POLA KEHIDUPAN BERAGAMA REMAJA SETINGKAT SMA DI PROVINSI JAWA TENGAH DAN D.I. YOGYAKARTA

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Semarang

Diunduh: 32x

Dilihat 567x

Editor: blasemarang

Abstrak:

Latar belakang

 

Islam,   meskipun   turun   sebagai   agama   langit   yang   universal,   ketika mengalami proses pembumian di setiap negara terbagi dalam dua arus utama: Sunni dan Syi’ah. Indonesia adalah negeri dimana penganut Sunni sangat dominan dan Syi’ah hanya dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Sunni di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama mewakili sebagian terbesar ummat Islam Sunni yang berkarakter tradisional dengan figur ulama ortodoksnya (kiyai). Sementara Muhammadiyah mewakili ummat Islam Sunni yang modern, anti bid’ah, tahyul dan khurafat. Sementara itu, di luar dari kedua kelompok ini, yang tidak terpaku pada ajaran tradisional maupun modern yaitu kelompok Islam sempalan. Gerakan Islam sempalan (splinter groups) mengalami pertumbuhan di banyak kota-kota besar di negara-negara muslim dunia. Sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain, di Indonesia pun Islam mengalami kebangkitan di banyak kota. Namun nilai-nilai spiritual masih mampu mengalahkan nilai-nilai materialis. Pada saat yang sama sebagian pemuda Islam menuntut ilmu ke berbagai tempat di Timur Tengah, di antaranya Cairo, Damaskus dan Bagdad. Mereka kemudian pulang ke negerinya dengan membawa pandangan baru tentang posisi Islam di dunia ini. Hal inilah yang menyebabkan suburnya Islam Fundamentalis di Indonesia sangat beragam dan menjadi anutan mayoritas umat islam di Indonesia. (Al Chaidar, 1-20)

Paham keagamaan yang muncul setelah era reformasi merupakan sebuah pemahaman keagamaan yang berasal dari negara timur tengah. Kebangkitan paham ini dinilai sebagai sebuah awal kebangkitan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Paham ini  bersifat  internasional,  yang menjalar berkembang ke luar negara  lain.  Bagi kelompok yang sudah kuat menancapkan kakinya, sudah menjarah ke area politik. Hasil yang telah dicapai, beberapa diantaranya menjadi kekuatan politik yang kuat dan gerakan dakwah yang bercita-cita mendirikan terwujudnya masyarakat muslim yang lebih baik dan lebih taat. (Asnawati, 2011)

Hal ini bersamaan dengan terbukanya kran demokrasi menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Paham keagamaan sering digunakan sebagai alasan munculnya fenomena radikalisme. Padahal terdapat beberapa alasan yang

 

sangat mendasar bersifat duniawi seperti ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Persoalan serius adalah saat radikalisme itu tumbuh menjadi sebuah tindakan yang disebut dengan terorisme. Dua hal itu yang menjadkan agama Islam selalu menjadi sasaran tuduhan sebagai agama teror yang berbau kekerasan dalam penyebaran agamanya. Sehingga hal ini sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan. (Abu Rohmad, 2012 : 80)

“Data yang dapat dihimpun dari aksi-aksi radikal kelompok radikalisme dan terorisme di antaranya adalah: 1). Kerusuhan Tasikmalaya 26 Desember 1996 (diawali kasus Hanja dan Cibuntiris Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya) berkaitan dengan faham keagamaan; 2). Kerusuhan Karawang 1996; 3). Peledakan Bom malam Natal di Pangandaran; 4). Bom di Atrium Senen Jakarta tahun 1998;

5). Bom di Masjid Istiqlal Jakarta tahun 1999; 6). Bom di Gedung Bursa Efek Jakarta tahun 2000; 7). Bom di Rumah Dubes Philipina Jakarta tahun 2000; 8). Bom di Kompleks Mabes Polri Jakarta tanggal 3 Februari 2002; 9). Bom Kuta Bali tahun 2002 (dikenal dengan Bom Bali I); 10). Bom di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta tanggal 27 April 2003; 11). Bom di Hotel J.W. Marriott Jakarta tanggal 5

Agustus 2003; 12). Bom di Palopo tanggal 10 Januari 2004; 13). Bom di Kedubes

 

Australia Jakarta tahun 2004; 14). Bom Bom di Gereja Immanuel Palu tanggal 12

 

Desember 2004; 15). Bom di Ambon tanggal 21 Maret 2005; 16). Bom di Tantena tanggal 28 Mei 2005; 17). Bom di Pamulang Tangerang tanggal 8 Juni 2005;

18). Bom di Legian Bali tanggal 1 Oktober 2005; 19). Bom di Pasar Palu tanggal

 

31 Desember 2005; 20). Bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Charlton Jakarta tanggal 17 Juli 2009; 21). Bom di Masjid Makopolres Cirebon tanggal 15 April

2011; 22). Bom di Gading Serpong tanggal 22 April 2011; 23). Bom di Gereja

 

Kepunthon Solo tanggal 25 September 2011; 24). Bom di Solo tanggal 19 Agustus

 

2012; dan 25).  Kasus  Ciputat  2013  (ada pelaku  warga dari  Tasikmalaya  yang berhaluan radikal)”. (Utawijaya Kusumah : 1)

Gambaran diatas merupakan kejadian realitas di tengah masyarakat di sekitar kita. Pelakunya ketika tertangkap rata-rata masih termasuk golongan remaja sampai muda dewasa. Sehingga hal ini berkaitan dengan psikologi yang masih labil dan pengaruh lingkungan yang sudah sangat komplek, tentunya dapat mengakibatkan pada perilaku yang tidak terkendali.

Faham  kekerasan   yang  mendasarkan  agama  sangat  mudah  ditularkan, terutama dikalangan usia muda. Termasuk didalamnya masa remaja yang merupkan

 

masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Jadi masa remaja merupakan masa jeda sebelum memasuki masa muda. Pada masa ini merupakan proses pencarian jatidirinya, sehingga merupakan masa-masa yang muda terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat kebaruan. Termasuk masalah cara memahami keberagamaan, termasuk didalamnya pengaruh radikalisme.

Padahal remaja dan pemuda adalah tunas harapan bangsa sebagai penerus tongkat estafet pembangunan. Pemuda merupakan kekuatan utama sebuah bangsa, karena tenaga dan pikirannya sangat menentukan keberlangsungan sebuah negara. Khusus daam perkembangan psikologi remaja, Monks (2002) dalam Nunung menyebutkan bahwa “perkembangan kognisi remaja berimplikasi pada perkembangan sosialnya. Menurut Santrock (2003) bahwa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: 1) 12- 15 tahun, Masa remaja awal; 2) 15-18 tahun, Masa remaja pertengahan; 3) 18-21 tahun, Masa remaja akhir”. (Nunung Unayah, 2015 : 124)

Sedangkan menurut Hurlock (1999) masih dalam Nunung, bahwa “ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut: 1). Masa remaja sebagai periode yang penting, karena perkembangan fisik, mental yang cepat dan penting dan adanya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru; 2). Masa adanya suatu perubahan sikap dan perilaku dari anak-anak ke menuju dewasa; 3). Masa remaja sebagai periode perubahan, karena ada 5 perubahan yang bersifat universal yaitu perubahan emosi, tubuh, minat dan pola perilaku, dan perubahan nilai; 4). Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena pada masa kanak-kanak masalah- masalahnya sebagian besar diselesaikan oleh guru dan orang tua sehingga kebanyakan remaja kurang berpengalaman  dalam  mengatasi  masalah;  5). Masa remaja sebagai masa mencari identitas, karena remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya; 6). Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena adanya anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak- anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi; 7). Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Karena remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam

 

cita-cita; dan 8). Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, karena remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan orang dewasa”. (Nunung Unayah, 2015 : 125)

Harlock dalam wibowo, menjelaskan bahwa “perubahan masa puber pada masa remaja, berupa sikap dan perilaku. Anak-anak biasanya menarik diri dari teman-teman dan dari pelbagai kegiatan keluarga, dan sering bertengkar dengan teman-temannya dan anggota keluarganya”. “Pada masa puber ini juga terjadi pola perubahan minat religius pada diri remaja dimana remaja sering bersikap skeptis pada pelbagai bentuk religius seperti berdoa, upacara-upacara gereja yang formal dan kemudian meragukan isi religius seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi beberapa remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja yang lain berusaha mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut keluarganya”. “Namun lambat laun remaja membutuhkan keyakinan agama meskipun ternyata keyakinan pada masa kanakkanak tidak lagi memuaskan. Bila hal  ini  terjadi,  ia  mencari  kepercayaan  baru—kepercayaan  pada  sahabat  karib sesama jenis atau lawan jenis atau kepercayaan pada salah satu kultus agama baru. Kultus ini selalu muncul di berbagai negara dan mempunyai daya tarik yang kuat bagi remaja dan pemuda yang kurang mempunyai ikatan religius.” (AM Wibowo,

2012 : 246)

 

Agama pada hakekatnya adalah ajaran Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia melalui perantaraan seorang Nabi atau Rasul, kemudian dipahami dan diajarkan dari generasi ke generasi. Lahirnya paham keagamaan merupakan cara umat memberikan tafsir terhadap teks atau ajaran agama terkait dengan perubahan lingkungan sosial dan budaya masyarakat.(Mufid, 2011)

Pengaruh terhadap remaja ini disinyalir ada yang lewat dunia pendidikan. Memanfaatkan  jalur  pendidikan  akan  lebih  mudah,  karena  dengan  bungkus pelajaran agama akan lebih mudah diterima. Sebuah pengetahuan akan berpengaruh dalam transfer knowledge dengan siapa yang membawakannya. Pemahaman guru terhadap ajaran agama akan berpengaruh pada warna hasil pengajarannya.

“Pendidikan dan lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penyebar benih  radikalisme dan sekaligus  penangkal  (baca: deradikalisasi)  Islam  radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga pendidikan  Islam  tertentu  (terutama  yang  nonformal,  seperti  pesantren)  telah

 

mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik. Belakangan, sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah Putih saat upacara bendera”. (Abu Rohmad, 2012 : 80)

Melihat perkembangan paham keagamaan di Indonesia, hal ini juga berpengaruh  pada  pola  pikir  dikalangan  remaja.  Pola  pikir  remaja  yang  masih sangat  labil  sangat  mudah dipengaruhi  oleh  hal-hal  yang serba baru. Sehingga selain  kenakalan  remaja  yang  sudah  menjurus  ke  kriminalisasi  dan  masalah- masalah sosial seperti yang tertera pada paragraf sebelumnya, masih ada sesuatu permsalahan   yang   sangat   serius,   yaitu   bentuk   bentuk   penyimpangan   dari pemahaman keagamaan. Penyimpangan paham keagamaan ini yang akhirnya akan menimbulkan sikap radikal dalam kerangka hanya melihat dirinya sendiri yang benar. Orang lain di luar dirinya adalah bukan orang baik, bahkan bisa dikatakan

kafir.

 

Hal ini bisa dibuktikan dengan catatan beberapa pelaku jihad bom bunuh diri (menurut  versi  pemikiran  mereka)  adalah  masih  berusia  muda.  Hubungannya dengan usia remaja adalah perekrutannya untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (pengantin) pasti memerlukan waktu untuk proses perekrutan dan merubah cara berpikirnya. Sehingga para remaja sangat potensial sekali untuk menjadi target perekrutan sebagai pelaku. Menurut keterangan ketua FKPT Jawa Tengan DR Najahan  Musafak,  pada  acara  pembekalan  pengayaan  materi  dalam  rangka persiapan penelitian, pada tanggal 19 Januari 2017, pernah mendampingi siswa yang sudah ke arah radikalisme tindakannya. Ketika ditanya apakah yang menjadikan latar belakangnya sehingga bisa melakukan hal tersebut. Jawabannya adalah melakukan jihad,  sehingga hal ini telah membuktikan bahwa pola pikir radikalisme sudah sampai di kalangan remaja.

Wahid Institute sepanjang Juli-Desember 2015 mengadakan survei kepada

 

500 siswa di 5 sekolah menengah negeri di Jabodetabek dengan menggunakan papan permainan Negeri Kompak yang dibuat mirip permainan monopoli. Hasil yang  menarik,  ditemukan  fakta  indikasi  intoleran  dalam  sekolah  negeri  yang

‘khittah’-nya sebagai lumbung persemaian toleransi. Di antara temuannya semisal, dari 306 siswa, yang tidak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas  tindakan  perusakan  rumah  ibadah  mereka  sebanyak  15%,  ragu-ragu

 

27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit

 

3%, ragu-ragu 3%. Secara umum, pandangan kaum pelajar di sekolah negeri di Jabodetabek terbuka dan toleran, tetapi kecenderungan intoleransi dan radikalisme terus menguat (www.wahidinstitute.org. Diakses pada 17 Januari 2017).

Pandangan pakar pendidikan Darmaningtyas, Program Manager Maarif Institute Helmy Pribadi, pengamat di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Mohammad Iqbal Ahnaf, serta peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin, yang dimuat dimedia online www.beritasatu.com menyatakan bahwa penetrasi paham radikalisme dan ekstremisme di sekolah dan perguruan tinggi, dinilai sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Selain guru, keterlibatan alumni ditengarai juga berkontribusi dalam penyebaran paham yang berpotensi mengancam keutuhan dan integrasi bangsa ini. Untuk itu, pemerintah diminta memprioritaskan upaya menangkalnya, agar generasi muda yang merupakan calon pemimpin bangsa tidak lahir menjadi generasi yang radikal. Darmaningtyas menjelaskan, radikalisme dan ekstremisme di kalangan anak didik tumbuh secara evolutif. Pengaruhnya bukan hanya dari lingkungan sekolah, tetapi juga dari luar sekolah. Menurutnya, hal yang juga harus diwaspadai adalah peran alumni yang kerap masih terlibat dalam berbagai kegiatan di sekolah dan kampus. Para alumni yang terlibat dalam kegiatan kerohanian, berpotensi menanamkan paham tersebut di kalangan juniornya.

Sementara itu, Helmy Pribadi mengungkapkan, temuan Maarif Institute pada survei tahun 2011 menunjukkan fakta bahwa sekolah menjadi salah satu target penetrasi paham-paham radikal. Pengawasan yang lemah dari internal sekolah memuluskan radikalisme merasuk ke anak didik. “Sekolah harus bisa mengawasi kelompok-kelompok yang masuk atau terlibat dalam kegiatan kerohanian anak didiknya,” katanya. Dia mengingatkan, penetrasi paham radikal di sekolah kerap dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan kerohanian, terutama kegiatan ekstrakurikuler. “Kegiatan seperti itu sangat rentan dipenetrasi oleh kelompok radikal,” jelasnya.

Sedangkan,   Muhadjir   Darwin   mengatakan   paham   radikalisme   yang cenderung menyasar generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa, juga ditopang oleh redupnya politik keagamaan yang moderat, dan maraknya politik keagamaan radikal di panggung politik praktis nasional. Karena itu, karakter yang pas untuk menghidupkan kembali nilai-nilai moderat itu adalah melalui ormas keagamaan

 

yang moderat juga. “Ormas semacam ini  yang mampu menahan derasnya arus radikalisasi,” jelasnya. Senada dengan yang lain, Muhadjir juga mengingatkan fenomena radikalisasi di kalangan terdidik jangan dibiarkan. “Sangat disayangkan jika radikalisasi dibiarkan. Jika tidak dihentikan, Indonesia akan terjerembab ke dalam situasi seperti di Balkan atau Timur Tengah. Poso dan Maluku telah mengalaminya,”  ungkapnya.  http://www.beritasatu.com/pendidikan/402127- alumni-berperan-sebarkan-paham-radikalisme.html,   diakses   tanggal   13   Januari

2016)

 

Dari uraian diatas maka Balai Litbang Agama Semarang perlu mengadakan penelitian tentang “Pola Kehidupan Beragama Remaja Setingkat SMA Di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta”.

 

Lampiran Tidak Tersedia

Latar belakang

 

Islam,   meskipun   turun   sebagai   agama   langit   yang   universal,   ketika mengalami proses pembumian di setiap negara terbagi dalam dua arus utama: Sunni dan Syi’ah. Indonesia adalah negeri dimana penganut Sunni sangat dominan dan Syi’ah hanya dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Sunni di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama mewakili sebagian terbesar ummat Islam Sunni yang berkarakter tradisional dengan figur ulama ortodoksnya (kiyai). Sementara Muhammadiyah mewakili ummat Islam Sunni yang modern, anti bid’ah, tahyul dan khurafat. Sementara itu, di luar dari kedua kelompok ini, yang tidak terpaku pada ajaran tradisional maupun modern yaitu kelompok Islam sempalan. Gerakan Islam sempalan (splinter groups) mengalami pertumbuhan di banyak kota-kota besar di negara-negara muslim dunia. Sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain, di Indonesia pun Islam mengalami kebangkitan di banyak kota. Namun nilai-nilai spiritual masih mampu mengalahkan nilai-nilai materialis. Pada saat yang sama sebagian pemuda Islam menuntut ilmu ke berbagai tempat di Timur Tengah, di antaranya Cairo, Damaskus dan Bagdad. Mereka kemudian pulang ke negerinya dengan membawa pandangan baru tentang posisi Islam di dunia ini. Hal inilah yang menyebabkan suburnya Islam Fundamentalis di Indonesia sangat beragam dan menjadi anutan mayoritas umat islam di Indonesia. (Al Chaidar, 1-20)

Paham keagamaan yang muncul setelah era reformasi merupakan sebuah pemahaman keagamaan yang berasal dari negara timur tengah. Kebangkitan paham ini dinilai sebagai sebuah awal kebangkitan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Paham ini  bersifat  internasional,  yang menjalar berkembang ke luar negara  lain.  Bagi kelompok yang sudah kuat menancapkan kakinya, sudah menjarah ke area politik. Hasil yang telah dicapai, beberapa diantaranya menjadi kekuatan politik yang kuat dan gerakan dakwah yang bercita-cita mendirikan terwujudnya masyarakat muslim yang lebih baik dan lebih taat. (Asnawati, 2011)

Hal ini bersamaan dengan terbukanya kran demokrasi menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Paham keagamaan sering digunakan sebagai alasan munculnya fenomena radikalisme. Padahal terdapat beberapa alasan yang

 

sangat mendasar bersifat duniawi seperti ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Persoalan serius adalah saat radikalisme itu tumbuh menjadi sebuah tindakan yang disebut dengan terorisme. Dua hal itu yang menjadkan agama Islam selalu menjadi sasaran tuduhan sebagai agama teror yang berbau kekerasan dalam penyebaran agamanya. Sehingga hal ini sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan. (Abu Rohmad, 2012 : 80)

“Data yang dapat dihimpun dari aksi-aksi radikal kelompok radikalisme dan terorisme di antaranya adalah: 1). Kerusuhan Tasikmalaya 26 Desember 1996 (diawali kasus Hanja dan Cibuntiris Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya) berkaitan dengan faham keagamaan; 2). Kerusuhan Karawang 1996; 3). Peledakan Bom malam Natal di Pangandaran; 4). Bom di Atrium Senen Jakarta tahun 1998;

5). Bom di Masjid Istiqlal Jakarta tahun 1999; 6). Bom di Gedung Bursa Efek Jakarta tahun 2000; 7). Bom di Rumah Dubes Philipina Jakarta tahun 2000; 8). Bom di Kompleks Mabes Polri Jakarta tanggal 3 Februari 2002; 9). Bom Kuta Bali tahun 2002 (dikenal dengan Bom Bali I); 10). Bom di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta tanggal 27 April 2003; 11). Bom di Hotel J.W. Marriott Jakarta tanggal 5

Agustus 2003; 12). Bom di Palopo tanggal 10 Januari 2004; 13). Bom di Kedubes

 

Australia Jakarta tahun 2004; 14). Bom Bom di Gereja Immanuel Palu tanggal 12

 

Desember 2004; 15). Bom di Ambon tanggal 21 Maret 2005; 16). Bom di Tantena tanggal 28 Mei 2005; 17). Bom di Pamulang Tangerang tanggal 8 Juni 2005;

18). Bom di Legian Bali tanggal 1 Oktober 2005; 19). Bom di Pasar Palu tanggal

 

31 Desember 2005; 20). Bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Charlton Jakarta tanggal 17 Juli 2009; 21). Bom di Masjid Makopolres Cirebon tanggal 15 April

2011; 22). Bom di Gading Serpong tanggal 22 April 2011; 23). Bom di Gereja

 

Kepunthon Solo tanggal 25 September 2011; 24). Bom di Solo tanggal 19 Agustus

 

2012; dan 25).  Kasus  Ciputat  2013  (ada pelaku  warga dari  Tasikmalaya  yang berhaluan radikal)”. (Utawijaya Kusumah : 1)

Gambaran diatas merupakan kejadian realitas di tengah masyarakat di sekitar kita. Pelakunya ketika tertangkap rata-rata masih termasuk golongan remaja sampai muda dewasa. Sehingga hal ini berkaitan dengan psikologi yang masih labil dan pengaruh lingkungan yang sudah sangat komplek, tentunya dapat mengakibatkan pada perilaku yang tidak terkendali.

Faham  kekerasan   yang  mendasarkan  agama  sangat  mudah  ditularkan, terutama dikalangan usia muda. Termasuk didalamnya masa remaja yang merupkan

 

masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Jadi masa remaja merupakan masa jeda sebelum memasuki masa muda. Pada masa ini merupakan proses pencarian jatidirinya, sehingga merupakan masa-masa yang muda terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat kebaruan. Termasuk masalah cara memahami keberagamaan, termasuk didalamnya pengaruh radikalisme.

Padahal remaja dan pemuda adalah tunas harapan bangsa sebagai penerus tongkat estafet pembangunan. Pemuda merupakan kekuatan utama sebuah bangsa, karena tenaga dan pikirannya sangat menentukan keberlangsungan sebuah negara. Khusus daam perkembangan psikologi remaja, Monks (2002) dalam Nunung menyebutkan bahwa “perkembangan kognisi remaja berimplikasi pada perkembangan sosialnya. Menurut Santrock (2003) bahwa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: 1) 12- 15 tahun, Masa remaja awal; 2) 15-18 tahun, Masa remaja pertengahan; 3) 18-21 tahun, Masa remaja akhir”. (Nunung Unayah, 2015 : 124)

Sedangkan menurut Hurlock (1999) masih dalam Nunung, bahwa “ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut: 1). Masa remaja sebagai periode yang penting, karena perkembangan fisik, mental yang cepat dan penting dan adanya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru; 2). Masa adanya suatu perubahan sikap dan perilaku dari anak-anak ke menuju dewasa; 3). Masa remaja sebagai periode perubahan, karena ada 5 perubahan yang bersifat universal yaitu perubahan emosi, tubuh, minat dan pola perilaku, dan perubahan nilai; 4). Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena pada masa kanak-kanak masalah- masalahnya sebagian besar diselesaikan oleh guru dan orang tua sehingga kebanyakan remaja kurang berpengalaman  dalam  mengatasi  masalah;  5). Masa remaja sebagai masa mencari identitas, karena remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya; 6). Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena adanya anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak- anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi; 7). Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Karena remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam

 

cita-cita; dan 8). Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, karena remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan orang dewasa”. (Nunung Unayah, 2015 : 125)

Harlock dalam wibowo, menjelaskan bahwa “perubahan masa puber pada masa remaja, berupa sikap dan perilaku. Anak-anak biasanya menarik diri dari teman-teman dan dari pelbagai kegiatan keluarga, dan sering bertengkar dengan teman-temannya dan anggota keluarganya”. “Pada masa puber ini juga terjadi pola perubahan minat religius pada diri remaja dimana remaja sering bersikap skeptis pada pelbagai bentuk religius seperti berdoa, upacara-upacara gereja yang formal dan kemudian meragukan isi religius seperti ajaran mengenai sifat Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi beberapa remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja yang lain berusaha mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut keluarganya”. “Namun lambat laun remaja membutuhkan keyakinan agama meskipun ternyata keyakinan pada masa kanakkanak tidak lagi memuaskan. Bila hal  ini  terjadi,  ia  mencari  kepercayaan  baru—kepercayaan  pada  sahabat  karib sesama jenis atau lawan jenis atau kepercayaan pada salah satu kultus agama baru. Kultus ini selalu muncul di berbagai negara dan mempunyai daya tarik yang kuat bagi remaja dan pemuda yang kurang mempunyai ikatan religius.” (AM Wibowo,

2012 : 246)

 

Agama pada hakekatnya adalah ajaran Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia melalui perantaraan seorang Nabi atau Rasul, kemudian dipahami dan diajarkan dari generasi ke generasi. Lahirnya paham keagamaan merupakan cara umat memberikan tafsir terhadap teks atau ajaran agama terkait dengan perubahan lingkungan sosial dan budaya masyarakat.(Mufid, 2011)

Pengaruh terhadap remaja ini disinyalir ada yang lewat dunia pendidikan. Memanfaatkan  jalur  pendidikan  akan  lebih  mudah,  karena  dengan  bungkus pelajaran agama akan lebih mudah diterima. Sebuah pengetahuan akan berpengaruh dalam transfer knowledge dengan siapa yang membawakannya. Pemahaman guru terhadap ajaran agama akan berpengaruh pada warna hasil pengajarannya.

“Pendidikan dan lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penyebar benih  radikalisme dan sekaligus  penangkal  (baca: deradikalisasi)  Islam  radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga pendidikan  Islam  tertentu  (terutama  yang  nonformal,  seperti  pesantren)  telah

 

mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik. Belakangan, sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah Putih saat upacara bendera”. (Abu Rohmad, 2012 : 80)

Melihat perkembangan paham keagamaan di Indonesia, hal ini juga berpengaruh  pada  pola  pikir  dikalangan  remaja.  Pola  pikir  remaja  yang  masih sangat  labil  sangat  mudah dipengaruhi  oleh  hal-hal  yang serba baru. Sehingga selain  kenakalan  remaja  yang  sudah  menjurus  ke  kriminalisasi  dan  masalah- masalah sosial seperti yang tertera pada paragraf sebelumnya, masih ada sesuatu permsalahan   yang   sangat   serius,   yaitu   bentuk   bentuk   penyimpangan   dari pemahaman keagamaan. Penyimpangan paham keagamaan ini yang akhirnya akan menimbulkan sikap radikal dalam kerangka hanya melihat dirinya sendiri yang benar. Orang lain di luar dirinya adalah bukan orang baik, bahkan bisa dikatakan

kafir.

 

Hal ini bisa dibuktikan dengan catatan beberapa pelaku jihad bom bunuh diri (menurut  versi  pemikiran  mereka)  adalah  masih  berusia  muda.  Hubungannya dengan usia remaja adalah perekrutannya untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (pengantin) pasti memerlukan waktu untuk proses perekrutan dan merubah cara berpikirnya. Sehingga para remaja sangat potensial sekali untuk menjadi target perekrutan sebagai pelaku. Menurut keterangan ketua FKPT Jawa Tengan DR Najahan  Musafak,  pada  acara  pembekalan  pengayaan  materi  dalam  rangka persiapan penelitian, pada tanggal 19 Januari 2017, pernah mendampingi siswa yang sudah ke arah radikalisme tindakannya. Ketika ditanya apakah yang menjadikan latar belakangnya sehingga bisa melakukan hal tersebut. Jawabannya adalah melakukan jihad,  sehingga hal ini telah membuktikan bahwa pola pikir radikalisme sudah sampai di kalangan remaja.

Wahid Institute sepanjang Juli-Desember 2015 mengadakan survei kepada

 

500 siswa di 5 sekolah menengah negeri di Jabodetabek dengan menggunakan papan permainan Negeri Kompak yang dibuat mirip permainan monopoli. Hasil yang  menarik,  ditemukan  fakta  indikasi  intoleran  dalam  sekolah  negeri  yang

‘khittah’-nya sebagai lumbung persemaian toleransi. Di antara temuannya semisal, dari 306 siswa, yang tidak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas  tindakan  perusakan  rumah  ibadah  mereka  sebanyak  15%,  ragu-ragu

 

27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit

 

3%, ragu-ragu 3%. Secara umum, pandangan kaum pelajar di sekolah negeri di Jabodetabek terbuka dan toleran, tetapi kecenderungan intoleransi dan radikalisme terus menguat (www.wahidinstitute.org. Diakses pada 17 Januari 2017).

Pandangan pakar pendidikan Darmaningtyas, Program Manager Maarif Institute Helmy Pribadi, pengamat di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Mohammad Iqbal Ahnaf, serta peneliti senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin, yang dimuat dimedia online www.beritasatu.com menyatakan bahwa penetrasi paham radikalisme dan ekstremisme di sekolah dan perguruan tinggi, dinilai sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Selain guru, keterlibatan alumni ditengarai juga berkontribusi dalam penyebaran paham yang berpotensi mengancam keutuhan dan integrasi bangsa ini. Untuk itu, pemerintah diminta memprioritaskan upaya menangkalnya, agar generasi muda yang merupakan calon pemimpin bangsa tidak lahir menjadi generasi yang radikal. Darmaningtyas menjelaskan, radikalisme dan ekstremisme di kalangan anak didik tumbuh secara evolutif. Pengaruhnya bukan hanya dari lingkungan sekolah, tetapi juga dari luar sekolah. Menurutnya, hal yang juga harus diwaspadai adalah peran alumni yang kerap masih terlibat dalam berbagai kegiatan di sekolah dan kampus. Para alumni yang terlibat dalam kegiatan kerohanian, berpotensi menanamkan paham tersebut di kalangan juniornya.

Sementara itu, Helmy Pribadi mengungkapkan, temuan Maarif Institute pada survei tahun 2011 menunjukkan fakta bahwa sekolah menjadi salah satu target penetrasi paham-paham radikal. Pengawasan yang lemah dari internal sekolah memuluskan radikalisme merasuk ke anak didik. “Sekolah harus bisa mengawasi kelompok-kelompok yang masuk atau terlibat dalam kegiatan kerohanian anak didiknya,” katanya. Dia mengingatkan, penetrasi paham radikal di sekolah kerap dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan kerohanian, terutama kegiatan ekstrakurikuler. “Kegiatan seperti itu sangat rentan dipenetrasi oleh kelompok radikal,” jelasnya.

Sedangkan,   Muhadjir   Darwin   mengatakan   paham   radikalisme   yang cenderung menyasar generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa, juga ditopang oleh redupnya politik keagamaan yang moderat, dan maraknya politik keagamaan radikal di panggung politik praktis nasional. Karena itu, karakter yang pas untuk menghidupkan kembali nilai-nilai moderat itu adalah melalui ormas keagamaan

 

yang moderat juga. “Ormas semacam ini  yang mampu menahan derasnya arus radikalisasi,” jelasnya. Senada dengan yang lain, Muhadjir juga mengingatkan fenomena radikalisasi di kalangan terdidik jangan dibiarkan. “Sangat disayangkan jika radikalisasi dibiarkan. Jika tidak dihentikan, Indonesia akan terjerembab ke dalam situasi seperti di Balkan atau Timur Tengah. Poso dan Maluku telah mengalaminya,”  ungkapnya.  http://www.beritasatu.com/pendidikan/402127- alumni-berperan-sebarkan-paham-radikalisme.html,   diakses   tanggal   13   Januari

2016)

 

Dari uraian diatas maka Balai Litbang Agama Semarang perlu mengadakan penelitian tentang “Pola Kehidupan Beragama Remaja Setingkat SMA Di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta”.

 

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia