.

Riset dilakukan selama 15 hari sejak tanggal 24 Pebruari – 10 Maret 2015. Lokasi penelitian meliputi; Sulawesi Selatan (sampel kab/kota: Makassar, Pare-Pare, dan Bantaeng), Sulawesi Tenggara (Kendari dan Konawe), Sulawesi Tengah (Palu dan Luwuk Banggai), Sulawesi Barat (Majene dan Polewali Mandar), Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan dan Berau), Gorontalo (Kota Gorontalo).

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia