RELASI JAWA TIONGHOA KONFLIK DAN HARMONI (STUDI KASUS TIONGHOA DI CIREBON, SEMARANG, DAN REMBANG)

Ketua Penelitian :

Kategori: Isu Aktual

Anggota:

Publisher: PuslitbangBALK

Diunduh: 83x

Dilihat 718x

Editor: SekretariatBLD

Abstrak:

Stereotip atas Tionghoa sampai saat ini masih melekat kuat dan terus
digeneralisasi, sebagai “orang asing", “economic animal”, “anti-nasionalisme”, dan
“ekslusif” (Murdianto, 2018: 147-148). Meskipun berbagai upaya telah dilakukan
untuk meruntuhkan stigma negatif itu akan tetapi tidak berpengaruh besar bagi
masyarakat Jawa pada umumnya. 
Jika persoalan tersebut tidak diketemukan formulasinya maka sejarah kelam
(Geger Pecinan) bisa saja terulang lagi. Bisa dilihat misalnya tragedi anti-Tionghoa
di hampir seluruh tanah Jawa pada awal abad ke-20, karena stereotip itu. Pada
Peristiwa ‘98 meskipun bukan persoalan rasis, namun orang-orang Tionghoa
boleh dikata sebagai pihak yang sangat dirugikan, baik materil maupun moril.  
Sebagai solusinya maka, diperlukan suatu kesadaran historis bahwa relasi JawaTionghoa
telah berlangsung lama, yang secara natural berlangsung harmonis,
kecuali karena kebijakan pemerintah (kolonial) atau intervensi politik. Intensitas
komunikasi kedua belah pihak juga perlu ditingkatkan, yang mana membutuhkan
sikap interaktif antara keduanya. Selain itu, diperlukan kerja sama di bidang sosial,
budaya, dan ekonomi, agar hubungan keduanya tanpa sekat etnis. 
Selama ini, yang berperan aktif kerap kali dari kalangan Tionghoa sendiri. Jika
komunikasi hanya satu arah maka potensi perselisihan akan mudah dipantik: relasi
sumbu pendek. Sikap interaktif itu dengan sendirinya akan membantuk konstruksi
berpikir yang toleran karena terikat kuat satu sama lain.
Stereotip atas Tionghoa sampai saat ini masih melekat kuat dan terus
digeneralisasi, sebagai “orang asing", “economic animal”, “anti-nasionalisme”, dan
“ekslusif” (Murdianto, 2018: 147-148). Meskipun berbagai upaya telah dilakukan
untuk meruntuhkan stigma negatif itu akan tetapi tidak berpengaruh besar bagi
masyarakat Jawa pada umumnya. 
Jika persoalan tersebut tidak diketemukan formulasinya maka sejarah kelam
(Geger Pecinan) bisa saja terulang lagi. Bisa dilihat misalnya tragedi anti-Tionghoa
di hampir seluruh tanah Jawa pada awal abad ke-20, karena stereotip itu. Pada
Peristiwa ‘98 meskipun bukan persoalan rasis, namun orang-orang Tionghoa
boleh dikata sebagai pihak yang sangat dirugikan, baik materil maupun moril.  
Sebagai solusinya maka, diperlukan suatu kesadaran historis bahwa relasi JawaTionghoa
telah berlangsung lama, yang secara natural berlangsung harmonis,
kecuali karena kebijakan pemerintah (kolonial) atau intervensi politik. Intensitas
komunikasi kedua belah pihak juga perlu ditingkatkan, yang mana membutuhkan
sikap interaktif antara keduanya. Selain itu, diperlukan kerja sama di bidang sosial,
budaya, dan ekonomi, agar hubungan keduanya tanpa sekat etnis. 
Selama ini, yang berperan aktif kerap kali dari kalangan Tionghoa sendiri. Jika
komunikasi hanya satu arah maka potensi perselisihan akan mudah dipantik: relasi
sumbu pendek. Sikap interaktif itu dengan sendirinya akan membantuk konstruksi
berpikir yang toleran karena terikat kuat satu sama lain.

Lampiran Tidak Tersedia