TRANSMISI NILAI-NILAI KEAGAMAAN MELALUI ORGANISASI ROHIS

Ketua Penelitian :

Kategori: Bahan Kebijakan

Anggota:

Publisher: BLA-Semarang

Diunduh: 43x

Dilihat 435x

Editor: blasemarang

Abstrak:

Penelitian tentang gerakan keagamaan di Indonesia memiliki nilai yang strategis  di  tengah  menguatnya  kebebasan  berekspresi,  kebebasan mengungkapkan  pendapat,  kebebasan  media,  dan  terbukanya  arus  informasi akibat globalisasi. Gerakan-gerakan keagamaan tersebut mengusung visi, misi dan ideologinya masing-masing dan dikenalkan pada remaja usia SMA sebagai bentuk kaderisasi untuk membentuk militansi. Militansi tersebut secara lebih luas bermuara  pada  orientasi  politik,  menguasai  parlemen  bahkan  pemerintahan bahkan ditakutkan mengubah sistem pemerintahan.

Gerakan-gerakan keagamaan yang sedang tumbuh siubur di Indonesia ada yang pro, anmun ada pula yang anti dengan system pemerintahan Indonesia. System pemerintahan Indonesia menerapkan empat pilar dalam menjalankan pemerintahan-nya yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Gerakan tersebut menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat yang pada gilirannya memunculkan adanya gesekan sosial antar kelompok. Akibatnya, beberapa aksi kekerasan atas nama agama yang masih mempersoalkan hubungan antara agama dan dasar negara serta sistem pemerintahan Indonesia muncul kepermukaan.  Gerakan-gerakan  keagamaan  yang ada tak  jarang menimbulkan gesekan terhadap system pemerintahan hingga radikalisasi yang mengarah pada intoleransi.

Data kasus intoleransi keagamaan baik internal umat beragama maupun antar agama di Indonesia tahun 2010 Komnas HAM mencatat 84 buah pengaduan yang terdiri dari kasus perusakan, gangguan dan penyegelan rumah ibadah, kekerasan terhadap “aliran sesat”, konflik dan sengketa internal agama dan pelanggaran terhadap Jama’ah Ahmadiyah 6 kasus, dan sisanya pelanggaran lain- lain  (kompas  2010  diakses  3  januari  2017).  Pada  2011,  Komnas  HAM  juga

 

 

 

 

menerima pengaduan sebanyak 83 kasus terkait gangguan dan penyegelan atas rumah ibadah, terkait Jama’ah Ahmadiyah, gangguan dan pelarangan ibadah, dan diskriminasi atas minoritas agama. Pada tahun 2012, tercatat 68 perusakan dan penyegelan   rumah   ibadah,   konflik   dan   sengketa   internal,   gangguan   dan pelarangan ibadah dan diskriminasi minoritas serta penghayat kepercayaan. Pada tahun 2013 Komnas HAM menerima 39 berkas pengaduan berupa diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak, penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak (Asshiddiqie, 2013).

Harian  Republika  menyebutkan  data  pada  tahun  2014  terjadi  134 peristiwa dan 177 tindakan intoleran (Republika Online Januari 2016, di akses 5 januari 2017). Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Setara Institute, di tahun

2015 terdapat 197 peristiwa dengan 236 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di seluruh Indonesia. Pada tahun 2016 terjadi tiga peristiwa pembakaran tempat ibadah yaitu pembakaran masjid di Tolikara Papua Juli 2016  dan pembakaran gereja Kristen dan  Gereja Katholik di Aceh Singkil Nangroe Aceh Darussalam pada bulan November 2016 (Kompas,

2016).

 

Problematika terkait sikap intoleransi yang mengarah pada sikap radikalisme diduaga juga trelah diajarkan pada remaja usia sekolah SMA. Survei Lembaga  Kajian  Islam  dan  Perdamaian  (LaKIP)  tahun  2010-2011 mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal (bbc.com diakses 8

Januarui 2017). Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila  tidak  relevan  lagi.  Sementara  84,8%  siswa  dan  76,2%  guru  setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan  kekerasan  untuk  solidaritas  agama mencapai  52,3% siswa  dan  14,2% membenarkan serangan bom (bbc.com diakses 8 januari 2017).

Penelitian  yang dilakukan oleh Balai  Litbang Agama Semarang pada Tahun 2016 tentang indeks multicultural di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan siswa bahwa siswa SMA di pedesaan lebih toleran dibandingkan dengan siwa SMA di perkotaan. Dilihat dari jenis sekolahnya, meskipun masih

 

 

 

 

dalam level toleran  namun ternyata siswa SMA lebih toleran dibandingkan siswa

 

SMK dan MA (Wibowo, 2016).

 

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi beragama di Indonesia yang terkenal dengan sangat ramah semakin memudar dan mengarah pada gerakan radikal. Gesekan-gesekan sosial yang mengatasnamakan agama saat ini sangat mudah sekali terjadi di Indonesia. Menurunnya toleransi beragama sangat paradoksal dengan nilai-nilai agama dan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Agama   seringkali   dipergunakan   sebagai   dalih   untuk   melegalkan tindakan-tindakan radikal yang mengarah pada tindak kekerasan. Secara sosiologi, agama sebagai pranata sosial tunduk pada proses pranata lainnya (Berger, 1967: ). Dengan kata lain, agama diciptakan untuk manusia, agama mengembangkan realitas objektif, dan dalam dunia modern ini agama terus melanda dan dilanda manusia.

Dalam kaitannya dengan konstruksi realitas secara sosial, agama merupakan sumber legitimasi yang paling efektif dan paling meluas untuk melegitimasi suatu gerakan. Kitab suci merupakan keniscayaan bagi penganutnya, manusia sebagai penafsir kitab suci tidak akan pernah berhenti untuk terus mengeluarkan teks-teks kitab suci dengan wujud tafsir-tafsir sesuai latar belakang manusia itu sendiri. Persoalan benar atau salah akan tafsir-tafsir itu adalah persoalan bagaimana tingkat selektifitas mereka masing-masing. Kitab suci secara teks tidak berubah, tetapi penafsiran dan pemahaman atas teks selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Oleh karena itu, kitab suci selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasikan.

Proses dialektika Berger berusaha menggambarkan bagaimana realitas social memiliki dimensi subyektif, dan objektif dimana manusia tidak hanya dipengaruhi  oleh  lingkungannya,  tetapi  juga  mempengaruhi  lingkungannya. Dalam hal ini Kitab suci pada hakekatnya berada di luar manusia, namun karena proses pemahaman manusia terhadapnya, akhirnya lambat laun kandungan- kandungan di dalamnya mempengaruhi manusia yang menafsirkannya.

 

 

 

 

Fenomena   munculnya   gerakan-gerakan   agama   baru   di   Indonesia misalnya tampak dari kehadiran Liqo’-liqo’ (halaqoh) dan kelompok-kelompok spiritual yang turut serta memeriahkan dan mewarnai keberagamaan umat Islam di Indonesia. Dengan mengacu pada hasil penelitian Greely dan tulisan Berger menunjukkan bahwa bentuk reformulasi kehidupan agama di suatu komunitas cukup beragam, antara lain juga ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (New Age movement). Ini berarti keberagamaan masyarakat modern lebih mengutamankan dimensi spiritualitas dari pada religiusitas. Padahal agama bersumber pada religiusitas dan disemangati oleh spiritualitas (Hardjana, 2005:76) (Berger, 1991: 144).

Sikap keagamaan remaja usia SMA boleh jadi disebabkan karena transmisi materi keagamaan yang diajarkan oleh organisasi keagamaan baik di internal maupun eksternal satuan pendidikannya. Penanaman sikap keagamaan ini tak jarang mengkritik negara, umat beragama dan etnik melalui materi ajar, mentoring, pemutaran film kajian agama dan lain sebagainya.

 

Lampiran Tidak Tersedia

Penelitian tentang gerakan keagamaan di Indonesia memiliki nilai yang strategis  di  tengah  menguatnya  kebebasan  berekspresi,  kebebasan mengungkapkan  pendapat,  kebebasan  media,  dan  terbukanya  arus  informasi akibat globalisasi. Gerakan-gerakan keagamaan tersebut mengusung visi, misi dan ideologinya masing-masing dan dikenalkan pada remaja usia SMA sebagai bentuk kaderisasi untuk membentuk militansi. Militansi tersebut secara lebih luas bermuara  pada  orientasi  politik,  menguasai  parlemen  bahkan  pemerintahan bahkan ditakutkan mengubah sistem pemerintahan.

Gerakan-gerakan keagamaan yang sedang tumbuh siubur di Indonesia ada yang pro, anmun ada pula yang anti dengan system pemerintahan Indonesia. System pemerintahan Indonesia menerapkan empat pilar dalam menjalankan pemerintahan-nya yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Gerakan tersebut menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat yang pada gilirannya memunculkan adanya gesekan sosial antar kelompok. Akibatnya, beberapa aksi kekerasan atas nama agama yang masih mempersoalkan hubungan antara agama dan dasar negara serta sistem pemerintahan Indonesia muncul kepermukaan.  Gerakan-gerakan  keagamaan  yang ada tak  jarang menimbulkan gesekan terhadap system pemerintahan hingga radikalisasi yang mengarah pada intoleransi.

Data kasus intoleransi keagamaan baik internal umat beragama maupun antar agama di Indonesia tahun 2010 Komnas HAM mencatat 84 buah pengaduan yang terdiri dari kasus perusakan, gangguan dan penyegelan rumah ibadah, kekerasan terhadap “aliran sesat”, konflik dan sengketa internal agama dan pelanggaran terhadap Jama’ah Ahmadiyah 6 kasus, dan sisanya pelanggaran lain- lain  (kompas  2010  diakses  3  januari  2017).  Pada  2011,  Komnas  HAM  juga

 

 

 

 

menerima pengaduan sebanyak 83 kasus terkait gangguan dan penyegelan atas rumah ibadah, terkait Jama’ah Ahmadiyah, gangguan dan pelarangan ibadah, dan diskriminasi atas minoritas agama. Pada tahun 2012, tercatat 68 perusakan dan penyegelan   rumah   ibadah,   konflik   dan   sengketa   internal,   gangguan   dan pelarangan ibadah dan diskriminasi minoritas serta penghayat kepercayaan. Pada tahun 2013 Komnas HAM menerima 39 berkas pengaduan berupa diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak, penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak (Asshiddiqie, 2013).

Harian  Republika  menyebutkan  data  pada  tahun  2014  terjadi  134 peristiwa dan 177 tindakan intoleran (Republika Online Januari 2016, di akses 5 januari 2017). Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Setara Institute, di tahun

2015 terdapat 197 peristiwa dengan 236 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di seluruh Indonesia. Pada tahun 2016 terjadi tiga peristiwa pembakaran tempat ibadah yaitu pembakaran masjid di Tolikara Papua Juli 2016  dan pembakaran gereja Kristen dan  Gereja Katholik di Aceh Singkil Nangroe Aceh Darussalam pada bulan November 2016 (Kompas,

2016).

 

Problematika terkait sikap intoleransi yang mengarah pada sikap radikalisme diduaga juga trelah diajarkan pada remaja usia sekolah SMA. Survei Lembaga  Kajian  Islam  dan  Perdamaian  (LaKIP)  tahun  2010-2011 mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal (bbc.com diakses 8

Januarui 2017). Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila  tidak  relevan  lagi.  Sementara  84,8%  siswa  dan  76,2%  guru  setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan  kekerasan  untuk  solidaritas  agama mencapai  52,3% siswa  dan  14,2% membenarkan serangan bom (bbc.com diakses 8 januari 2017).

Penelitian  yang dilakukan oleh Balai  Litbang Agama Semarang pada Tahun 2016 tentang indeks multicultural di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan siswa bahwa siswa SMA di pedesaan lebih toleran dibandingkan dengan siwa SMA di perkotaan. Dilihat dari jenis sekolahnya, meskipun masih

 

 

 

 

dalam level toleran  namun ternyata siswa SMA lebih toleran dibandingkan siswa

 

SMK dan MA (Wibowo, 2016).

 

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi beragama di Indonesia yang terkenal dengan sangat ramah semakin memudar dan mengarah pada gerakan radikal. Gesekan-gesekan sosial yang mengatasnamakan agama saat ini sangat mudah sekali terjadi di Indonesia. Menurunnya toleransi beragama sangat paradoksal dengan nilai-nilai agama dan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Agama   seringkali   dipergunakan   sebagai   dalih   untuk   melegalkan tindakan-tindakan radikal yang mengarah pada tindak kekerasan. Secara sosiologi, agama sebagai pranata sosial tunduk pada proses pranata lainnya (Berger, 1967: ). Dengan kata lain, agama diciptakan untuk manusia, agama mengembangkan realitas objektif, dan dalam dunia modern ini agama terus melanda dan dilanda manusia.

Dalam kaitannya dengan konstruksi realitas secara sosial, agama merupakan sumber legitimasi yang paling efektif dan paling meluas untuk melegitimasi suatu gerakan. Kitab suci merupakan keniscayaan bagi penganutnya, manusia sebagai penafsir kitab suci tidak akan pernah berhenti untuk terus mengeluarkan teks-teks kitab suci dengan wujud tafsir-tafsir sesuai latar belakang manusia itu sendiri. Persoalan benar atau salah akan tafsir-tafsir itu adalah persoalan bagaimana tingkat selektifitas mereka masing-masing. Kitab suci secara teks tidak berubah, tetapi penafsiran dan pemahaman atas teks selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Oleh karena itu, kitab suci selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasikan.

Proses dialektika Berger berusaha menggambarkan bagaimana realitas social memiliki dimensi subyektif, dan objektif dimana manusia tidak hanya dipengaruhi  oleh  lingkungannya,  tetapi  juga  mempengaruhi  lingkungannya. Dalam hal ini Kitab suci pada hakekatnya berada di luar manusia, namun karena proses pemahaman manusia terhadapnya, akhirnya lambat laun kandungan- kandungan di dalamnya mempengaruhi manusia yang menafsirkannya.

 

 

 

 

Fenomena   munculnya   gerakan-gerakan   agama   baru   di   Indonesia misalnya tampak dari kehadiran Liqo’-liqo’ (halaqoh) dan kelompok-kelompok spiritual yang turut serta memeriahkan dan mewarnai keberagamaan umat Islam di Indonesia. Dengan mengacu pada hasil penelitian Greely dan tulisan Berger menunjukkan bahwa bentuk reformulasi kehidupan agama di suatu komunitas cukup beragam, antara lain juga ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan agama baru (New Age movement). Ini berarti keberagamaan masyarakat modern lebih mengutamankan dimensi spiritualitas dari pada religiusitas. Padahal agama bersumber pada religiusitas dan disemangati oleh spiritualitas (Hardjana, 2005:76) (Berger, 1991: 144).

Sikap keagamaan remaja usia SMA boleh jadi disebabkan karena transmisi materi keagamaan yang diajarkan oleh organisasi keagamaan baik di internal maupun eksternal satuan pendidikannya. Penanaman sikap keagamaan ini tak jarang mengkritik negara, umat beragama dan etnik melalui materi ajar, mentoring, pemutaran film kajian agama dan lain sebagainya.

 

Lampiran Tidak Tersedia

Lampiran Tidak Tersedia