Kategori: Bahan Kebijakan
Anggota:
Publisher: BLA-Semarang
Diunduh: 40x
Dilihat 388x
Editor: blasemarang
Abstrak:
Kearifan lokal yang menjadi sasaran penelitian yaitu Upacara Karo yang dilaksanakan masyarakat Tengger di Desa Sapikerep, Kecamatan. Sukapura. Upacara Karo merupakan upacara adat yang dilakukan masyarakat Tengger. Upacara Karo dipilih sebagai sasaran penelitian karena upacara Karo mencerminkan kerukunan dalam kehidupan beragama dengan pelaksanaannya yang dilaksanakan bersama-sama tanpa melihat perbedaan agama. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan Kementrian Agama dalam pembinaan umat beragama.
Asal usul Upacara Karo dari legenda Aji Saka dan Kanjeng Nabi. Upacara ini dilaksanakan selama 15 hari, dimulai dari tanggal 7 Bulan Karo Tahun Saka. Prosesi yang pertama dilakukan yaitu acara danyang banyu putih, yaitu dengan pembacaan mantra oleh dukun pandhita dengan sesajen yang telah dipersiapkan di rumah-rumah umat. Kedua, pada malam harinya dilanjutkan dengan acara tekaning ping pitu, yaitu mengundang arwah leluhur untuk datang ke rumah-rumah Wong Tengger. Lalu pada tanggal 18 Bulan Karo, pagi harinya diadakan acara bersih desa dan pada malam harinya diadakan pentas seni tayub sebagai rangkaian dari Upacara Karo. Kemudian esok harinya dilaksanakan Upacara Sesanti atau sesanding. Pada tanggal 22 Bulan Karo pagi hari diadakan Upacara Nyadran yang diikuti oleh semua masyarakat Desa Sapikerep. Pada malam harinya diadakan acara mulihe ping pitu, yaitu upacara untuk memulangkan arwah para leluhur. Upacara Karo dapat merekatkan kerukunan antar umat beragama. (terutama umat Islam dan Hindhu). Terlihat pada pendanaan pelaksanaan Upacara Karo tanpa memandang perbedaan agama, acara slametan, pentas Tayub, saling berkunjung atau silaturahmi dan nyadran.
Pendapat dari beberapa tokoh masyarakat & agama: Bapak Kepala Desa Sapikerep menyatakan bahwa Upacara Karo merupakan peninggalan nenek moyang masyarakat Tengger yang harus dilestarikan. Upacara Karo adalah milik masyarakat Tengger khususnya Desa Sapikerep, bukan milik agama tertentu. Upacara Karo ini merupakan suatu bentuk kebersamaan dan dapat dijadikan sebagai ajang kerukunan umat beragama. Dari tokoh Islam menyatakan bahwa Upacara Karo merupakan upacara adat yang baik, selagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini. Upacara Karo merupakan sarana silaturahmi antar umat beragama. Kemudian dari tokoh Hindhu menyatakan bahwa Hari Raya Karo atau Upacara Karo merupakan milik masyarakat suku Tengger, bukan milik suatu agama tertentu. Tanggapan dari tokoh Kristen menyatakan bahwa Umat Kristen juga harus dapat menghormati budaya masyarakat Tengger. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Adat budaya juga dapat dijadikan pengikat dan pemersatu bineka tunggal ika.
Dari hasil penelitian ini disarankan pada pemerintah agar Upacara Karo yang ada di dalam budaya masyarakat Tengger dapat terus dijaga dan dilestarikan, dengan cara membantu pelaksanaan serta ikut menghadiri Upacara Tengger. Kepada Kementrian Agama, disarankan agar membina upacara-upacara yang berkaitan dengan adat dan budaya serta agama yang ada di masyarakat agar tetap lurus dan tidak menyimpang dari agama yang diyakininya. Kepada tokoh-tokoh agama disarankan agar mengadakan pertemuan dan dialog sebagai wujud kerukunan supaya terbina suatu sikap saling pengertian diantara tokoh agama yang ada, baik dari tokoh Islam, Hindhu maupun Kristen.
Kata Kunci: Upacara Karo, perekat kerukunan, Hindhu, Islam
Kearifan lokal yang menjadi sasaran penelitian yaitu Upacara Karo yang dilaksanakan masyarakat Tengger di Desa Sapikerep, Kecamatan. Sukapura. Upacara Karo merupakan upacara adat yang dilakukan masyarakat Tengger. Upacara Karo dipilih sebagai sasaran penelitian karena upacara Karo mencerminkan kerukunan dalam kehidupan beragama dengan pelaksanaannya yang dilaksanakan bersama-sama tanpa melihat perbedaan agama. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu: wawancara, pengamatan, dan telaah dokumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan Kementrian Agama dalam pembinaan umat beragama.
Asal usul Upacara Karo dari legenda Aji Saka dan Kanjeng Nabi. Upacara ini dilaksanakan selama 15 hari, dimulai dari tanggal 7 Bulan Karo Tahun Saka. Prosesi yang pertama dilakukan yaitu acara danyang banyu putih, yaitu dengan pembacaan mantra oleh dukun pandhita dengan sesajen yang telah dipersiapkan di rumah-rumah umat. Kedua, pada malam harinya dilanjutkan dengan acara tekaning ping pitu, yaitu mengundang arwah leluhur untuk datang ke rumah-rumah Wong Tengger. Lalu pada tanggal 18 Bulan Karo, pagi harinya diadakan acara bersih desa dan pada malam harinya diadakan pentas seni tayub sebagai rangkaian dari Upacara Karo. Kemudian esok harinya dilaksanakan Upacara Sesanti atau sesanding. Pada tanggal 22 Bulan Karo pagi hari diadakan Upacara Nyadran yang diikuti oleh semua masyarakat Desa Sapikerep. Pada malam harinya diadakan acara mulihe ping pitu, yaitu upacara untuk memulangkan arwah para leluhur. Upacara Karo dapat merekatkan kerukunan antar umat beragama. (terutama umat Islam dan Hindhu). Terlihat pada pendanaan pelaksanaan Upacara Karo tanpa memandang perbedaan agama, acara slametan, pentas Tayub, saling berkunjung atau silaturahmi dan nyadran.
Pendapat dari beberapa tokoh masyarakat & agama: Bapak Kepala Desa Sapikerep menyatakan bahwa Upacara Karo merupakan peninggalan nenek moyang masyarakat Tengger yang harus dilestarikan. Upacara Karo adalah milik masyarakat Tengger khususnya Desa Sapikerep, bukan milik agama tertentu. Upacara Karo ini merupakan suatu bentuk kebersamaan dan dapat dijadikan sebagai ajang kerukunan umat beragama. Dari tokoh Islam menyatakan bahwa Upacara Karo merupakan upacara adat yang baik, selagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini. Upacara Karo merupakan sarana silaturahmi antar umat beragama. Kemudian dari tokoh Hindhu menyatakan bahwa Hari Raya Karo atau Upacara Karo merupakan milik masyarakat suku Tengger, bukan milik suatu agama tertentu. Tanggapan dari tokoh Kristen menyatakan bahwa Umat Kristen juga harus dapat menghormati budaya masyarakat Tengger. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Adat budaya juga dapat dijadikan pengikat dan pemersatu bineka tunggal ika.
Dari hasil penelitian ini disarankan pada pemerintah agar Upacara Karo yang ada di dalam budaya masyarakat Tengger dapat terus dijaga dan dilestarikan, dengan cara membantu pelaksanaan serta ikut menghadiri Upacara Tengger. Kepada Kementrian Agama, disarankan agar membina upacara-upacara yang berkaitan dengan adat dan budaya serta agama yang ada di masyarakat agar tetap lurus dan tidak menyimpang dari agama yang diyakininya. Kepada tokoh-tokoh agama disarankan agar mengadakan pertemuan dan dialog sebagai wujud kerukunan supaya terbina suatu sikap saling pengertian diantara tokoh agama yang ada, baik dari tokoh Islam, Hindhu maupun Kristen.
Kata Kunci: Upacara Karo, perekat kerukunan, Hindhu, Islam