Kategori: Bahan Kebijakan
Anggota:
Publisher: BLA-Semarang
Diunduh: 50x
Dilihat 447x
Editor: blasemarang
Abstrak:
Terdapat trend yang semakin kompleks di kalangan remaja saat ini, mulai dari kenakalan remaja, tawuran, hingga semangat kegamaan yang cenderung mengarah pada radikalisme. Sikap radikal dalam beragama di kalangan remaja di antaranya disebabkan sistem pengajaran dalam ilmu keagamaan. Hal ini ditambah pula usia remaja identik dengan kondisi yang lebih mengedepankan emosi daripada penalaran, sehingga ketika pemahaman keagamaan diajarkan secara doktrinal dan bersentuhan dengan emosi, maka akan lebih mudah diterima sebagai pola kebenaran dalam beragama. Hal inilah yang mendorong pemahaman secara instant dalam beragama di kalangan remaja.
Lembaga pengajaran keagamaan di kalangan remaja yang berada di sekolah adalah rohis,1 yang lebih concern di bidang pengajaran paham keagamaan sebagai upaya pembentukan manusia seutuhnya, yaiu sehat Jasmani dan Rohani. Oleh karenanya wilayah kajian rohis pada keilmuan Teologi, Fikih, dan kehiduan sosial keagamaan, dalam rangka mewujudkan manusia yang beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur.
Murujuk pada beberapa hasil penelitian, hasil pengajaran keagamaan di rohis menciptakan sikap dan pola gerakan keagamaan di kalangan remaja Islam (baca; siswa/i
SMA muslim) lebih cenderung mengarah pada sikap intoleran dan radikal.2 Hal ini
1 Rohis merupakan bagian organisasi intra sekolah (OSIS) sebagai salah satu media pembinaan moral dan akhlak yang berwawasan islami. Visi rohis menghidupkan dakwah Islam yang kondusif, dan misinya memberikan pendidikan dan pelatihan keislaman dan organisasi serta optimalisasi program kerja dakwah. rohis memiliki peran penting sebagai bagian intergral upaya pendidikan sekolah. rohis tidak menjai sarana ekslusifikasi beragama, tetapi tempat penyemaian semangat keislaman dan keindonesiaan, bukan ideologisasi Islam (Tolkhah dalam Wibowo, 2015: 18-19).
2 Terdapat beberapa hasil survei yang terkait dengan radikalisme di kalangan pelajar. Di antaranya yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada
Oktober 2010 – Januari 2011. Hasil survei terhadap siswa di 100 sekolah menengah (SMP dan
SMA) di Jakarta menunjukkan bahwa hampir 50% pelajar mendukung cara-cara keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan, seperti kemauan/setuju penyegelan rumah ibadat agama lain. Beberapa penyebab pandangan keras siswa seperti ini di antaranya adalah kekecewaan siswa terhadap berbagai kondisi Nasional dan Internasional yang dianggap timpang, selain juga pengaruh dari media sosial (www.bbc.com/indonesia. Diakses pada 17
bebeda dengan dengan hasil pembelajaran keagamaan di Pondok Pesantren yang berada diwilayah RMI dan KOPONTREN yang mampu menciptakan paham keagamaan yang inklusive, toleran, Islam sebagai rahmatan lil alamin, dan Islam yang berkemajuan.
Fenomena rohis sebagai wadah yang mengajarkan Islam pada siswa sekolah tingkat SMP dan SMA cenderung bersifat instant.3 Hal ini dikarenakan pelajaran Agama Islam memiliki porsi sedikit dibandingkan mata pelajaran lainnya. Di samping itu, keberadaan rohis bersifat opsional bagi siswa, sehingga angota rohis akan berusaha mengembangkan wilayah kajian intensifnya sesuai dengan jaringan lembaga maupun jaringan nalar intelektualnya.
Sikap radikal dan intoleran yang condong dimiliki aktivis rohis sebagai representasi anak muda akan terus berkembang, seiring dengan studi lanjut yang mereka
tempuh di perguruan tinggi umum.4 Dengan demikian, corak kebenaran yang mereka
Januari 2017). Hasil survei oleh lembaga yang sama, LaKIP, pada tahun yang sama pula yaitu akhir tahun 2010 di 10 wilayah Jabodetabek menyebutkan bahwa meskipun ada kecenderungan radikalisme di kalangan siswa sekolah menengah, tetapi tidak terkait dengan kegiatan rohis. Kesimpulan ini diperoleh dari data bahwa siswa yang mengikuti rohis tidak mencapai 30%, kebanyakan rohis berada di bawah bimbingan guru agama, dan jumlah pengajaran agama kurang dari 24 jam dalam seminggu, sehingga kemungkinan mendapatkan susupan pengaruh dari luar kecil. Hasil survey ini merupakan generalisasi kuantitatif, yang barangkali belum dapat menggali data kualitatif mendalam terkait faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan keagamaan siswa yang keras (m.tempo.co/read. Diakses pada 17 Januari 2017).
3 Pemahaman dan pengajaran secara instan bisa diukur dengan melihat beberapa genre bacaan aktivis rohis. Menurut Mahmudah Nur, aktivis rohis lebih suka membaca buku-buku bergenre novel-novel Islami dan seputar perempuan yang mempunyai bahasa lebih lugas, mudah dipahami dan komunikatif. Motivasi siswa dalam memilih bahan bacaan tersebut adalah karena dapat menunjang kegiatan ibadah mereka, baik wajib maupun sunnah, dan berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa sehari-sehari yang terjadi di lingkungan mereka. Ada beberapa aktivis yang suka dan gemar membaca buku-buku tentang pergerakan Islam, tetapi lebih kepada keingintahuan mereka dan rasa penasaran. Secara umum aktivis rohis menyukai bahan bacaan yang ringan-ringan, sesuai dengan jiwa remaja mereka dan memahami apa yang mereka mau. Lhat, Mahmudah Nur, Resepsi Aktivis Rohani Islam (rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan Di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur, Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015, hlm. 97-108.
4 Dalam diskusi “Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia” yang diadakan oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 18 Februari 2016, dinyatakan bahwa kalangan anak muda Indonesia semakin radikal secara ideologis dan tidak toleran, dan perguruan tinggi banyak dikuasai oleh kelompok Islam garis keras. Hal ini didukung pula dalam penelitian Anas Saidi (peneliti LIPI) pada tahun 2011 di lima universitas Indonesia UGM, UI, IPB, Unair, dan Undip bahwa terjadi peningkatan pemahaman fundamentalis keagamaan di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum. Islamisasi yang dilakukan anak muda berlangsung secara tertutup. Di antara sikap intoleran yang tampak adalah penolakan tafsir yang
yakini merupakan bentukan ideologi yang harus diperjuangkan secara terus menerus dan akan membentuk sebuah “model” pemikiran remaja Islam yang intoleran.5
Keberadaan buku/bahan bacaan aktifis rohis memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk sebuah wacara yang diproduksi secara berkesinambungan.6
Hal ini dikarenakan buku/bahan bacaan merupakan teks merepresentasikan keberadaan wacana/diskursus yang ditransferkan dari sumber kepada penerimanya. Buku bacaan yang ada di rohis memiliki relasi dengan corak ideologi yang diikuti, impian ideal
tentang dunia (utopia), juga meneguhkan relasi dengan jaringan yang terkait.
berbeda dan pengkafiran kelompok lain. Sementara hasil survei The Pew Research Center pada
2015 menyebutkan bahwa sekitar 4% atau 10 juta warga Indonesia mendukung ISIS yang sebagian besarnya merupakan anak-anak muda (www.uinjkt.ac.id. Diakses pada 17 Januari
2017).
5 Wahid Institute sepanjang Juli-Desember 2015 mengadakan survei kepada 500 siswa di 5 sekolah menengah negeri di Jabodetabek dengan menggunakan papan permainan Negeri
Kompak yang dibuat mirip permainan monopoli. Hasil yang menarik, ditemukan fakta indikasi
intoleran dalam sekolah negeri yang ‘khittah’-nya sebagai lumbung persemaian toleransi. Di antara temuannya semisal, dari 306 siswa, yang tidak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%. Secara umum, pandangan kaum pelajar di sekolah negeri di Jabodetabek terbuka dan toleran, tetapi kecenderungan intoleransi dan radikalisme terus menguat (www.wahidinstitute.org. Diakses pada 17 Januari 2017). Penelitian yang dilakukan aktivis sosial keagamaan Farcha Ciciek di tujuh kota (Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, dan Yogyakarta) menyajikan trend serupa. Para guru agama Islam dan murid-muridnya kurang toleran dengan perbedaan dan cenderung mendukung ideologi kekerasan. Disebutkan, 13% siswa di tujuh kota itu mendukung gerakan radikal dan 14% setuju dengan aksi terorisme Imam Samudra. Beberapa pelaku terorisme yang berhasil ditangkap aparat merupakan pelajar di bangku sekolah umum (www.wahidinstitute.org. Diakses pada 17 Januari 2017).
6 Contoh Buku bacaan aktifis rohis SMA Negeri 3 Medan sebagai berikut : Udah putusin aja, karya Felix Y. Siauw, penerbit Mizania, Yuk Berhijab; Hijab tanpa nanti, taat tapi
nanti, karya Felix Y. Siauw, penerbit Mizania, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, karya Hartono
Ahmad Jaiz, penerbit Pustaka al-Kautsar, Ada apa setelah mati, karya Husain bin Audah Al- Awayisyah, penerbit Darus Sunnah , Kebangkitan Freemason dan Zionis di Indonesia; Di balik kerusakan agama-agama, karya Herry Nurdi, penerbit Cakrawala Publishing, Malcom X: Anak pendeta yang menginspirasi jutaan orang menemukan Islam, karya Riswan Permadi, penerbit Kamea Pustaka ,Kisah Teladan Wanita Ahli Surga, karya Dr. Musthofa Murad, penerbit Mizania, 10 Orang Dijamin Ke Surga, karya Abdullah Ahmad Aasyuur, penerbit Gema Insan Press, Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam, karya Dr. Fathi Yakan, penerbit Al-I`tishom Cahaya Umat, Majalah Risalah, Majalah Sabili, Majalah al-Hidayah. Lihat : https://zulkarnainyani.wordpress.com/2013/12/27/pengurus-rohis-dan-bahan-bacaan-
keagamaan-studi-kasus-di-sma-negeri-3-dan-4-kota-medan/.
Buku/bahan bacaan juga mencerminkan adanya corak dan genealogi pemikiran yang berkembang di kalangan rohis.
Oleh karena itu, peneltian ini menganalisa corak intoleransi dalam bacaan rohis sebagai starting point untuk menganalisa bentukan nalar intoleransi dalam pemahaman keagamaan yang mengarah ke paham radikal. Keberadaan bacaan dan buku kajian merupakan teks yang sudah mendapatkan “tempat” dalam komunitas rohis. Bahan bacaan itu sudah menjadi corak diskursus yang didisiplinkan dalam bentuk jejaring intelektual maupun lembaga yang kemudian direpresentasikan dalam bentuk gerakan dan tema-tema diskusi di komunitas rohis.
Rohis di SMA wilayah Jawa Tengah dan DIY dipilih sebagai lokasi penilitian dikarenakan kedua Provinsi ini memiliki kultur yang beragam (multikultural). Di dalamnya juga terdapat lembaga-lembaga dakwah dari yang moderat hingga beraliran keras. Oleh karenanya, Jawa Tengah dan DIY merupakan tempat yang merepresentasikan kemajemukan sekaligus memiliki potensi konflik, terutama dalam hal pemahaman dan sentimen keagamaan.
Terdapat trend yang semakin kompleks di kalangan remaja saat ini, mulai dari kenakalan remaja, tawuran, hingga semangat kegamaan yang cenderung mengarah pada radikalisme. Sikap radikal dalam beragama di kalangan remaja di antaranya disebabkan sistem pengajaran dalam ilmu keagamaan. Hal ini ditambah pula usia remaja identik dengan kondisi yang lebih mengedepankan emosi daripada penalaran, sehingga ketika pemahaman keagamaan diajarkan secara doktrinal dan bersentuhan dengan emosi, maka akan lebih mudah diterima sebagai pola kebenaran dalam beragama. Hal inilah yang mendorong pemahaman secara instant dalam beragama di kalangan remaja.
Lembaga pengajaran keagamaan di kalangan remaja yang berada di sekolah adalah rohis,1 yang lebih concern di bidang pengajaran paham keagamaan sebagai upaya pembentukan manusia seutuhnya, yaiu sehat Jasmani dan Rohani. Oleh karenanya wilayah kajian rohis pada keilmuan Teologi, Fikih, dan kehiduan sosial keagamaan, dalam rangka mewujudkan manusia yang beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur.
Murujuk pada beberapa hasil penelitian, hasil pengajaran keagamaan di rohis menciptakan sikap dan pola gerakan keagamaan di kalangan remaja Islam (baca; siswa/i
SMA muslim) lebih cenderung mengarah pada sikap intoleran dan radikal.2 Hal ini
1 Rohis merupakan bagian organisasi intra sekolah (OSIS) sebagai salah satu media pembinaan moral dan akhlak yang berwawasan islami. Visi rohis menghidupkan dakwah Islam yang kondusif, dan misinya memberikan pendidikan dan pelatihan keislaman dan organisasi serta optimalisasi program kerja dakwah. rohis memiliki peran penting sebagai bagian intergral upaya pendidikan sekolah. rohis tidak menjai sarana ekslusifikasi beragama, tetapi tempat penyemaian semangat keislaman dan keindonesiaan, bukan ideologisasi Islam (Tolkhah dalam Wibowo, 2015: 18-19).
2 Terdapat beberapa hasil survei yang terkait dengan radikalisme di kalangan pelajar. Di antaranya yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada
Oktober 2010 – Januari 2011. Hasil survei terhadap siswa di 100 sekolah menengah (SMP dan
SMA) di Jakarta menunjukkan bahwa hampir 50% pelajar mendukung cara-cara keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan, seperti kemauan/setuju penyegelan rumah ibadat agama lain. Beberapa penyebab pandangan keras siswa seperti ini di antaranya adalah kekecewaan siswa terhadap berbagai kondisi Nasional dan Internasional yang dianggap timpang, selain juga pengaruh dari media sosial (www.bbc.com/indonesia. Diakses pada 17
bebeda dengan dengan hasil pembelajaran keagamaan di Pondok Pesantren yang berada diwilayah RMI dan KOPONTREN yang mampu menciptakan paham keagamaan yang inklusive, toleran, Islam sebagai rahmatan lil alamin, dan Islam yang berkemajuan.
Fenomena rohis sebagai wadah yang mengajarkan Islam pada siswa sekolah tingkat SMP dan SMA cenderung bersifat instant.3 Hal ini dikarenakan pelajaran Agama Islam memiliki porsi sedikit dibandingkan mata pelajaran lainnya. Di samping itu, keberadaan rohis bersifat opsional bagi siswa, sehingga angota rohis akan berusaha mengembangkan wilayah kajian intensifnya sesuai dengan jaringan lembaga maupun jaringan nalar intelektualnya.
Sikap radikal dan intoleran yang condong dimiliki aktivis rohis sebagai representasi anak muda akan terus berkembang, seiring dengan studi lanjut yang mereka
tempuh di perguruan tinggi umum.4 Dengan demikian, corak kebenaran yang mereka
Januari 2017). Hasil survei oleh lembaga yang sama, LaKIP, pada tahun yang sama pula yaitu akhir tahun 2010 di 10 wilayah Jabodetabek menyebutkan bahwa meskipun ada kecenderungan radikalisme di kalangan siswa sekolah menengah, tetapi tidak terkait dengan kegiatan rohis. Kesimpulan ini diperoleh dari data bahwa siswa yang mengikuti rohis tidak mencapai 30%, kebanyakan rohis berada di bawah bimbingan guru agama, dan jumlah pengajaran agama kurang dari 24 jam dalam seminggu, sehingga kemungkinan mendapatkan susupan pengaruh dari luar kecil. Hasil survey ini merupakan generalisasi kuantitatif, yang barangkali belum dapat menggali data kualitatif mendalam terkait faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan keagamaan siswa yang keras (m.tempo.co/read. Diakses pada 17 Januari 2017).
3 Pemahaman dan pengajaran secara instan bisa diukur dengan melihat beberapa genre bacaan aktivis rohis. Menurut Mahmudah Nur, aktivis rohis lebih suka membaca buku-buku bergenre novel-novel Islami dan seputar perempuan yang mempunyai bahasa lebih lugas, mudah dipahami dan komunikatif. Motivasi siswa dalam memilih bahan bacaan tersebut adalah karena dapat menunjang kegiatan ibadah mereka, baik wajib maupun sunnah, dan berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa sehari-sehari yang terjadi di lingkungan mereka. Ada beberapa aktivis yang suka dan gemar membaca buku-buku tentang pergerakan Islam, tetapi lebih kepada keingintahuan mereka dan rasa penasaran. Secara umum aktivis rohis menyukai bahan bacaan yang ringan-ringan, sesuai dengan jiwa remaja mereka dan memahami apa yang mereka mau. Lhat, Mahmudah Nur, Resepsi Aktivis Rohani Islam (rohis) Terhadap Bahan Bacaan Keagamaan Di SMAN 48 Jakarta Timur dan SMA Labschool Jakarta Timur, Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015, hlm. 97-108.
4 Dalam diskusi “Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia” yang diadakan oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 18 Februari 2016, dinyatakan bahwa kalangan anak muda Indonesia semakin radikal secara ideologis dan tidak toleran, dan perguruan tinggi banyak dikuasai oleh kelompok Islam garis keras. Hal ini didukung pula dalam penelitian Anas Saidi (peneliti LIPI) pada tahun 2011 di lima universitas Indonesia UGM, UI, IPB, Unair, dan Undip bahwa terjadi peningkatan pemahaman fundamentalis keagamaan di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum. Islamisasi yang dilakukan anak muda berlangsung secara tertutup. Di antara sikap intoleran yang tampak adalah penolakan tafsir yang
yakini merupakan bentukan ideologi yang harus diperjuangkan secara terus menerus dan akan membentuk sebuah “model” pemikiran remaja Islam yang intoleran.5
Keberadaan buku/bahan bacaan aktifis rohis memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk sebuah wacara yang diproduksi secara berkesinambungan.6
Hal ini dikarenakan buku/bahan bacaan merupakan teks merepresentasikan keberadaan wacana/diskursus yang ditransferkan dari sumber kepada penerimanya. Buku bacaan yang ada di rohis memiliki relasi dengan corak ideologi yang diikuti, impian ideal
tentang dunia (utopia), juga meneguhkan relasi dengan jaringan yang terkait.
berbeda dan pengkafiran kelompok lain. Sementara hasil survei The Pew Research Center pada
2015 menyebutkan bahwa sekitar 4% atau 10 juta warga Indonesia mendukung ISIS yang sebagian besarnya merupakan anak-anak muda (www.uinjkt.ac.id. Diakses pada 17 Januari
2017).
5 Wahid Institute sepanjang Juli-Desember 2015 mengadakan survei kepada 500 siswa di 5 sekolah menengah negeri di Jabodetabek dengan menggunakan papan permainan Negeri
Kompak yang dibuat mirip permainan monopoli. Hasil yang menarik, ditemukan fakta indikasi
intoleran dalam sekolah negeri yang ‘khittah’-nya sebagai lumbung persemaian toleransi. Di antara temuannya semisal, dari 306 siswa, yang tidak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain seperti mengucapkan selamat natal 27%, ragu-ragu 28%. Siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15%, ragu-ragu 27%. Sementara mereka yang tak mau menjenguk teman beda agama yang sakit 3%, ragu-ragu 3%. Secara umum, pandangan kaum pelajar di sekolah negeri di Jabodetabek terbuka dan toleran, tetapi kecenderungan intoleransi dan radikalisme terus menguat (www.wahidinstitute.org. Diakses pada 17 Januari 2017). Penelitian yang dilakukan aktivis sosial keagamaan Farcha Ciciek di tujuh kota (Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, dan Yogyakarta) menyajikan trend serupa. Para guru agama Islam dan murid-muridnya kurang toleran dengan perbedaan dan cenderung mendukung ideologi kekerasan. Disebutkan, 13% siswa di tujuh kota itu mendukung gerakan radikal dan 14% setuju dengan aksi terorisme Imam Samudra. Beberapa pelaku terorisme yang berhasil ditangkap aparat merupakan pelajar di bangku sekolah umum (www.wahidinstitute.org. Diakses pada 17 Januari 2017).
6 Contoh Buku bacaan aktifis rohis SMA Negeri 3 Medan sebagai berikut : Udah putusin aja, karya Felix Y. Siauw, penerbit Mizania, Yuk Berhijab; Hijab tanpa nanti, taat tapi
nanti, karya Felix Y. Siauw, penerbit Mizania, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, karya Hartono
Ahmad Jaiz, penerbit Pustaka al-Kautsar, Ada apa setelah mati, karya Husain bin Audah Al- Awayisyah, penerbit Darus Sunnah , Kebangkitan Freemason dan Zionis di Indonesia; Di balik kerusakan agama-agama, karya Herry Nurdi, penerbit Cakrawala Publishing, Malcom X: Anak pendeta yang menginspirasi jutaan orang menemukan Islam, karya Riswan Permadi, penerbit Kamea Pustaka ,Kisah Teladan Wanita Ahli Surga, karya Dr. Musthofa Murad, penerbit Mizania, 10 Orang Dijamin Ke Surga, karya Abdullah Ahmad Aasyuur, penerbit Gema Insan Press, Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam, karya Dr. Fathi Yakan, penerbit Al-I`tishom Cahaya Umat, Majalah Risalah, Majalah Sabili, Majalah al-Hidayah. Lihat : https://zulkarnainyani.wordpress.com/2013/12/27/pengurus-rohis-dan-bahan-bacaan-
keagamaan-studi-kasus-di-sma-negeri-3-dan-4-kota-medan/.
Buku/bahan bacaan juga mencerminkan adanya corak dan genealogi pemikiran yang berkembang di kalangan rohis.
Oleh karena itu, peneltian ini menganalisa corak intoleransi dalam bacaan rohis sebagai starting point untuk menganalisa bentukan nalar intoleransi dalam pemahaman keagamaan yang mengarah ke paham radikal. Keberadaan bacaan dan buku kajian merupakan teks yang sudah mendapatkan “tempat” dalam komunitas rohis. Bahan bacaan itu sudah menjadi corak diskursus yang didisiplinkan dalam bentuk jejaring intelektual maupun lembaga yang kemudian direpresentasikan dalam bentuk gerakan dan tema-tema diskusi di komunitas rohis.
Rohis di SMA wilayah Jawa Tengah dan DIY dipilih sebagai lokasi penilitian dikarenakan kedua Provinsi ini memiliki kultur yang beragam (multikultural). Di dalamnya juga terdapat lembaga-lembaga dakwah dari yang moderat hingga beraliran keras. Oleh karenanya, Jawa Tengah dan DIY merupakan tempat yang merepresentasikan kemajemukan sekaligus memiliki potensi konflik, terutama dalam hal pemahaman dan sentimen keagamaan.