Respon Masyarakat terhadap Aliran Bermasalah

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Makassar

Diunduh: 40x

Dilihat 353x

Editor: blamakassar

Abstrak:

Penelitian ini berangkat dari asumsi kurangnya data tentang pendapat publik tentang aliran bermasalah. Selama ini perbincangan tentang aliran bermasalah bersifat normatif, lebih diarahkan kepada fondasi ajaran keagamaan yang dimaksud yang berujung pada kesimpulan, sesat atau tidaknya kelompok itu. Penelitian ini tidak berpretensi untuk mengindentifikasi aliran-aliran keagamaan di lokasi penelitian tetapi untuk mengetahui respon masyarakat terhadap kemunculan aliran keagamaan yang bermasalah. Ini penting karena selama ini fatwa atau surat pelarangan aliran-aliran bermasalah selalu menyertakan klausul “kepentingan publik” sebagai alasan.

Aliran bermasalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aliran keagamaan yang dianggap bermasalah oleh masyarakat setempat. Itu berarti aliran bermasalah yang dimaksud adalah aliran yang memiliki perbedaan teologis dan ritual dengan kelompok mainstream.

Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten/kota di empat provinsi yang berbeda, yaitu Kab. Bulukumba dan Kota Palopo (Sulawesi Selatan), Kota Palu dan Luwu Banggai (Sulawesi Tengah), Kota Kendari dan Kab. Buton (Sulawesi Tenggara), Samarinda dan Bontang (Kalimantan Timur). Lokasi ini dipilih karena di delapan kab/kota itu terdapat aliran keagamaan yang telah mendapatkan surat keputusan sesat dari lembaga keagamaan setempat. Empat dari lokasi penelitian ini merupakan basis Ahmadiyah dan sudah pernah terjadi kasus-kasus berupa tindakan undelegitimatif seperti penutupan rumah ibadah di Samarinda, penyerangan di Bulukumba dan Buton, kecuali di Bontang yang tidak pernah terjadi kasus. Selain Ahmadiyah, ada aliran Ali Taetang (Sulawesi Tengah), Baha’i di Kota Palopo dan Tarikat Ma’rifatullah di Kota Kendari (Sulawesi Tenggara).

Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan dilengkapi dengan wawancara pada aspek-aspek yang dianggap perlu. Responden yang terjaring sebanyak 800 orang dengan sistem quota sampling. Masing-masing lokasi penelitian 100 angket. Indikator yang diukur mengarah pada tiga variabel yaitu pengetahuan, sikap, dan relasi responden dengan aliran yang dianggap bermasalah.

Responden penelitian ini rata-rata masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan paling tinggi SMA, penghasilan di bawah 2,5 juta perbulan, sebagian besar terafiliasi pada NU (kecuali di Sulawesi Selatan dan Palu(Sulawesi Tengah) yang tidak terafiliasi dalam organisasi apapun), dan pekerjaan sektor informal (pedagang, petani, dan wiraswasta).

Lampiran Tidak Tersedia

Executive Summary

Penelitian Tentang:

RESPON MASYARAKAT TERHADAP ALIRAN BERMASALAH

Pendahuluan

Penelitian ini berangkat dari asumsi kurangnya data tentang pendapat publik tentang aliran bermasalah. Selama ini perbincangan tentang aliran bermasalah bersifat normatif, lebih diarahkan kepada fondasi ajaran keagamaan yang dimaksud yang berujung pada kesimpulan, sesat atau tidaknya kelompok itu. Penelitian ini tidak berpretensi untuk mengindentifikasi aliran-aliran keagamaan di lokasi penelitian tetapi untuk mengetahui respon masyarakat terhadap kemunculan aliran keagamaan yang bermasalah. Ini penting karena selama ini fatwa atau surat pelarangan aliran-aliran bermasalah selalu menyertakan klausul “kepentingan publik” sebagai alasan.

Aliran bermasalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aliran keagamaan yang dianggap bermasalah oleh masyarakat setempat. Itu berarti aliran bermasalah yang dimaksud adalah aliran yang memiliki perbedaan teologis dan ritual dengan kelompok mainstream.

Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten/kota di empat provinsi yang berbeda, yaitu Kab. Bulukumba dan Kota Palopo (Sulawesi Selatan), Kota Palu dan Luwu Banggai (Sulawesi Tengah), Kota Kendari dan Kab. Buton (Sulawesi Tenggara), Samarinda dan Bontang (Kalimantan Timur). Lokasi ini dipilih karena di delapan kab/kota itu terdapat aliran keagamaan yang telah mendapatkan surat keputusan sesat dari lembaga keagamaan setempat. Empat dari lokasi penelitian ini merupakan basis Ahmadiyah dan sudah pernah terjadi kasus-kasus berupa tindakan undelegitimatif seperti penutupan rumah ibadah di Samarinda, penyerangan di Bulukumba dan Buton, kecuali di Bontang yang tidak pernah terjadi kasus. Selain Ahmadiyah, ada aliran Ali Taetang (Sulawesi Tengah), Baha’i di Kota Palopo dan Tarikat Ma’rifatullah di Kota Kendari (Sulawesi Tenggara).

Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan dilengkapi dengan wawancara pada aspek-aspek yang dianggap perlu. Responden yang terjaring sebanyak 800 orang dengan sistem quota sampling. Masing-masing lokasi penelitian 100 angket. Indikator yang diukur mengarah pada tiga variabel yaitu pengetahuan, sikap, dan relasi responden dengan aliran yang dianggap bermasalah.

Responden penelitian ini rata-rata masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan paling tinggi SMA, penghasilan di bawah 2,5 juta perbulan, sebagian besar terafiliasi pada NU (kecuali di Sulawesi Selatan dan Palu(Sulawesi Tengah) yang tidak terafiliasi dalam organisasi apapun), dan pekerjaan sektor informal (pedagang, petani, dan wiraswasta).

 

Temuan

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1.       Pengetahuan responden terhadap aliran keagamaan bermasalah hanya bersifat teknis. Artinya publik mengetahui aliran tersebut sesat dari lembaga keagamaan dan diperkuat dengan informasi media massa. Kecuali untuk kasus tarikat Ma’rifatullah (Kendari) yang banyak diketahui dari jaringan sosial (kekerabatan dan pertemanan). Tetapi, responden tidak mengetahui secara detil dasar-dasar keagamaan aliran bermasalah tersebut.

2.       Responden secara umum mengakui kalau kehadiran aliran bermasalah ini cukup meresahkan dan patut diwaspadai (kecuali kasus Bulukumba yang relatif tidak merasa resah). Tetapi responden juga mengakui kalau kehadiran aliran ini tidak cukup kuat untuk mempengaruhi akidah keagamaan mereka.

3.       Responden menunjukkan sikap penolakan pada aspek-aspek yang bersifat sosial seperti kesediaan bertetangga dan menikah.

4.       Responden secara umum menolak tindakan kekerasan terhadap mereka dan lebih suka untuk menyerahkan kepada pemerintah, kepolisian, dan lembaga keagamaan untuk menangani kehadiran aliran-aliran ini.

5.       Relasi antara responden dan aliran-aliran ini sangat kurang. Mayoritas responden tidak pernah berhubungan dengan aliran tersebut.

Secara umum hasil penelitian menunjukkan adanya sikap dewasa dari mayoritas responden dalam menyikapi kehadiran aliran-aliran keagamaan yang dianggap bermasalah. Tetapi, di beberapa tempat seperti Bontang, Samarinda, Buton, dan Kendari jumlah responden yang permissif terhadap tindak kekerasan terhadap mereka relatif tinggi, antara 15-25%, termasuk keinginan untuk mengusir mereka dari tempat tinggal juga relatif tinggi, antara 11-20%. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian secara serius.

Kasus kekerasan terhadap salah satu kelompok keagamaan bermasalah terjadi beriringan dengan munculnya organisasi yang berhaluan puritan. Hal ini juga patut menjadi perhatian karena organisasi puritanis ini sedang mengembangkan organisasi secara massif di wilayah kabupaten (tidak hanya diperkotaan). Kehadiran organisasi ini bisa memicu sebagian responden (yang permissif terhadap tindak kekerasan) untuk melakukan tindak kekerasan. 

Rekomendasi

Berdasarkan pada hasil penelitian diatas, peneliti merekomendasikan beberapa hal:

1.       Pemerintah dan lembaga keagamaan lebih menguatkan inventarisasi aliran-aliran keagamaan yang berkembang, termasuk perhatian lebih kepada aliran yang memiliki paham dan praktik keagamaan yang berbeda dengan masyarakat banyak.

2.       Pemerintah perlu memberi perhatian lebih kepada organisasi keagamaan puritanis yang berpotensi melakukan kekerasan kepada aliran keagamaan yang dianggap berbeda secara teologis, dan berpotensi untuk memicu masyarakat lain untuk terlibat dalam kasus kekerasan.

3.       Kementerian agama dan pemerintah setempat perlu terus menerus mengupayakan dialog untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa berakibat rusuh sosial.

4.       Kementerian agama perlu memperkuat peran penyuluh dan dai untuk mengkampanyekan wacana Islam damai, sekaligus menjadi tim deteksi dini terhadap kemunculan aliran-aliran keagamaan bermasalah.

5.       Penguatan lembaga keagamaan di tingkat pedesaan untuk mengawal dan mendeteksi kemunculan aliran-aliran keagamaan.

 

Penelitian ini berangkat dari asumsi kurangnya data tentang pendapat publik tentang aliran bermasalah. Selama ini perbincangan tentang aliran bermasalah bersifat normatif, lebih diarahkan kepada fondasi ajaran keagamaan yang dimaksud yang berujung pada kesimpulan, sesat atau tidaknya kelompok itu. Penelitian ini tidak berpretensi untuk mengindentifikasi aliran-aliran keagamaan di lokasi penelitian tetapi untuk mengetahui respon masyarakat terhadap kemunculan aliran keagamaan yang bermasalah. Ini penting karena selama ini fatwa atau surat pelarangan aliran-aliran bermasalah selalu menyertakan klausul “kepentingan publik” sebagai alasan.

Aliran bermasalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aliran keagamaan yang dianggap bermasalah oleh masyarakat setempat. Itu berarti aliran bermasalah yang dimaksud adalah aliran yang memiliki perbedaan teologis dan ritual dengan kelompok mainstream.

Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten/kota di empat provinsi yang berbeda, yaitu Kab. Bulukumba dan Kota Palopo (Sulawesi Selatan), Kota Palu dan Luwu Banggai (Sulawesi Tengah), Kota Kendari dan Kab. Buton (Sulawesi Tenggara), Samarinda dan Bontang (Kalimantan Timur). Lokasi ini dipilih karena di delapan kab/kota itu terdapat aliran keagamaan yang telah mendapatkan surat keputusan sesat dari lembaga keagamaan setempat. Empat dari lokasi penelitian ini merupakan basis Ahmadiyah dan sudah pernah terjadi kasus-kasus berupa tindakan undelegitimatif seperti penutupan rumah ibadah di Samarinda, penyerangan di Bulukumba dan Buton, kecuali di Bontang yang tidak pernah terjadi kasus. Selain Ahmadiyah, ada aliran Ali Taetang (Sulawesi Tengah), Baha’i di Kota Palopo dan Tarikat Ma’rifatullah di Kota Kendari (Sulawesi Tenggara).

Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan dilengkapi dengan wawancara pada aspek-aspek yang dianggap perlu. Responden yang terjaring sebanyak 800 orang dengan sistem quota sampling. Masing-masing lokasi penelitian 100 angket. Indikator yang diukur mengarah pada tiga variabel yaitu pengetahuan, sikap, dan relasi responden dengan aliran yang dianggap bermasalah.

Responden penelitian ini rata-rata masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan paling tinggi SMA, penghasilan di bawah 2,5 juta perbulan, sebagian besar terafiliasi pada NU (kecuali di Sulawesi Selatan dan Palu(Sulawesi Tengah) yang tidak terafiliasi dalam organisasi apapun), dan pekerjaan sektor informal (pedagang, petani, dan wiraswasta).

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia